Pemilu (dari mata orang sok tahu)
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Sebuah rasa terima kasih atas pelajaran dari pemilu kali ini.
Dari fakta di atas, kita semestinya sedikit
lebih sadar bahwa media sosial bukanlah landasan utama atau sumber terpercaya,
itu hanyalah platfom bagi orang-orang bercerita. Minimnya literasi membuat
orang mencukupkan diri pada membaca judul atau kutipan sehingga kebiasaan
semacam ini menciptakan kesempatan bagi para propagandis untuk menyetir pola
pikir manusia. Sekarang di masa pemilu ini, kita banyak sekali dibenturkan oleh
berbagai informasi hingga menimbulkan perpecahan yang cukup signifikan di mana
perang tulisan dan konten mewarnai jagat maya, oleh karena itu kita tak bisa
melabeli kelompok kita sebagai kebenaran karena setiap kubu punya sumber
beritanya masing-masing. Dari sini kita perlu membatasi diri dan membuat
prinsip dasar yang menahan kita dari terpancing berita. Cara membatasi diri
adalah dengan tidak terlalu mendalami berita politik yang berseliweran di media
dan cara membuat prinsip adalah dengan banyak membaca buku; karena dengan
membaca buku, otak kita terbiasa mengelola informasi yang terstruktur dan
mendasar, tidak terpotong-potong, dan gamblang dalam menjelaskan, oleh karena
itu sebagaimana karakteristik seseorang dilihat dari apa yang dia tonton dapat
pula dilihat dari apa yang dia baca; karena tontonan dan bacaan membentuk
sifat, pola pikir, cara pandang, dan karakteristik seseorang.
Perlu disadari bahwa dari ketiga paslon
presiden yang ikut kontestasi politik di tahun memiliki kubu yang cukup militan
di mana masing-masing mereka meyakini kebenaran ada pada kubunya, dan Anda
tidak bisa memaksakan kebenaran yang Anda yakini pada orang di kubu lain karena
setiap kubu memiliki sumber informasinya dan buzzernya masing-masing, tidakkah
Anda melihat bahwa apa yang Anda tonton di kebanyakan algoritma media sosial
Anda adalah mengenai paslon dan kubu Anda, begitu pula yang terjadi di kubu
sebelah. Namun di luar itu semua, cobalah kita untuk tidak berkubu pada
siapapun dan melihat dengan cermat di atas pundak siapa negeri ini harus
dipikul? Saya dalam tulisan ini berusaha memaparkan opini saya yang dangkal
tentang pilpres ini dan tidak bermaksud berkampanye. Tokoh-tokoh pendiri negeri
ini dihiasi oleh kaum intelektual yang bergerak bukan hanya membangun
pilar-pilar negeri tapi di samping itu mereka mencerdaskan masyarakat seperti
Ki Haji Dewantara yang mendirikan perguruan Taman Siswa dan Oto Iskandar Dinata
menjadi kepanitiaan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Maka semestinya
negeri ini dilanjutkan oleh orang-orang seperti mereka. Dari ketiga paslon itu
tak ada satu pun orang buruk di antara mereka, mereka tentu jauh lebih cerdas,
berpengetahuan luas, dan memiliki jiwa nasionalisme dan negarawan yang tinggi,
maka kita tak berhak menjatuhkan harga diri mereka hanya karena berbeda pilihan
di mana kita sendiri melihat diri kita yang belum banyak berbuat untuk negeri
ini. Sekarang banyak orang yang mencari-cari masa lalu atau sering disebut
rekam jejak sebagai salah satu kriteria pilihan, padahal masa lalu masih dapat
diubah dan diperbaiki meskipun masa lalu pun memang membentuk sifat dan
karakter seseorang dan calon yang memiliki rekam jejak yang bagus lebih berhak
dipilih karena jalan hidupnya bersih, Islam mengajarkan kita untuk tidak
mengungkit masa lalu, sebagai contoh Umar Bin Khattab yang terkenal keras akan
dakwah Islam ketika beliau belum memeluk Islam, ketika sudah masuk Islam, para
sahabat tak pernah mengucilkannya karena masa lalunya bahkan justru
memuliakannya karena perubahan dan jiwa keislamannya yang tinggi; karena nilai
seseorang ada di detik ini, seperti orang yang berbuat baik maka detik itu dia
adalah orang baik dan ketika dia berbuat jahat maka detik itu dia adalah orang
jahat.
Dalam pandangan saya, dari ketiga calon itu
yang paling pantas memimpin adalah Anies Baswedan, saya memilih beliau bukan
berdasarkan kelompok atau partai; karena menurut saya partisipan partai atau
kelompok politik tidak berhak mengatakan “kebenaran” disebabkan mereka memilih
paslon hanya berdasarkan perintah atasan kelompok politik atau partai mereka,
namun kita sebagai warga biasa semestinya memandang calon presiden berdasarkan
kapasitas yang dimiliki olehnya. Dan kini telah tampak dengan mata kita sendiri
dan semestinya dapat menilai bahwa Indonesia ini butuh perubahan, dan
mengartikan kata perubahan bukan berarti meriset ulang sebuah tatanan,
melainkan memperbaiki yang kurang dan menambahkan yang belum ada. Dari pemilu
kali ini, saya mendapatkan banyak pelajaran penting soal politik. Politik tidak
selamanya berhubungan dengan kekuasaan, tapi aspek kehidupan kita pun berhubungan
dengan politik seperti adu gagasan, diskusi, membuat keputusan, dan sebagainya
yang lebih menjorok pada kepentingan umum. Aristoteles dan Plato berpandangan bahwa politik adalah
persoalan partisipasi dalam kegiatan politik agar potensi-potensi diri yang
dimiliki dapat tersalurkan bagi kebajikan-kebajikan umum, mereka yang melarikan diri dari kehidupan politik,
dianggap sebagai warganegara "idiot" yang tidak mau menyumbangkan
potensi-potensi terbaiknya bagi kepentingan umum. (Dari buku: Membedah
Paradigma Politik di Indonesia) Dan lewat pemilu ini, saya sadar akan perlunya kita untuk peduli dengan
kondisi di tempat kita bertinggal, memunculkan ide-ide, tidak takut untuk kalah
atau dibantah dan dikritik, dan berani bertanggungjawab atas apa yang sudah
kita putuskan. Saya melihat apa yang dibawa oleh Anies Baswedan adalah sebuah
perubahan baru dalam dunia pemilu yang sebelumnya pendekatan ke masyarakat
selalu diadakan dalam bentuk narasi satu arah, orasi berapi-api, bagi-bagi
kaos, atau berkeliling jalan, menjadi pendekatan yang dialogis dengan narasi
dua arah lewat acara Desak Anies sehingga menciptakan gaya baru dalam
berkampanye yang tidak hanya membakar semangat pendukungnya, tapi pula
mencerdaskan pendengarnya. Ini adalah sebuah perubahan sebelum “perubahan” yang
beliau bawa itu sendiri, dan cara ini pun diikuti oleh paslon lain. Dengan ini
mampu mengubah cara kampanye dan menjadi standar baru.
Tapi sayang, masyarakat masih belum dapat move
on dari cara lama dan belum terbiasa dengan cara baru kecuali orang-orang
yang memiliki pendidikan atau kritis. Masyarakat masih menyukai sajian euforia
dan politik uang. Saya berpirkir mengapa masyarakat belum tercerahkan?
Bukankah mereka sudah melewati banyak kontestasi politik dan tahu bahwa para
calon selalu menggunakan kedua cara itu serta menebarkan janji dan mereka dengan
murah menjual suaranya yang mana mereka pun tahu bahwa itu adalah pola dan
setelah itu hidup mereka tak sejahtera? Meskipun makna kesejahteraan
berbeda tergantung persepsi dan keyakinan, namun secara umum kesejahteraan
dapat dimaknai, sebagai mana Islam katakan, dapat hidup aman, sehat jasmani,
dan ketersediaan makanan pada hari tersebut. Tapi pada kenyataanya masih banyak
yang belum mendapatkan ketiga hal itu, masih banyak yang bertarung di jalanan
bersama kejinya kriminal menunjukkan hilangnya rasa aman, masih banyak yang terbatas
akses kesehatan menunjukkan hilangnya sehat jasmani, dan masih banyak yang kesulitan
mencari makan menunjukkan hilangnya ketersediaan makanan. Walaupun ketiga hal
itu dapat ditutupi tuntutannya lewat doktrin agama yaitu syukur, tapi jelas
bahwa pemimpin perlu mencarikan solusi akan ketiga hal itu. Soal politik uang, saya
membaca soal cara menjadi politisi, dan di situ disebutkan ada dua cara, lewat
pendidikan dan pengalaman, untuk pengalaman jika sejak awal, seorang warganegara telah terbiasa terlibat
dalam kegiatan politik, kepentingan publik, memaksimalkan potensi yang
dimiliki, maka ketika pemilihan berkaitan dengan siapa yang akan
merepresentasikan mereka di lembaga legislatif, seseorang tidak perlu lagi melakukan
politik uang sebagai bentuk perilaku politik yang tidak mendidik. Politik uang
hanya terjadi bagi mereka yang tidak percaya diri karena sebelumnya tidak
terlibat dalam kegiatan yang mengutamakan kepentingan publik. (Dari buku: Membedah Paradigma Politik di Indonesia) Politik uang terlihat baik di muka, tapi nyatanya itu adalah
salah satu bentuk memiskinkan masyarakat dengan struktural. Perlu diketahui
bahwa kemiskinan itu ada tiga: 1) Natural, yaitu kemiskinan yang terjadi oleh
sebab alam seperti tanah tandus, 2) Kultural, yaitu kemiskinan yang terjadi
oleh budaya atau keyakinan, seperti orang meyakini bahwa dia sudah ditakdirkan
miskin atau orang yang meyakini kalau dia miskin karena tinggal di desa, 3)
Struktural, yaitu kemiskinan yang dibuat-buat oleh sebuah kelompok untuk sebuah
kepentingan, seperti politik uang.
Demokrasi sendiri adalah sistem di mana rakyat
adalah penguasa sebenarnya karena pemimpin berasal dari rakyat, dipilih oleh
rakyat, dan bekerja untuk rakyat, dan demokrasi pun memiliki tiga pilar yaitu
eksekutif, yang menjalankan undang-undang, yudikatif, yang menentukan
undang-undang, dan legislatif, sebagai perwakilan rakyat; oleh karena itu
demokrasi dibangung atas undang-undang. Setiap undang-undang yang tertulis
harus ditaati dan bukan memainkannya sesuai maunya sendiri. Namun sayang,
lemahnya sistem manusia yang rakus membuat banyak sekali ketidakadilan dalam praktiknya,
di mana tiga pilar itu digunakan untuk meraup kekayaan pribadi dan kepentingan
sendiri. Dan dengan demikian pun nampak jelas bahwa undang-undang Allah
tak tergantikan oleh undang-undang manusia yang mudah sekali diubah dan
dipermainkan, dan karena dalam dunia politik hampir segalanya mengesampingkan
maslahat umum dan lebih mengedepankan kepentingannya. Setidaknya dalam memilih,
terlepas dari perdebatan hukum Islamnya, harus memilih yang paling sedikit
keburukannya, semua calon tak ada yang sempurna tapi kita bisa melihat dari
siapa orang di balik mereka dan apa visi-misi mereka, apakah bagus untuk
kepentingan umum. Dan dari sini, semestinya muncul dalam diri kita rasa peduli
pada sekitar, jangan berpikir bahwa siapapun yang menang tak ada dampaknya,
kalau kita yang tak merasakan ada orang lain yang merasakan. Undang-undang yang
dimainkan untuk kepentingan menunjukkan bahwa citra dalam memimpin adalah untuk
dirinya bukan untuk rakyatnya, dan yang sangat dikhawatirkan adalah ada
sekelompok orang di balik para calon yang memainkan peran kenegaraan dan
menjadikan presiden hanya simbol belaka. Sama halnya saat Daulah Fathimiyah di
masa kemundurannya ketika pemimpinnya adalah orang yang masih belia dan tidak kompeten
dalam memimpin, yaitu Abu Manshur Al-Hakim, ia naik takhta di umur 11 tahun
setelah wafatnya Al-Aziz, ayahnya, yang pada akhirnya pemerintahan disetir oleh
para menterinya demi kepentingan. Indonesia ini negera yang besar dan luas, dan
mengatur pemerintahan diperlukan skill dan kapasitas yang tinggi sehingga dalam
memilih bukan sembarang tapi perlu dipikirkan masa depan, sangat sedih bila
presiden hanyalah alat pemerintahan bayangan.
Dan kini pemilu sudah usai, semua kita telah
menunaikan hak pilihnya, kemenangan ada di pihak (belum dapat dipastikan) dan saya berdoa semoga
beliau mampu menjalankan kepemimpinan dan memajukan bangsa ini. Apapun itu,
dari pemilu ini saya belajar banyak hal, belajar tentang bahwa dunia ini luas
dan kita adalah bagian kecil darinya yang sedang berusaha sedikit andil dalam
sistemnya, saya belajar bahwa kepemimpinan perlu dibutuhkan rekam jejak yang
baik sehingga perlu disiapkan cerita diri kita saat kelak kita muncul di depan
manusia, saya belajar tentang bahwa kepemimpinan diperlukan semangat yang
tinggi, tidak pantang lelah dan menyerah, pandai beretorika, mampu menyusun
gagasan dan ide, sabar dan kuat menghadapi kritikan, dan peduli akan sesama,
saya belajar bahwa kepemimpinan perlu menguasai banyak bidang dan cabang ilmu
karena kepemimpinan mencakup semua aspek ilmu dan lapisan masyarakat. Terima
kasih kepada ketiga calon yang hadir dalam kontestasi ini, semuanya adalah
putra terbaik bangsa ini yang lebih senior dari kita semua, lebih punya
pengalaman dan pandangan luas dari kita semua, dan kita semestinya menghormati
mereka, dan semua mantan presiden punya prestasinya masing-masing yang
membentuk Indonesia hari ini di samping kekurangan mereka, maka kita pun perlu
menghormati mereka. Dengan demokrasi semakin jelas makna
“pemimpin adalah ceriman rakyat” karena rakyat sendiri yang memilih dan yang
menang adalah simbol kualitas rakyat itu sendiri. Membaca janji-janji manis para calon adalah
bukan hanya menuntut perwujudannya, melainkan bagi orang yang berpikir dia akan
mempelajarinya, memperbaikinya, dan mewujudkannya kelak saat dia mampu. Itu
tanda manusia berkualitas. Semoga Indonesia tetap aman dan baik-baik saja, merah
tetap merah tak berubah abu oleh debu (kotoran para penjahat) dan putih tetap
putih tak berubah merah oleh darah (pertumpahan darah sebab perbedaan). 5 tahun
ke depan kita semakin dewasa dan matang, kita akan melihat dunia baru. Tak
perlu pesimis dengan kondisi, bila kita sebagai generasi penerus bangsa ini
masih punya kesempatan. Segalanya telah ditakdirkan oleh Allah dan terisa bagi
kita adalah mengubah diri kita untuk mengubah dunia, mendoakan pemimpin pun
termasuk jalan terbaik memperbaikinya karena Allah Sang Pemegang setiap hati
manusia.
14 Febuari 2024
Komentar
Posting Komentar