Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa
Diri kita terdiri dari dua hal yaitu jasad dan ruh. Jasad harus diberi gizi yang cukup untuk tumbuh kuat dan gizinya berbentuk materi seperti makanan dan minuman. Begitu juga dengan ruh yang membutuhkan asupan gizi, namun gizinya bukan berbentuk materi melainkan maknawi yaitu hidayah. Sebagaimana Allah memudahkan kita untuk mendapatkan asupan gizi materi bagi jasad kita, Allah juga telah memudahkan kita untuk mendapatkan hidayah itu sebagai asupan gizi maknawi bagi ruh kita, dengan cara diutusnya para rasul untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar dan juga diberikan pula pada manusia akal sehat agar mudah untuk meyakini apa yang dibawakan oleh para rasul.
Para rasul diutus kepada kaum yang sudah mulai melenceng dari jalan yang
benar, seperti kaum Nabi Nuh yang sejak 10 abad menyembah Allah lalu kemudian
mereka berpaling menuju penyembahan patung akibat perilaku mereka yang
berlebihan terhadap orang saleh, maka Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan
mereka menuju penyembahan Allah semata, dan mengajarkan mereka nilai-nilai
agama yang benar, serta diberikan pada para rasul mukjizat sebagai bukti
kebenaran ilahi.
Lantas apa itu Mukjizat?
Kita biasanya mengartikan mukjizat sebagai keajaiban atau miracle. Menurut
KBBI, Mukjizat secara etimologi (bahasa) adalah kejadian (peristiwa) ajaib yang
sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Jika ditinjau dari bahasa Arab,
maka makna Mukjizat secara etimologi adalah زوال القدرة على الإتيان بالشيء من عمل أو رأي أو تدبر[1] hilangnya
kemampuan dalam mendatangkan sesuatu baik itu sebuah perbuatan, atau pendapat,
atau penelaahan. Sedangkan secara terminologi, maknanya pun kurang lebih sama
dengan definis KBBI, yaitu الأمر الخارق للعادة sesuatu
kejadian yang terjadi di luar kebiasaan.
Namun bila kita bedah asal kata Mukjizat (معجزة), maka itu berasal dari kata fi’il (عجز) yang artinya lemah, kemudian ditambahkan hamzah ta’diyah
(hamzah tambahan dalam fi’il supaya kata kerja itu membutuhkan objek) menjadi (أعجز) yang artinya “membuat objek lemah dan kalah”, kemudian fi’il
itu dijadikan ism fa’il (kata benda subjek) dan ditambahkan tanda ta’nits, maka
jadilah (معجزة).
Sehingga mukjizat itu diberikan kepada para nabi dan rasul untuk melemahkan
dan mengalahkan kemampuan yang pada saat itu kaumnya mumpuni dan mahir di
dalamnya.
Mukjizat ini datang dengan tantangan pada manusia, tapi bukan dalam bentuk
penghinaan. Contoh tantangan berbentuk hinaan adalah seorang pemuda menantang
kakek tua balap lari, yang tentu akan dimenangkan oleh pemuda itu, yang secara
tidak langsung ia sedang merendahkan kakek tua itu. Namun jika tantangannya
datang dari seorang pemuda yang pandai lari dengan atlet lari, maka itu bukan
sedang menghinakan, namun sedang menguji kemampuan dirinya atau kemampuan
lawannya. Begitulah kondisi mukjizat, dia datang dengan tantangan kepada
manusia yang berakal sehat dan memiliki kemampuan untuk berkompetisi sehingga
datangnya mukjizat bukanlah untuk menghinakan manusia, namun mengajak manusia
untuk sadar bahwa kemampuan dirinya terbatas dibandingkan kemampuan Allah dalam
melakukan apapun sesuai kehendak-Nya.
Sebagai contoh, Allah mengutus Nabi Musa kepada kaum yang sangat mahir
berbuat sihir, sampai-sampai kota itu dipenuhi oleh para penyihir, namun
penyihir itu sama sekali tidak bisa mengubah sesuatu kepada sesuatu yang lain,
penyihir tidak bisa mengubah daun menjadi uang, tapi mereka bisa membuat tipu
daya di mata manusia yang melihatnya seakan-akan hal itu berubah padahal tidak,
penyihir hanya mengubah benda secara khayali, bukan hakiki. Maka tak heran
ketika Allah menceritakan kisah para penyihir yang menantang Nabi Musa untuk
mengubah tongkat menjadi ular, Allah berfirman,
فَاِذَا حِبَالُهُمۡ وَعِصِيُّهُمۡ يُخَيَّلُ اِلَيۡهِ مِنۡ
سِحۡرِهِمۡ اَنَّهَا تَسۡعٰى
Maka tiba-tiba tali-tali
dan tongkat-tongkat mereka terbayang olehnya (Musa) seakan-akan ia merayap
cepat, karena sihir mereka. (Taha: 66)
Mereka tak mengubah tongkat itu menjadi ular, hanya terlihat seperti ular.
Berbeda dengan Nabi Musa yang ketika melempar tongkatnya, maka berubahlah ia
menjadi ular yang nyata, sebagaimana Allah berfirman,
فَاَلۡقٰٮهَا فَاِذَا هِىَ حَيَّةٌ تَسۡعٰى
Lalu (Musa) melemparkan
tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. (Taha: 20)
Maka Nabi Musa diberikan Mukjizat untuk mengalahkan kemampuan yang kaumnya
mumpuni dan mahir di dalamnya, namun para penyihir itu hanya mengubah benda
dari hakikat menjadi khayalan, sedangkan Nabi Musa atas izin Allah mampu
mengubah hakikat menjadi hakikat. Maka tak heran, para penyihir ini menjadi
orang-orang yang pertama kali menyadari kenabian Musa dan percaya bahwa
mukjizat itu bukan datang dari Nabi Musa melainkan dari Tuhannya Musa.
Contoh lainnya, pada zaman Nabi Isa, banyak muncul dokter-dokter yang mahir
di bidangnya, bahkan mereka mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Namun Allah
datangkan kepada Nabi Isa sebuah mukjizat yang bisa mengalahkan kemampuan para
dokter saat itu, yaitu menghidupkan orang mati. Karena dokter hanya bisa
menyembuhkan orang yang masih hidup. Allah berfirman,
اَنِّىۡ قَدۡ
جِئۡتُكُمۡ بِاٰيَةٍ مِّنۡ رَّبِّكُمۡ ۙ اَنِّىۡۤ اَخۡلُقُ لَـكُمۡ مِّنَ
الطِّيۡنِ كَهَیْـــَٔةِ الطَّيۡرِ فَاَنۡفُخُ فِيۡهِ فَيَكُوۡنُ طَيۡرًاۢ
بِاِذۡنِ اللّٰهِ وَاُبۡرِئُ الۡاَكۡمَهَ وَالۡاَبۡرَصَ وَاُحۡىِ الۡمَوۡتٰى
بِاِذۡنِ اللّٰهِ
(Nabi Isa berkata) "Aku telah datang kepada kamu dengan satu tanda
(mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuatkan bagimu (sesuatu) dari tanah
berbentuk seperti burung, lalu aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung
dengan izin Allah. Dan aku menyembuhkan
orang yang buta sejak dari lahir dan orang yang berpenyakit kusta. Dan aku
menghidupkan orang mati dengan izin Allah.” (Ali Imran: 49)
Kemudian, Nabi Saleh yang diutus kepada kaum Tsamud yang terkenal mahir
memahat, mereka sangat mahir membuat patung dan membangun rumah di
dinding-dinding tebing, namun semahir apapun mereka dalam memahat patung, maka
patung itu akan tetap dalam kondisinya sebagai patung tak bernyawa. Maka Allah
pun memberikan mukjizat kepada Nabi Saleh berupa patung unta dari batu yang
hidup, bisa makan, minum, bahkan menghasilkan susu setelah berdoa agar mengabulkan
tantangan kaum Tsamud. Maka kemampuan kaumnya pun terkalahkan oleh mukjizat
yang datang dari Allah, mereka mampu mengukir patung unta, tapi tak bisa
menjadikannya hidup bernyawa.
Lantas kenapa Al-Quran disebut mukjizat? Apa hal yang dilemahkan oleh Al-Quran?
Sebelum kita bahas tentang ini, kita harus tahu terlebih dahulu bagaimana
kondisi masyarakat Arab yang Jahiliyah secara politik, ekonomi, dan
kemasyarakatan.
Dari segi politik, bangsa Arab diliputi oleh dua imperium besar yaitu Romawi yang dipimpin oleh Kaisar dan Persia yang
dimpimipin oleh Kisra, juga terdapat dua kerajaan yang cukup besar yaitu
Mesir yang dipimpin oleh Muqauqas (pemimpin Qibti) dan Habasyah yang dipimpin
oleh Najasyi. Sedangkan bangsa Arab tak memiliki kerajaan yang menyatukan
mereka, mereka hanya berbasis pada sistem kabilah yang dipimpin oleh Amir
(pemuka adat) di kabilah tersebut, meskipun terdapat juga bangsa Arab yang
memiliki kerajaan, namun kerajaan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan
tunduk pada dua imperium besar seperti Kerajaan Gassan di
Syam yang tunduk pada Romawi dan
Kerajaan Manadzirah di Irak yang tunduk pada Persia. Terdapat juga kerajaan
yang tidak tunduk pada imperium seperti Kerajaan Mu’in,
Saba, dan Himyar di Yaman. Bagaimanapun, yang tercepah belah lebih banyak
ketimbang yang bersatu, tertuma di daerah Hijaz (daerah
sebelah barat Jazirah Arab yang terbentang dari perbatasan Yordania Utara
hingga wilayah Asir di selatan) yang sama sekali tidak memiliki sistem
pemerintahan yang sah yang diauki oleh seluruh penduduknya, mereka berpaku pada
Amir kabilah mereka masing-masing. Para Amir kabilah ini tidak dikenal oleh
kerajaan-kerajaan atau imperium besar yang lain, kalaupun mereka pergi ke Syam,
mereka berlaku seperti orang pada umumnya, jual-beli di pasar, dan jika mereka
menghadap raja, mereka sama sekali tak disambut, tak seperti jika raja Persia
mengunjungi Romawi misalnya. Banyaknya kabilah yang terpecah belah ini
menyebabkan sering terjadinya peperangan di antara mereka.
Dari segi ekonomi, mereka menggantungkannya pada kerajinan, atau pertanian,
atau perdaganagan. Tapi yang amat disayangkan adalah bahwa banyak dari
pengrajin itu bukan orang Arab asli, melainkan orang Persia ataupun orang
Romawi, sehingga bangsa Arab sangat sedikit memiliki pengrajin. Maka mereka pun
bergantung pada orang-orang non-Arab, dan dari sisi kerajinan ini bangsa Arab
tidak bisa meningkatkan ekonomi bangsanya.
Kemudian seperti kita ketahui bahwa Jazirah Arab ini memiliki banyak tanah
tandus yang sulit air, sehingga hal tersebut menyulitkan bangsa Arab untuk
bercocok tanam, dan kalaupun bisa mereka bercocok tanam, maka hasil panennya
pun sulit untuk dijaga dari kerusakan yang membuatnya sulit untuk dijual ke luar
daerah. Maka, dari sisi pertanian mereka tak bisa menggantungkan ekonomi bangsa
mereka.
Kemudian mereka pun menggantungkan ekonomi mereka pada perdagangan yang
mana hal itu menyita waktu yang amat panjang, sebab bangsa Arab berdagang di
musim dingin ke negeri Yaman dan di musim panas ke negeri Syam yang jarak
keduanya sangat jauh dan membutuhkan berbulan-bulan lamanya.
Tidak adanya pengrajin, sulitnya bercocok tanam, berdangan ke tempat yang
jauh, membuat bangsa Arab sulit membangun ekonimi mereka secara keseluruhan.
Dari segi kemasyarakatan, kita tahu bahwa sistem politik mereka berpaku
pada sistem kabilah yang dipimpin oleh para amir, akibatnya sering terjadi
peperangan di antara mereka sebab dari tidak adanya persatuan di antara mereka.
Perang yang terjadi di antara mereka ini, biasanya tidak terjadi dalam satu
hari satu malam, melainkan berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.
Kemudian banyak sekali terjadi masalah
rumah tangga pada masyarakat kala itu. Bagaimana tidak? Sedangkan bangsa Arab
kala itu begitu menginakan perempuan, menjual perempuan seperti barang dagang,
dan juga hilangnya perasaan seorang ayah pada putrinya yang berani mengubur
hidup-hidup putrinya hanya karena takut kemiskinan! Bagaimana bisa sebuah
bangsa maju dengan kondisi rumah tangga yang semacam ini?
Jika kondisi mereka seperti ini,
tidak ada kesibukan mengurusi politik, juga kerajinan atau bisnis, apa yang
terjadi? Waktu kosong mereka sangat banyak, mereka mengisi waktu kosong itu
dengan nongkrong-nongkrong di pasar-pasar. Lewat tongkrongan inilah muncul
budaya syair dan khutbah, mereka sering saling adu bahasa di tongkrongan tersebut,
maka tak heran jika bangsa Arab kala itu begitu menjaga kefasihan bahasa
mereka, karena di situlah nilai mereka: di dalam kefasihan bahasa.
Mereka sering menampilkan karya-karya mereka berupa syair dan khubtah di
pasar-pasar, seperti pasar Al-Musya’ar di Bahrain, pasar Asy-Syahkr di Oman, pasar
Dzul Majaz di Arafat, Mekkah, pasar Ukazh di Thaif,
dan pasar Habasyah di Mekkah. Para penyair ini
bagaikan nabi kabilahnya, mereka dibenarkan informasinya, disanjung keindahan
kata-katanya, dan dibayar atas syairnya. Maka setiap kabilah sering mengirim
para penyair mereka ke pasar-pasar untuk membanggakan kabilahnya dan
menyebutkan kebaikan-kebaikan para amirnya di hadapan masyarakat.
Budaya syair ini membuat nilai kata-kata di bangsa Arab begitu kuat, dengan
kata-kata seorang penyair bisa mendapatkan uang dan kedudukan yang tinggi, juga
dengan kata-kata seorang penyair bisa menjatuhkan kedudukan kabilah lawannya.
Oleh karena itu, bangsa Arab sangat mencintai kefasihan bahasa, kelurusan
kaidahnya, keindahan penyusunannya.
Dan titik inilah yang akan dilemahkan oleh Al-Quran, di
sinilah salah satu peran Al-Quran menjadi mukjizat. Allah mengutus
Rasulullah untuk mengeluarkan bangsa Arab dan seluruh manusia dari kegelapan
menuju cahaya Islam dengan Al-Quran yang memiliki kapasitas bahasa yang
melampaui kemampuan bangsa Arab dalam berkata-kata. Al-Quran
sangat detail dalam menjelaskan makna-makna, dan menggunakan irama yang indah,
juga memiliki sifat balaghah yang tinggi dan sangat i’jaz (singkat, padat,
jelas, luas).
Allah berfirman,
وَاِنۡ کُنۡتُمۡ
فِىۡ رَيۡبٍ مِّمَّا نَزَّلۡنَا عَلٰى عَبۡدِنَا فَاۡتُوۡا بِسُوۡرَةٍ مِّنۡ
مِّثۡلِهٖ
Dan jika kamu meragukan (Alquran) yang kami turunkan
kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya.
(Al-Baqarah: 23)
Tapi, apakah mereka sebenarnya terpengaruh oleh Al-Quran dengan kapasitas
mereka yang sangat paham dengan keindahan bahasa?
Tentu saja, mereka sangat-sangat terpengaruh, maka dari itu, para pembenci
Islam dari kafir Quraisy melarang manusia dari mendengar Al-Quran, mereka
melarang mendekati majelis Rasulullah, karena mereka tahu bahwa jika manusia
mendengarkan Al-Quran mereka akan terpengaruh olehnya, sebagaimana firman
Allah,
Dan orang-orang yang kafir berkata, "Janganlah
kamu mendengarkan (bacaan) Alquran ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar
kamu dapat mengalahkan (mereka)." (Fussilat: 26)
Terus, apa yang menghalangi mereka dari iman?
Yaitu, keras kepala dan sombong, atau gengsi. Mereka tak mau percaya pada
kemujizatan Al-Quran yang dibawakan oleh Rasulullah, karena mereka merasa bahwa
Rasulullah ini “anak baru lahir”. Walaupun hati kecil mereka berkata bahwa
mereka percaya akan kebenaran Al-Quran dan Rasulullah tidak mungkin berdusta
karena seluruh orang Arab sudah mengenal perangai Rasulullah sebagai Al-Amin
(orang yang terpercaya).
Sebagai contoh, Abu Sufyan, Abu Jahal, dan Al-Akhnas bin Syariq pernah
mengendap-endap untuk mendengar bacaan Al-Quran Rasulullah ketika beliau
shalat, mereka berpencar sehingga mereka tidak berkumpul di tempat yang sama,
mereka duduk mendengarkan bacaan itu hingga fajar. Ketika fajar, mereka pun
bertemu dan berkata salah satu di antara mereka, “Jangan kembali lagi, kalau
ada salah satu dari kalian kembali lagi, aku akan lakukan sesuatu padanya.”
Keesokan harinya, mereka kembali di tempatnya masing-masing, dan saling
bertemu lagi ketika fajar dan berkata salah satu dari mereka, “Jangan kembali
lagi, kita ambil janji.”
Lalu, Al-Akhnas bertanya pada Abu Jahal, “Bagaimana pendapatmu soal bacaan
tadi?”
Ia menjawab, “Hah! Apa yang aku dengar tadi! Aku tak akan percaya
selamanya!”
Kemudian Abu Jahal menjawab,
“Demi Allah, aku percaya bahwa Muhammad adalah orang jujur, dan dia tak akan
pernah berdusta, hanya saja kalau Bani Qushay (salah satu kabilah Quraisy yang
Rasulullah berasal dari sana) mengambil urusan Bendera (simbol persatuan
Quraisy), Pemberian air pada jamaah haji, Hijabah (urusan pengurusan Ka’bah),
Darun Nadwah, dan (sekarang) Nubuwah, maka apa yang akan diurusi oleh kabilah
Quraisy yang lain?.” Di Sini Abu Jahal mempolitisi masalah.
Bahkan orang kafir Arab kala itu pun mengakui kemukjizatan Al-Quran, hanya
saja mereka hasad (iri-dengki) kepada Nabi Muhammad karena Al-Quran tidak turun
kepada para pembesar Arab, sebagaimana Allah berfirman,
وَقَالُوۡا
لَوۡلَا نُزِّلَ هٰذَا الۡقُرۡاٰنُ عَلٰى رَجُلٍ مِّنَ الۡقَرۡيَتَيۡنِ عَظِيۡمٍ
Dan mereka (juga) berkata,
"Mengapa Alquran ini tidak diturunkan kepada orang besar (kaya dan
berpengaruh) dari salah satu dua negeri ini (Mekkah dan Taif)?"
(Az-Zukhruf: 31)
Ayat ini turun untuk menjelaskan
perkataan Al-Walid Bin Al-Mughirah yang berkata, “Kenapa Al-Quran ini turun
kepada Muhammad, (tidak padaku) lalu aku ditinggalkan sedangkan aku adalah
pembesar Quraisy dan pemimpinnya.”
Telah jelaslah bahwa di sini Al-Quran telah menjadi mukjizat, mampu
melemahkan apa yang dimiliki bangsa Arab kala itu dari bahasanya, dan itu tak
ada satupun orang Arab yang menyangkalnya.
Ini hanya satu dari alasan Al-Quran disebut mukjizat, Al-Quran adalah
mukjizat sepanjang zaman yang keajiabannya bukan hanya tentang kebahasaan, tapi
juga tentang keilmuan yang ada di dalamnya, seperti sains dan kedokteran.
Kenapa Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab?
Dalam pertanyaan ini terkandung pertanyaan, kenapa Rasulullah diturunkan di
bangsa Arab? Alasannya adalah untuk hikmah yang Allah ingin sampaikan kepada
manusia.
Apa alasannya?
اَلرِّجَالُ
قَوَّامُوۡنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعۡضَهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan
(istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas
sebagian yang lain (perempuan), (An-Nisa:
34)
وَاللّٰهُ
فَضَّلَ بَعۡضَكُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ فِى الرِّزۡقِ
Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang
lain dalam hal rezeki, (An-Nahl: 71)
يٰبَنِىۡٓ
اِسۡرَآءِيۡلَ اذۡكُرُوۡا نِعۡمَتِىَ الَّتِىۡٓ اَنۡعَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ وَاَنِّىۡ
فَضَّلۡتُكُمۡ عَلَى الۡعٰلَمِيۡنَ
Wahai Bani Israil! Ingatlah
nikmat-Ku yang telah aku berikan kepadamu, dan Aku telah melebihkan kamu dari
semua umat yang lain di alam ini (pada masa itu). (Al-Baqarah: 47)
Allah saja bisa melebihkan rezeki seseorang di atas orang lain, juga bisa
melebihkan laki-laki di atas perempuan, maka tidak mustahil Allah melebihkan
bangsa Arab di atas bangsa yang lain sebagaimana dahulu Allah melebihkan Bani
Israil di atas bangsa yang lain.
Hikmahnya adalah Allah Maha berkuasa dalam
melebihkan suatu kaum di atas yang lain.
Kedua, bangsa Arab ini memiliki keistimewaan
secara fisik, budaya, dan kebahasaan yang cocok untuk diembankan amanah dakwah
Islam kepada mereka. Secara fisik, kita tahu bahwa bangsa Arab sangat sering
terjadi peperangan, ditambah kehidupan mereka yang sulit di tanah tandus dan
padang pasir membuat fisik mereka kuat dan mental mereka kokoh. Secara budaya,
meskipun banyak karakter buruk pada mereka bukan berarti mereka tidak memiliki
budaya yang baik, bangsa Arab sangat cinta kejujuran, senang menepati janji,
dan menghormati tamu, sifat-sifat terpuji itu membudaya di antara mereka
sehingga aib bagi mereka jika mereka berbuat dusta, mengingkari janji, atau
tidak menghormati tamu. Sifat-sifat ini dibutuhkan untuk dakwah Islam, karena
dakwah Islam harus disampaikan dengan jujur, amanah, dan menghormati pemeluk
baru. Secara kebahasaan, bahasa Arab sangat terjaga dan tertata rapih, karena
seperti sudah dijelaskan bahwa bangsa Arab sangat suka dengan kefasihan bahasa,
juga karena bahasa Arab ini adalah bahasa Samiyah terluas, baik cakupan
penggunanya ataupun secara kedalaman maknanya, serta bahasa Arab ini dikenal
oleh bangsa-bangsa tetangga karena budaya mereka yang sering berdagang ke
berbagai negeri. Maka, dipilihlah logat Quraisy sebagai bahasa resmi Al-Quran
karena logat ini paling fasih dan paling dikenal oleh seantero Arab.
Karena dua alasan di atas, Nabi Muhammad pun diutus pada bangsa Arab, agar
dakwah Islam ini tersebar luas hingga keseluruh manusia.
Ketiga, karena Nabi Muhammad diutus pada bangsa
Arab, maka kitab yang diturunkannya pun harus sesuai dengan bahasa bangsanya,
maka Al-Quran pun diturunkan dengan bahasa Arab agar kaumnya paham isi dari
Al-Quran. Sebagaimana Allah berfirman,
وَمَاۤ
اَرۡسَلۡنَا مِنۡ رَّسُوۡلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوۡمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُم
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan
dengan bahasa kaumnya, (Ibrahim: 4)
Hikmahnya adalah bangsa Arab
mampu mendalami isi Al-Quran dan merasakan keindahan yang ada di dalamnya.
Kesimpulan
Adalah bahwa kita harus bangga memiliki Al-Quran, terlebih ada dalam hati
kita. Maka dari itu, di antara cara kita membanggakan Al-Quran ini adalah
dengan senantiasa menghidupkan Al-Quran dala hati kita dengan tidak liput satu
hari pun tanpa membaca Al-Quran.
Jika kita mencintai seseorang dari jauh, maka yang diharapkan dari kekasih
kita adalah pesan dari dirinya dan dapat bertemu dengannya. Maka, Al-Quran
adalah surat cinta dari Allah dan sholat adalah waktu kita bertemu dengan-Nya,
jika kita cinta pada Allah, seharusnya kita tak malas beribadah pada-Nya, dan
ketika beribadah pun kita menemukan cinta yang membuat kita bahagia, sebab
cinta Allah adalah cinta yang sesungguhnya.
Tidak ada yang setara dengan keindahan bahasa Al-Quran, seindah apapun
lirik dari seorang penyanyi atau bait-bait dari seorang penyair, maka tak ada
yang bisa menandingi Al-Quran. Dalam lirik atau bait itu hanya terkandung makna
yang zahir, sekalipun ada makna terselubung pasti hanya satu makna saja,
sedangkan Al-Quran, setiap hurufnya ada makna tersendiri, setiap penyusunan
katanya ada makna tersendiri, setiap ayatnya memiliki makna yang luas, bahkan
di dalam bentuk hurufnya dan pemilihan katanya pun terkandung makna yang luar
biasa, maka tak heran jika Al-Quran yang dari dulu hingga sekarang tak pernah
bertambah ketebalannya atau bahkan satu huruf pun bisa menghasilkan tafsiran
dari berbagai sisi yang kitab-kitabnya bisa memenuhi satu aula besar bahkan
lebih.
Al-Quran ini terasa bosan bukan karena Al-Quran ini membosankan, tapi
karena hati kita yang kotor yang sudah terlalu banyak diisi oleh omong kosong,
sehingga hati kita tak lagi bisa menikmati keindahan Al-Quran.
Semoga Allah jadikan kita selalu istiqamah di dalam ketaatan dan
membersihkan hati kita sehingga Al-Quran kembali terasa lezat ketika kita
membacanya.
Alhamdulillah ala kulli hal.
Komentar
Posting Komentar