Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa



Diri kita terdiri dari dua hal yaitu jasad dan ruh. Jasad harus diberi gizi yang cukup untuk tumbuh kuat dan gizinya berbentuk materi seperti makanan dan minuman. Begitu juga dengan ruh yang membutuhkan asupan gizi, namun gizinya bukan berbentuk materi melainkan maknawi yaitu hidayah. Sebagaimana Allah memudahkan kita untuk mendapatkan asupan gizi materi bagi jasad kita, Allah juga telah memudahkan kita untuk mendapatkan hidayah itu sebagai asupan gizi maknawi bagi ruh kita, dengan cara diutusnya para rasul untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar dan juga diberikan pula pada manusia akal sehat agar mudah untuk meyakini apa yang dibawakan oleh para rasul.

Para rasul diutus kepada kaum yang sudah mulai melenceng dari jalan yang benar, seperti kaum Nabi Nuh yang sejak 10 abad menyembah Allah lalu kemudian mereka berpaling menuju penyembahan patung akibat perilaku mereka yang berlebihan terhadap orang saleh, maka Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan mereka menuju penyembahan Allah semata, dan mengajarkan mereka nilai-nilai agama yang benar, serta diberikan pada para rasul mukjizat sebagai bukti kebenaran ilahi.

Lantas apa itu Mukjizat?

Kita biasanya mengartikan mukjizat sebagai keajaiban atau miracle. Menurut KBBI, Mukjizat secara etimologi (bahasa) adalah kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Jika ditinjau dari bahasa Arab, maka makna Mukjizat secara etimologi adalah زوال القدرة على الإتيان بالشيء من عمل أو رأي أو تدبر[1] hilangnya kemampuan dalam mendatangkan sesuatu baik itu sebuah perbuatan, atau pendapat, atau penelaahan. Sedangkan secara terminologi, maknanya pun kurang lebih sama dengan definis KBBI, yaitu الأمر الخارق للعادة sesuatu kejadian yang terjadi di luar kebiasaan.

Namun bila kita bedah asal kata Mukjizat (معجزة), maka itu berasal dari kata fi’il (عجز) yang artinya lemah, kemudian ditambahkan hamzah ta’diyah (hamzah tambahan dalam fi’il supaya kata kerja itu membutuhkan objek) menjadi (أعجز) yang artinya “membuat objek lemah dan kalah”, kemudian fi’il itu dijadikan ism fa’il (kata benda subjek) dan ditambahkan tanda ta’nits, maka jadilah (معجزة).  Sehingga mukjizat itu diberikan kepada para nabi dan rasul untuk melemahkan dan mengalahkan kemampuan yang pada saat itu kaumnya mumpuni dan mahir di dalamnya.

Mukjizat ini datang dengan tantangan pada manusia, tapi bukan dalam bentuk penghinaan. Contoh tantangan berbentuk hinaan adalah seorang pemuda menantang kakek tua balap lari, yang tentu akan dimenangkan oleh pemuda itu, yang secara tidak langsung ia sedang merendahkan kakek tua itu. Namun jika tantangannya datang dari seorang pemuda yang pandai lari dengan atlet lari, maka itu bukan sedang menghinakan, namun sedang menguji kemampuan dirinya atau kemampuan lawannya. Begitulah kondisi mukjizat, dia datang dengan tantangan kepada manusia yang berakal sehat dan memiliki kemampuan untuk berkompetisi sehingga datangnya mukjizat bukanlah untuk menghinakan manusia, namun mengajak manusia untuk sadar bahwa kemampuan dirinya terbatas dibandingkan kemampuan Allah dalam melakukan apapun sesuai kehendak-Nya.

Sebagai contoh, Allah mengutus Nabi Musa kepada kaum yang sangat mahir berbuat sihir, sampai-sampai kota itu dipenuhi oleh para penyihir, namun penyihir itu sama sekali tidak bisa mengubah sesuatu kepada sesuatu yang lain, penyihir tidak bisa mengubah daun menjadi uang, tapi mereka bisa membuat tipu daya di mata manusia yang melihatnya seakan-akan hal itu berubah padahal tidak, penyihir hanya mengubah benda secara khayali, bukan hakiki. Maka tak heran ketika Allah menceritakan kisah para penyihir yang menantang Nabi Musa untuk mengubah tongkat menjadi ular, Allah berfirman,

فَاِذَا حِبَالُهُمۡ وَعِصِيُّهُمۡ يُخَيَّلُ اِلَيۡهِ مِنۡ سِحۡرِهِمۡ اَنَّهَا تَسۡعٰى‏

Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka terbayang olehnya (Musa) seakan-akan ia merayap cepat, karena sihir mereka.  (Taha: 66)

Mereka tak mengubah tongkat itu menjadi ular, hanya terlihat seperti ular. Berbeda dengan Nabi Musa yang ketika melempar tongkatnya, maka berubahlah ia menjadi ular yang nyata, sebagaimana Allah berfirman,

فَاَلۡقٰٮهَا فَاِذَا هِىَ حَيَّةٌ تَسۡعٰى‏

Lalu (Musa) melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. (Taha: 20)

Maka Nabi Musa diberikan Mukjizat untuk mengalahkan kemampuan yang kaumnya mumpuni dan mahir di dalamnya, namun para penyihir itu hanya mengubah benda dari hakikat menjadi khayalan, sedangkan Nabi Musa atas izin Allah mampu mengubah hakikat menjadi hakikat. Maka tak heran, para penyihir ini menjadi orang-orang yang pertama kali menyadari kenabian Musa dan percaya bahwa mukjizat itu bukan datang dari Nabi Musa melainkan dari Tuhannya Musa.

Contoh lainnya, pada zaman Nabi Isa, banyak muncul dokter-dokter yang mahir di bidangnya, bahkan mereka mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Namun Allah datangkan kepada Nabi Isa sebuah mukjizat yang bisa mengalahkan kemampuan para dokter saat itu, yaitu menghidupkan orang mati. Karena dokter hanya bisa menyembuhkan orang yang masih hidup. Allah berfirman,

اَنِّىۡ قَدۡ جِئۡتُكُمۡ بِاٰيَةٍ مِّنۡ رَّبِّكُمۡ ۙ اَنِّىۡۤ اَخۡلُقُ لَـكُمۡ مِّنَ الطِّيۡنِ كَهَیْـــَٔةِ الطَّيۡرِ فَاَنۡفُخُ فِيۡهِ فَيَكُوۡنُ طَيۡرًاۢ بِاِذۡنِ اللّٰهِ​​ وَاُبۡرِئُ الۡاَكۡمَهَ وَالۡاَبۡرَصَ وَاُحۡىِ الۡمَوۡتٰى بِاِذۡنِ اللّٰهِ​

(Nabi Isa berkata) "Aku telah datang kepada kamu dengan satu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuatkan bagimu (sesuatu) dari tanah berbentuk seperti burung, lalu aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan izin Allah. Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahir dan orang yang berpenyakit kusta. Dan aku menghidupkan orang mati dengan izin Allah.” (Ali Imran: 49)

Kemudian, Nabi Saleh yang diutus kepada kaum Tsamud yang terkenal mahir memahat, mereka sangat mahir membuat patung dan membangun rumah di dinding-dinding tebing, namun semahir apapun mereka dalam memahat patung, maka patung itu akan tetap dalam kondisinya sebagai patung tak bernyawa. Maka Allah pun memberikan mukjizat kepada Nabi Saleh berupa patung unta dari batu yang hidup, bisa makan, minum, bahkan menghasilkan susu setelah berdoa agar mengabulkan tantangan kaum Tsamud. Maka kemampuan kaumnya pun terkalahkan oleh mukjizat yang datang dari Allah, mereka mampu mengukir patung unta, tapi tak bisa menjadikannya hidup bernyawa.

Lantas kenapa Al-Quran disebut mukjizat? Apa hal yang dilemahkan oleh Al-Quran?

Sebelum kita bahas tentang ini, kita harus tahu terlebih dahulu bagaimana kondisi masyarakat Arab yang Jahiliyah secara politik, ekonomi, dan kemasyarakatan.

Dari segi politik, bangsa Arab diliputi oleh dua imperium besar yaitu Romawi yang dipimpin oleh Kaisar dan Persia yang dimpimipin oleh Kisra, juga terdapat dua kerajaan yang cukup besar yaitu Mesir yang dipimpin oleh Muqauqas (pemimpin Qibti) dan Habasyah yang dipimpin oleh Najasyi. Sedangkan bangsa Arab tak memiliki kerajaan yang menyatukan mereka, mereka hanya berbasis pada sistem kabilah yang dipimpin oleh Amir (pemuka adat) di kabilah tersebut, meskipun terdapat juga bangsa Arab yang memiliki kerajaan, namun kerajaan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan tunduk pada dua imperium besar seperti Kerajaan Gassan di Syam yang tunduk pada Romawi  dan Kerajaan Manadzirah di Irak yang tunduk pada Persia. Terdapat juga kerajaan yang tidak tunduk pada imperium seperti Kerajaan Mu’in, Saba, dan Himyar di Yaman. Bagaimanapun, yang tercepah belah lebih banyak ketimbang yang bersatu, tertuma di daerah Hijaz (daerah sebelah barat Jazirah Arab yang terbentang dari perbatasan Yordania Utara hingga wilayah Asir di selatan) yang sama sekali tidak memiliki sistem pemerintahan yang sah yang diauki oleh seluruh penduduknya, mereka berpaku pada Amir kabilah mereka masing-masing. Para Amir kabilah ini tidak dikenal oleh kerajaan-kerajaan atau imperium besar yang lain, kalaupun mereka pergi ke Syam, mereka berlaku seperti orang pada umumnya, jual-beli di pasar, dan jika mereka menghadap raja, mereka sama sekali tak disambut, tak seperti jika raja Persia mengunjungi Romawi misalnya. Banyaknya kabilah yang terpecah belah ini menyebabkan sering terjadinya peperangan di antara mereka.

Dari segi ekonomi, mereka menggantungkannya pada kerajinan, atau pertanian, atau perdaganagan. Tapi yang amat disayangkan adalah bahwa banyak dari pengrajin itu bukan orang Arab asli, melainkan orang Persia ataupun orang Romawi, sehingga bangsa Arab sangat sedikit memiliki pengrajin. Maka mereka pun bergantung pada orang-orang non-Arab, dan dari sisi kerajinan ini bangsa Arab tidak bisa meningkatkan ekonomi bangsanya.

Kemudian seperti kita ketahui bahwa Jazirah Arab ini memiliki banyak tanah tandus yang sulit air, sehingga hal tersebut menyulitkan bangsa Arab untuk bercocok tanam, dan kalaupun bisa mereka bercocok tanam, maka hasil panennya pun sulit untuk dijaga dari kerusakan yang membuatnya sulit untuk dijual ke luar daerah. Maka, dari sisi pertanian mereka tak bisa menggantungkan ekonomi bangsa mereka.

Kemudian mereka pun menggantungkan ekonomi mereka pada perdagangan yang mana hal itu menyita waktu yang amat panjang, sebab bangsa Arab berdagang di musim dingin ke negeri Yaman dan di musim panas ke negeri Syam yang jarak keduanya sangat jauh dan membutuhkan berbulan-bulan lamanya.

Tidak adanya pengrajin, sulitnya bercocok tanam, berdangan ke tempat yang jauh, membuat bangsa Arab sulit membangun ekonimi mereka secara keseluruhan.

Dari segi kemasyarakatan, kita tahu bahwa sistem politik mereka berpaku pada sistem kabilah yang dipimpin oleh para amir, akibatnya sering terjadi peperangan di antara mereka sebab dari tidak adanya persatuan di antara mereka. Perang yang terjadi di antara mereka ini, biasanya tidak terjadi dalam satu hari satu malam, melainkan berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Kemudian  banyak sekali terjadi masalah rumah tangga pada masyarakat kala itu. Bagaimana tidak? Sedangkan bangsa Arab kala itu begitu menginakan perempuan, menjual perempuan seperti barang dagang, dan juga hilangnya perasaan seorang ayah pada putrinya yang berani mengubur hidup-hidup putrinya hanya karena takut kemiskinan! Bagaimana bisa sebuah bangsa maju dengan kondisi rumah tangga yang semacam ini?

Perhatikan masyarakat bangsa Arab kala itu, tidak ada sistem pemerintahan yang sah yang menyatukan mereka, juga tidak ada hal dari segi ekonomi yang menyatukan maslahat mereka, juga tidak ada kedamaian di antara mereka yang menguatkan mereka satu sama lain, ditambah lagi agama mereka mengajarkan kebencian dan permusuhan, kebiasaan mereka pun merampok dan merampas, dan tuhan mereka adalah patung-patung!

Jika kondisi mereka seperti ini, tidak ada kesibukan mengurusi politik, juga kerajinan atau bisnis, apa yang terjadi? Waktu kosong mereka sangat banyak, mereka mengisi waktu kosong itu dengan nongkrong-nongkrong di pasar-pasar. Lewat tongkrongan inilah muncul budaya syair dan khutbah, mereka sering saling adu bahasa di tongkrongan tersebut, maka tak heran jika bangsa Arab kala itu begitu menjaga kefasihan bahasa mereka, karena di situlah nilai mereka: di dalam kefasihan bahasa.

Mereka sering menampilkan karya-karya mereka berupa syair dan khubtah di pasar-pasar, seperti pasar Al-Musya’ar di Bahrain, pasar Asy-Syahkr di Oman, pasar Dzul Majaz di Arafat, Mekkah, pasar Ukazh di Thaif, dan pasar Habasyah di Mekkah. Para penyair ini bagaikan nabi kabilahnya, mereka dibenarkan informasinya, disanjung keindahan kata-katanya, dan dibayar atas syairnya. Maka setiap kabilah sering mengirim para penyair mereka ke pasar-pasar untuk membanggakan kabilahnya dan menyebutkan kebaikan-kebaikan para amirnya di hadapan masyarakat.

Budaya syair ini membuat nilai kata-kata di bangsa Arab begitu kuat, dengan kata-kata seorang penyair bisa mendapatkan uang dan kedudukan yang tinggi, juga dengan kata-kata seorang penyair bisa menjatuhkan kedudukan kabilah lawannya. Oleh karena itu, bangsa Arab sangat mencintai kefasihan bahasa, kelurusan kaidahnya, keindahan penyusunannya.

Dan titik inilah yang akan dilemahkan oleh Al-Quran, di sinilah salah satu peran Al-Quran menjadi mukjizat. Allah mengutus Rasulullah untuk mengeluarkan bangsa Arab dan seluruh manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam dengan Al-Quran yang memiliki kapasitas bahasa yang melampaui kemampuan bangsa Arab dalam berkata-kata. Al-Quran sangat detail dalam menjelaskan makna-makna, dan menggunakan irama yang indah, juga memiliki sifat balaghah yang tinggi dan sangat i’jaz (singkat, padat, jelas, luas).

Allah berfirman,

وَاِنۡ کُنۡتُمۡ فِىۡ رَيۡبٍ مِّمَّا نَزَّلۡنَا عَلٰى عَبۡدِنَا فَاۡتُوۡا بِسُوۡرَةٍ مِّنۡ مِّثۡلِهٖ

Dan jika kamu meragukan (Alquran) yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya. (Al-Baqarah: 23)

Maka, lewat Al-Quran Allah berani menantang bangsa Arab untuk mendatangkan satu ayat saja yang sebanding dengan Al-Quran, tapi mereka tak bisa, karena mereka tahu seberapa tinggi kebahasaan Al-Quran, dan mereka menyadari bahwa tingginya kebahasaan Al-Quran yang bisa mengalahkan syair-syair bangsa Arab ini pasti bukan dari sisi Rasulullah, tapi dari sisi Allah. Karena mereka tidak bisa menerima tantangan tersebut, maka mereka pun memilih jalan persekusi yaitu perang dengan dakwah Rasulullah.

Tapi, apakah mereka sebenarnya terpengaruh oleh Al-Quran dengan kapasitas mereka yang sangat paham dengan keindahan bahasa?

Tentu saja, mereka sangat-sangat terpengaruh, maka dari itu, para pembenci Islam dari kafir Quraisy melarang manusia dari mendengar Al-Quran, mereka melarang mendekati majelis Rasulullah, karena mereka tahu bahwa jika manusia mendengarkan Al-Quran mereka akan terpengaruh olehnya, sebagaimana firman Allah,

وَقَالَ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا لَا تَسۡمَعُوۡا لِهٰذَا الۡقُرۡاٰنِ وَالۡغَوۡا فِيۡهِ لَعَلَّكُمۡ تَغۡلِبُوۡنَ‏

Dan orang-orang yang kafir berkata, "Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Alquran ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat mengalahkan (mereka)." (Fussilat: 26)

Terus, apa yang menghalangi mereka dari iman?

Yaitu, keras kepala dan sombong, atau gengsi. Mereka tak mau percaya pada kemujizatan Al-Quran yang dibawakan oleh Rasulullah, karena mereka merasa bahwa Rasulullah ini “anak baru lahir”. Walaupun hati kecil mereka berkata bahwa mereka percaya akan kebenaran Al-Quran dan Rasulullah tidak mungkin berdusta karena seluruh orang Arab sudah mengenal perangai Rasulullah sebagai Al-Amin (orang yang terpercaya).

Sebagai contoh, Abu Sufyan, Abu Jahal, dan Al-Akhnas bin Syariq pernah mengendap-endap untuk mendengar bacaan Al-Quran Rasulullah ketika beliau shalat, mereka berpencar sehingga mereka tidak berkumpul di tempat yang sama, mereka duduk mendengarkan bacaan itu hingga fajar. Ketika fajar, mereka pun bertemu dan berkata salah satu di antara mereka, “Jangan kembali lagi, kalau ada salah satu dari kalian kembali lagi, aku akan lakukan sesuatu padanya.”

Keesokan harinya, mereka kembali di tempatnya masing-masing, dan saling bertemu lagi ketika fajar dan berkata salah satu dari mereka, “Jangan kembali lagi, kita ambil janji.”

Lalu, Al-Akhnas bertanya pada Abu Jahal, “Bagaimana pendapatmu soal bacaan tadi?”

Ia menjawab, “Hah! Apa yang aku dengar tadi! Aku tak akan percaya selamanya!”

Tatkala mereka berjalan berdua saja, Al-Akhnas bertanya lagi, “Wahai Abul Hikam (julukan asli Abu Jahal), apakah Muhammad itu adalah orang jujur atau pembohong? Beritahu aku, tak ada orang lain yang mendengarkan perkataanmu selain aku.”

Kemudian Abu Jahal menjawab, “Demi Allah, aku percaya bahwa Muhammad adalah orang jujur, dan dia tak akan pernah berdusta, hanya saja kalau Bani Qushay (salah satu kabilah Quraisy yang Rasulullah berasal dari sana) mengambil urusan Bendera (simbol persatuan Quraisy), Pemberian air pada jamaah haji, Hijabah (urusan pengurusan Ka’bah), Darun Nadwah, dan (sekarang) Nubuwah, maka apa yang akan diurusi oleh kabilah Quraisy yang lain?.” Di Sini Abu Jahal mempolitisi masalah.

Bahkan orang kafir Arab kala itu pun mengakui kemukjizatan Al-Quran, hanya saja mereka hasad (iri-dengki) kepada Nabi Muhammad karena Al-Quran tidak turun kepada para pembesar Arab, sebagaimana Allah berfirman,

وَقَالُوۡا لَوۡلَا نُزِّلَ هٰذَا الۡقُرۡاٰنُ عَلٰى رَجُلٍ مِّنَ الۡقَرۡيَتَيۡنِ عَظِيۡمٍ‏

Dan mereka (juga) berkata, "Mengapa Alquran ini tidak diturunkan kepada orang besar (kaya dan berpengaruh) dari salah satu dua negeri ini (Mekkah dan Taif)?" (Az-Zukhruf: 31)

Ayat ini turun untuk menjelaskan perkataan Al-Walid Bin Al-Mughirah yang berkata, “Kenapa Al-Quran ini turun kepada Muhammad, (tidak padaku) lalu aku ditinggalkan sedangkan aku adalah pembesar Quraisy dan pemimpinnya.”

Telah jelaslah bahwa di sini Al-Quran telah menjadi mukjizat, mampu melemahkan apa yang dimiliki bangsa Arab kala itu dari bahasanya, dan itu tak ada satupun orang Arab yang menyangkalnya.

Ini hanya satu dari alasan Al-Quran disebut mukjizat, Al-Quran adalah mukjizat sepanjang zaman yang keajiabannya bukan hanya tentang kebahasaan, tapi juga tentang keilmuan yang ada di dalamnya, seperti sains dan kedokteran.

Kenapa Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab?

Dalam pertanyaan ini terkandung pertanyaan, kenapa Rasulullah diturunkan di bangsa Arab? Alasannya adalah untuk hikmah yang Allah ingin sampaikan kepada manusia.

Apa alasannya?

Pertama, Allah memiliki kehendak bebas untuk melebihkan sesuatu di atas sesuatu, sebagaimana firman-Nya,

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوۡنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعۡضَهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), (An-Nisa: 34)

وَاللّٰهُ فَضَّلَ بَعۡضَكُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ فِى الرِّزۡقِ​

Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki, (An-Nahl: 71)

يٰبَنِىۡٓ اِسۡرَآءِيۡلَ اذۡكُرُوۡا نِعۡمَتِىَ الَّتِىۡٓ اَنۡعَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ وَاَنِّىۡ فَضَّلۡتُكُمۡ عَلَى الۡعٰلَمِيۡنَ‏

Wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah aku berikan kepadamu, dan Aku telah melebihkan kamu dari semua umat yang lain di alam ini (pada masa itu). (Al-Baqarah: 47)

Allah saja bisa melebihkan rezeki seseorang di atas orang lain, juga bisa melebihkan laki-laki di atas perempuan, maka tidak mustahil Allah melebihkan bangsa Arab di atas bangsa yang lain sebagaimana dahulu Allah melebihkan Bani Israil di atas bangsa yang lain.

Hikmahnya adalah Allah Maha berkuasa dalam melebihkan suatu kaum di atas yang lain.

Kedua, bangsa Arab ini memiliki keistimewaan secara fisik, budaya, dan kebahasaan yang cocok untuk diembankan amanah dakwah Islam kepada mereka. Secara fisik, kita tahu bahwa bangsa Arab sangat sering terjadi peperangan, ditambah kehidupan mereka yang sulit di tanah tandus dan padang pasir membuat fisik mereka kuat dan mental mereka kokoh. Secara budaya, meskipun banyak karakter buruk pada mereka bukan berarti mereka tidak memiliki budaya yang baik, bangsa Arab sangat cinta kejujuran, senang menepati janji, dan menghormati tamu, sifat-sifat terpuji itu membudaya di antara mereka sehingga aib bagi mereka jika mereka berbuat dusta, mengingkari janji, atau tidak menghormati tamu. Sifat-sifat ini dibutuhkan untuk dakwah Islam, karena dakwah Islam harus disampaikan dengan jujur, amanah, dan menghormati pemeluk baru. Secara kebahasaan, bahasa Arab sangat terjaga dan tertata rapih, karena seperti sudah dijelaskan bahwa bangsa Arab sangat suka dengan kefasihan bahasa, juga karena bahasa Arab ini adalah bahasa Samiyah terluas, baik cakupan penggunanya ataupun secara kedalaman maknanya, serta bahasa Arab ini dikenal oleh bangsa-bangsa tetangga karena budaya mereka yang sering berdagang ke berbagai negeri. Maka, dipilihlah logat Quraisy sebagai bahasa resmi Al-Quran karena logat ini paling fasih dan paling dikenal oleh seantero Arab.

Hikmahnya adalah dakwah Islam lebih mudah disampaikan ke seluruh manusia lewat orang-orang Arab yang memeluk Islam karena fisik mereka yang kuat, mental mereka yang kokoh, memiliki sifat yang jujur dan amanah serta menghargai, bahasa mereka yang fasih, dan dikenal oleh peradaban pada zaman itu.

Karena dua alasan di atas, Nabi Muhammad pun diutus pada bangsa Arab, agar dakwah Islam ini tersebar luas hingga keseluruh manusia.

Ketiga, karena Nabi Muhammad diutus pada bangsa Arab, maka kitab yang diturunkannya pun harus sesuai dengan bahasa bangsanya, maka Al-Quran pun diturunkan dengan bahasa Arab agar kaumnya paham isi dari Al-Quran. Sebagaimana Allah berfirman,

وَمَاۤ اَرۡسَلۡنَا مِنۡ رَّسُوۡلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوۡمِهٖ لِيُبَيِّنَ لَهُم

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, (Ibrahim: 4)

Hikmahnya adalah bangsa Arab mampu mendalami isi Al-Quran dan merasakan keindahan yang ada di dalamnya.

Kesimpulan

Adalah bahwa kita harus bangga memiliki Al-Quran, terlebih ada dalam hati kita. Maka dari itu, di antara cara kita membanggakan Al-Quran ini adalah dengan senantiasa menghidupkan Al-Quran dala hati kita dengan tidak liput satu hari pun tanpa membaca Al-Quran.

Jika kita mencintai seseorang dari jauh, maka yang diharapkan dari kekasih kita adalah pesan dari dirinya dan dapat bertemu dengannya. Maka, Al-Quran adalah surat cinta dari Allah dan sholat adalah waktu kita bertemu dengan-Nya, jika kita cinta pada Allah, seharusnya kita tak malas beribadah pada-Nya, dan ketika beribadah pun kita menemukan cinta yang membuat kita bahagia, sebab cinta Allah adalah cinta yang sesungguhnya.

Tidak ada yang setara dengan keindahan bahasa Al-Quran, seindah apapun lirik dari seorang penyanyi atau bait-bait dari seorang penyair, maka tak ada yang bisa menandingi Al-Quran. Dalam lirik atau bait itu hanya terkandung makna yang zahir, sekalipun ada makna terselubung pasti hanya satu makna saja, sedangkan Al-Quran, setiap hurufnya ada makna tersendiri, setiap penyusunan katanya ada makna tersendiri, setiap ayatnya memiliki makna yang luas, bahkan di dalam bentuk hurufnya dan pemilihan katanya pun terkandung makna yang luar biasa, maka tak heran jika Al-Quran yang dari dulu hingga sekarang tak pernah bertambah ketebalannya atau bahkan satu huruf pun bisa menghasilkan tafsiran dari berbagai sisi yang kitab-kitabnya bisa memenuhi satu aula besar bahkan lebih.

Al-Quran ini terasa bosan bukan karena Al-Quran ini membosankan, tapi karena hati kita yang kotor yang sudah terlalu banyak diisi oleh omong kosong, sehingga hati kita tak lagi bisa menikmati keindahan Al-Quran.

Semoga Allah jadikan kita selalu istiqamah di dalam ketaatan dan membersihkan hati kita sehingga Al-Quran kembali terasa lezat ketika kita membacanya.

Alhamdulillah ala kulli hal.



[1]  (Mandzhur, 5/369)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemilu (dari mata orang sok tahu)

Mimpi Untuk Cianjur

Penghargaan Yang Bukan Penghargaan (Mencari Hakikat Prestasi & Apresiasi)