Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Gambar
Diri kita terdiri dari dua hal yaitu jasad dan ruh. Jasad harus diberi gizi yang cukup untuk tumbuh kuat dan gizinya berbentuk materi seperti makanan dan minuman. Begitu juga dengan ruh yang membutuhkan asupan gizi, namun gizinya bukan berbentuk materi melainkan maknawi yaitu hidayah. Sebagaimana Allah memudahkan kita untuk mendapatkan asupan gizi materi bagi jasad kita, Allah juga telah memudahkan kita untuk mendapatkan hidayah itu sebagai asupan gizi maknawi bagi ruh kita, dengan cara diutusnya para rasul untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar dan juga diberikan pula pada manusia akal sehat agar mudah untuk meyakini apa yang dibawakan oleh para rasul. Para rasul diutus kepada kaum yang sudah mulai melenceng dari jalan yang benar, seperti kaum Nabi Nuh yang sejak 10 abad menyembah Allah lalu kemudian mereka berpaling menuju penyembahan patung akibat perilaku mereka yang berlebihan terhadap orang saleh, maka Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan mereka menuju penyem

Pemilu (dari mata orang sok tahu)


“Pemilu sementara, Indonesia selamanya.”

Sebuah rasa terima kasih atas pelajaran dari pemilu kali ini.

Generasi Z dan generasi Alpha adalah dua generasi yang selalu dilanda kebingungan dalam mencari arah jalan disebabkan mereka mendapatkan informasi berlebih yang belum tentu akurat. Di zaman perkembangan teknologi dan internet ini, kita selalu disodorkan informasi di media sosial setiap waktu dari mulai bangun tidur hingga tidur lagi, berbeda dengan generasi yang hidup sebelum gelombang internet menerjang yang cenderung lebih kokoh pada prinsip hidupnya. Manusia sangat mudah tersulut oleh informasi dan propaganda, bila dahulu saja hanya melalui kertas edaran mampu menciptakan revolusi, maka sangat mudah bagi kita menggerakkan pola pikir manusia dengan menggunakan internet sebagai sarana. Arab Springs bisa menjadi aksi yang sangat besar dan berpengaruh dalam mengubah wajah Timur Tengah dan dunia disebabkan kala itu menjadi awal masifnya platfom media sosial, diawali oleh aksi self-immolation (pembakaran diri) seorang pemudi bernama Muhammad Bouazizi di Tunisia hingga tumbangnya para rezim diktator di berbagai negara Arab dan munculnya proxy war. Tentu ini semua tidak dapat dilepaskan dengan bagaimana manusia merespon informasi. Kita lihat sendiri bahwa generasi saat ini begitu gampang mengolah informasi short video menjadi sumber utama informasi yang kemudian menjadi landasan mereka berargumen dan meletakkan “kebenaran” atas dirinya, bahkan tulisan ini pun dilandasi oleh sifat generasi itu. Komentar orang yang entah siapa dan apa latar belakangnya dapat menjadi dalil berucap, dan konten kreator pun bisa menjadi orator penggerak masa lewat konten-kontennya, bahkan generasi Z dan Alpha pun sudah mengincar generasi sebelum mereka yang gagap teknologi untuk menyalurkan informasi palsu lewat gaya yang menipu, seperti grup keluarga yang biasanya isinya konten-konten tak berdasar dengan caption yang bersifat dilebih-lebihkan. Turunnya kualitas sebuah bangsa saat orang bodoh (dalam suatu bidang) lebih dikedepankan dari para ilmuwan dan akademisi (ahli di bidangnya).

Dari fakta di atas, kita semestinya sedikit lebih sadar bahwa media sosial bukanlah landasan utama atau sumber terpercaya, itu hanyalah platfom bagi orang-orang bercerita. Minimnya literasi membuat orang mencukupkan diri pada membaca judul atau kutipan sehingga kebiasaan semacam ini menciptakan kesempatan bagi para propagandis untuk menyetir pola pikir manusia. Sekarang di masa pemilu ini, kita banyak sekali dibenturkan oleh berbagai informasi hingga menimbulkan perpecahan yang cukup signifikan di mana perang tulisan dan konten mewarnai jagat maya, oleh karena itu kita tak bisa melabeli kelompok kita sebagai kebenaran karena setiap kubu punya sumber beritanya masing-masing. Dari sini kita perlu membatasi diri dan membuat prinsip dasar yang menahan kita dari terpancing berita. Cara membatasi diri adalah dengan tidak terlalu mendalami berita politik yang berseliweran di media dan cara membuat prinsip adalah dengan banyak membaca buku; karena dengan membaca buku, otak kita terbiasa mengelola informasi yang terstruktur dan mendasar, tidak terpotong-potong, dan gamblang dalam menjelaskan, oleh karena itu sebagaimana karakteristik seseorang dilihat dari apa yang dia tonton dapat pula dilihat dari apa yang dia baca; karena tontonan dan bacaan membentuk sifat, pola pikir, cara pandang, dan karakteristik seseorang.

Perlu disadari bahwa dari ketiga paslon presiden yang ikut kontestasi politik di tahun memiliki kubu yang cukup militan di mana masing-masing mereka meyakini kebenaran ada pada kubunya, dan Anda tidak bisa memaksakan kebenaran yang Anda yakini pada orang di kubu lain karena setiap kubu memiliki sumber informasinya dan buzzernya masing-masing, tidakkah Anda melihat bahwa apa yang Anda tonton di kebanyakan algoritma media sosial Anda adalah mengenai paslon dan kubu Anda, begitu pula yang terjadi di kubu sebelah. Namun di luar itu semua, cobalah kita untuk tidak berkubu pada siapapun dan melihat dengan cermat di atas pundak siapa negeri ini harus dipikul? Saya dalam tulisan ini berusaha memaparkan opini saya yang dangkal tentang pilpres ini dan tidak bermaksud berkampanye. Tokoh-tokoh pendiri negeri ini dihiasi oleh kaum intelektual yang bergerak bukan hanya membangun pilar-pilar negeri tapi di samping itu mereka mencerdaskan masyarakat seperti Ki Haji Dewantara yang mendirikan perguruan Taman Siswa dan Oto Iskandar Dinata menjadi kepanitiaan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Maka semestinya negeri ini dilanjutkan oleh orang-orang seperti mereka. Dari ketiga paslon itu tak ada satu pun orang buruk di antara mereka, mereka tentu jauh lebih cerdas, berpengetahuan luas, dan memiliki jiwa nasionalisme dan negarawan yang tinggi, maka kita tak berhak menjatuhkan harga diri mereka hanya karena berbeda pilihan di mana kita sendiri melihat diri kita yang belum banyak berbuat untuk negeri ini. Sekarang banyak orang yang mencari-cari masa lalu atau sering disebut rekam jejak sebagai salah satu kriteria pilihan, padahal masa lalu masih dapat diubah dan diperbaiki meskipun masa lalu pun memang membentuk sifat dan karakter seseorang dan calon yang memiliki rekam jejak yang bagus lebih berhak dipilih karena jalan hidupnya bersih, Islam mengajarkan kita untuk tidak mengungkit masa lalu, sebagai contoh Umar Bin Khattab yang terkenal keras akan dakwah Islam ketika beliau belum memeluk Islam, ketika sudah masuk Islam, para sahabat tak pernah mengucilkannya karena masa lalunya bahkan justru memuliakannya karena perubahan dan jiwa keislamannya yang tinggi; karena nilai seseorang ada di detik ini, seperti orang yang berbuat baik maka detik itu dia adalah orang baik dan ketika dia berbuat jahat maka detik itu dia adalah orang jahat.

Dalam pandangan saya, dari ketiga calon itu yang paling pantas memimpin adalah Anies Baswedan, saya memilih beliau bukan berdasarkan kelompok atau partai; karena menurut saya partisipan partai atau kelompok politik tidak berhak mengatakan “kebenaran” disebabkan mereka memilih paslon hanya berdasarkan perintah atasan kelompok politik atau partai mereka, namun kita sebagai warga biasa semestinya memandang calon presiden berdasarkan kapasitas yang dimiliki olehnya. Dan kini telah tampak dengan mata kita sendiri dan semestinya dapat menilai bahwa Indonesia ini butuh perubahan, dan mengartikan kata perubahan bukan berarti meriset ulang sebuah tatanan, melainkan memperbaiki yang kurang dan menambahkan yang belum ada. Dari pemilu kali ini, saya mendapatkan banyak pelajaran penting soal politik. Politik tidak selamanya berhubungan dengan kekuasaan, tapi aspek kehidupan kita pun berhubungan dengan politik seperti adu gagasan, diskusi, membuat keputusan, dan sebagainya yang lebih menjorok pada kepentingan umum. Aristoteles dan Plato berpandangan bahwa politik adalah persoalan partisipasi dalam kegiatan politik agar potensi-potensi diri yang dimiliki dapat tersalurkan bagi kebajikan-kebajikan umum, mereka yang melarikan diri dari kehidupan politik, dianggap sebagai warganegara "idiot" yang tidak mau menyumbangkan potensi-potensi terbaiknya bagi kepentingan umum. (Dari buku: Membedah Paradigma Politik di Indonesia) Dan lewat pemilu ini, saya sadar akan perlunya kita untuk peduli dengan kondisi di tempat kita bertinggal, memunculkan ide-ide, tidak takut untuk kalah atau dibantah dan dikritik, dan berani bertanggungjawab atas apa yang sudah kita putuskan. Saya melihat apa yang dibawa oleh Anies Baswedan adalah sebuah perubahan baru dalam dunia pemilu yang sebelumnya pendekatan ke masyarakat selalu diadakan dalam bentuk narasi satu arah, orasi berapi-api, bagi-bagi kaos, atau berkeliling jalan, menjadi pendekatan yang dialogis dengan narasi dua arah lewat acara Desak Anies sehingga menciptakan gaya baru dalam berkampanye yang tidak hanya membakar semangat pendukungnya, tapi pula mencerdaskan pendengarnya. Ini adalah sebuah perubahan sebelum “perubahan” yang beliau bawa itu sendiri, dan cara ini pun diikuti oleh paslon lain. Dengan ini mampu mengubah cara kampanye dan menjadi standar baru.

Tapi sayang, masyarakat masih belum dapat move on dari cara lama dan belum terbiasa dengan cara baru kecuali orang-orang yang memiliki pendidikan atau kritis. Masyarakat masih menyukai sajian euforia dan politik uang. Saya berpirkir mengapa masyarakat belum tercerahkan? Bukankah mereka sudah melewati banyak kontestasi politik dan tahu bahwa para calon selalu menggunakan kedua cara itu serta menebarkan janji dan mereka dengan murah menjual suaranya yang mana mereka pun tahu bahwa itu adalah pola dan setelah itu hidup mereka tak sejahtera? Meskipun makna kesejahteraan berbeda tergantung persepsi dan keyakinan, namun secara umum kesejahteraan dapat dimaknai, sebagai mana Islam katakan, dapat hidup aman, sehat jasmani, dan ketersediaan makanan pada hari tersebut. Tapi pada kenyataanya masih banyak yang belum mendapatkan ketiga hal itu, masih banyak yang bertarung di jalanan bersama kejinya kriminal menunjukkan hilangnya rasa aman, masih banyak yang terbatas akses kesehatan menunjukkan hilangnya sehat jasmani, dan masih banyak yang kesulitan mencari makan menunjukkan hilangnya ketersediaan makanan. Walaupun ketiga hal itu dapat ditutupi tuntutannya lewat doktrin agama yaitu syukur, tapi jelas bahwa pemimpin perlu mencarikan solusi akan ketiga hal itu. Soal politik uang, saya membaca soal cara menjadi politisi, dan di situ disebutkan ada dua cara, lewat pendidikan dan pengalaman, untuk pengalaman jika sejak awal, seorang warganegara telah terbiasa terlibat dalam kegiatan politik, kepentingan publik, memaksimalkan potensi yang dimiliki, maka ketika pemilihan berkaitan dengan siapa yang akan merepresentasikan mereka di lembaga legislatif, seseorang tidak perlu lagi melakukan politik uang sebagai bentuk perilaku politik yang tidak mendidik. Politik uang hanya terjadi bagi mereka yang tidak percaya diri karena sebelumnya tidak terlibat dalam kegiatan yang mengutamakan kepentingan publik. (Dari buku: Membedah Paradigma Politik di Indonesia) Politik uang terlihat baik di muka, tapi nyatanya itu adalah salah satu bentuk memiskinkan masyarakat dengan struktural. Perlu diketahui bahwa kemiskinan itu ada tiga: 1) Natural, yaitu kemiskinan yang terjadi oleh sebab alam seperti tanah tandus, 2) Kultural, yaitu kemiskinan yang terjadi oleh budaya atau keyakinan, seperti orang meyakini bahwa dia sudah ditakdirkan miskin atau orang yang meyakini kalau dia miskin karena tinggal di desa, 3) Struktural, yaitu kemiskinan yang dibuat-buat oleh sebuah kelompok untuk sebuah kepentingan, seperti politik uang.

Demokrasi sendiri adalah sistem di mana rakyat adalah penguasa sebenarnya karena pemimpin berasal dari rakyat, dipilih oleh rakyat, dan bekerja untuk rakyat, dan demokrasi pun memiliki tiga pilar yaitu eksekutif, yang menjalankan undang-undang, yudikatif, yang menentukan undang-undang, dan legislatif, sebagai perwakilan rakyat; oleh karena itu demokrasi dibangung atas undang-undang. Setiap undang-undang yang tertulis harus ditaati dan bukan memainkannya sesuai maunya sendiri. Namun sayang, lemahnya sistem manusia yang rakus membuat banyak sekali ketidakadilan dalam praktiknya, di mana tiga pilar itu digunakan untuk meraup kekayaan pribadi dan kepentingan sendiri. Dan dengan demikian pun nampak jelas bahwa undang-undang Allah tak tergantikan oleh undang-undang manusia yang mudah sekali diubah dan dipermainkan, dan karena dalam dunia politik hampir segalanya mengesampingkan maslahat umum dan lebih mengedepankan kepentingannya. Setidaknya dalam memilih, terlepas dari perdebatan hukum Islamnya, harus memilih yang paling sedikit keburukannya, semua calon tak ada yang sempurna tapi kita bisa melihat dari siapa orang di balik mereka dan apa visi-misi mereka, apakah bagus untuk kepentingan umum. Dan dari sini, semestinya muncul dalam diri kita rasa peduli pada sekitar, jangan berpikir bahwa siapapun yang menang tak ada dampaknya, kalau kita yang tak merasakan ada orang lain yang merasakan. Undang-undang yang dimainkan untuk kepentingan menunjukkan bahwa citra dalam memimpin adalah untuk dirinya bukan untuk rakyatnya, dan yang sangat dikhawatirkan adalah ada sekelompok orang di balik para calon yang memainkan peran kenegaraan dan menjadikan presiden hanya simbol belaka. Sama halnya saat Daulah Fathimiyah di masa kemundurannya ketika pemimpinnya adalah orang yang masih belia dan tidak kompeten dalam memimpin, yaitu Abu Manshur Al-Hakim, ia naik takhta di umur 11 tahun setelah wafatnya Al-Aziz, ayahnya, yang pada akhirnya pemerintahan disetir oleh para menterinya demi kepentingan. Indonesia ini negera yang besar dan luas, dan mengatur pemerintahan diperlukan skill dan kapasitas yang tinggi sehingga dalam memilih bukan sembarang tapi perlu dipikirkan masa depan, sangat sedih bila presiden hanyalah alat pemerintahan bayangan.

Dan kini pemilu sudah usai, semua kita telah menunaikan hak pilihnya, kemenangan ada di pihak (belum dapat dipastikan) dan saya berdoa semoga beliau mampu menjalankan kepemimpinan dan memajukan bangsa ini. Apapun itu, dari pemilu ini saya belajar banyak hal, belajar tentang bahwa dunia ini luas dan kita adalah bagian kecil darinya yang sedang berusaha sedikit andil dalam sistemnya, saya belajar bahwa kepemimpinan perlu dibutuhkan rekam jejak yang baik sehingga perlu disiapkan cerita diri kita saat kelak kita muncul di depan manusia, saya belajar tentang bahwa kepemimpinan diperlukan semangat yang tinggi, tidak pantang lelah dan menyerah, pandai beretorika, mampu menyusun gagasan dan ide, sabar dan kuat menghadapi kritikan, dan peduli akan sesama, saya belajar bahwa kepemimpinan perlu menguasai banyak bidang dan cabang ilmu karena kepemimpinan mencakup semua aspek ilmu dan lapisan masyarakat. Terima kasih kepada ketiga calon yang hadir dalam kontestasi ini, semuanya adalah putra terbaik bangsa ini yang lebih senior dari kita semua, lebih punya pengalaman dan pandangan luas dari kita semua, dan kita semestinya menghormati mereka, dan semua mantan presiden punya prestasinya masing-masing yang membentuk Indonesia hari ini di samping kekurangan mereka, maka kita pun perlu menghormati mereka. Dengan demokrasi semakin jelas makna “pemimpin adalah ceriman rakyat” karena rakyat sendiri yang memilih dan yang menang adalah simbol kualitas rakyat itu sendiri. Membaca janji-janji manis para calon adalah bukan hanya menuntut perwujudannya, melainkan bagi orang yang berpikir dia akan mempelajarinya, memperbaikinya, dan mewujudkannya kelak saat dia mampu. Itu tanda manusia berkualitas. Semoga Indonesia tetap aman dan baik-baik saja, merah tetap merah tak berubah abu oleh debu (kotoran para penjahat) dan putih tetap putih tak berubah merah oleh darah (pertumpahan darah sebab perbedaan). 5 tahun ke depan kita semakin dewasa dan matang, kita akan melihat dunia baru. Tak perlu pesimis dengan kondisi, bila kita sebagai generasi penerus bangsa ini masih punya kesempatan. Segalanya telah ditakdirkan oleh Allah dan terisa bagi kita adalah mengubah diri kita untuk mengubah dunia, mendoakan pemimpin pun termasuk jalan terbaik memperbaikinya karena Allah Sang Pemegang setiap hati manusia.

14 Febuari 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Untuk Cianjur

Penghargaan Yang Bukan Penghargaan (Mencari Hakikat Prestasi & Apresiasi)