Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Gambar
Diri kita terdiri dari dua hal yaitu jasad dan ruh. Jasad harus diberi gizi yang cukup untuk tumbuh kuat dan gizinya berbentuk materi seperti makanan dan minuman. Begitu juga dengan ruh yang membutuhkan asupan gizi, namun gizinya bukan berbentuk materi melainkan maknawi yaitu hidayah. Sebagaimana Allah memudahkan kita untuk mendapatkan asupan gizi materi bagi jasad kita, Allah juga telah memudahkan kita untuk mendapatkan hidayah itu sebagai asupan gizi maknawi bagi ruh kita, dengan cara diutusnya para rasul untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar dan juga diberikan pula pada manusia akal sehat agar mudah untuk meyakini apa yang dibawakan oleh para rasul. Para rasul diutus kepada kaum yang sudah mulai melenceng dari jalan yang benar, seperti kaum Nabi Nuh yang sejak 10 abad menyembah Allah lalu kemudian mereka berpaling menuju penyembahan patung akibat perilaku mereka yang berlebihan terhadap orang saleh, maka Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan mereka menuju penyem

Manipulasi Angka (Mencari Esensi Ujian dan Meluruskan Keliru)

Diangkat dari pengalaman selama 12 tahun duduk di bangku sekolah formal yang dipenuhi formalitas dibandingkan kualitas dan integritas. Setiap penghujung semester, para siswa dihadapkan pada ujian-ujian sebagai tolak ukur untuk menghitung sejauh mana siswa tersebut memahami setiap pelajaran. Sebuah langkah yang bagus karena dapat mendorong siswa untuk belajar dan mengulang ilmu yang telah dipelajarinya. Tapi, ilmu itu dirusak dengan angka-angka untuk meningkatkan kualitas sekolah dan namanya di mata umum sebagai “sekolah favorit”. Ujian yang sejatinya ditujukan untuk mengukur keilmuan siswa telah dicoreng oleh penjualan nama baik sekolah.

Selama aku mengikuti ujian dari SD sampai SMA, telah banyak kumenemukan kejanggalan-kejanggalan yang membuatku di satu sisi menguntungkan dan di sisi lain memalukan. Kecurangan kerap kali terjadi seperti pemberian soal-jawaban sebelum hari-hari ujian, pembolehan berdiskusi saat ujian, guru pengampu memberitahu jawaban tatkala ujian, atau melarang berbuat curang akan tetapi nilai-nilai yang merah direkayasa agar terlihat bagus semua. Semua itu kualami selama masa-masa 12 tahun sekolah formal, dan ku tak tahu apakah setelah ini, di jenjang berikutnya, akan terjadi hal yang sama. Semua bentuk kecurangan itu tentunya menguntungkan karena angka-angka yang tinggi membantu siswa naik ke jenjang berikutnya dengan mudah. Tapi, andaisaja semua siswa sadar, kecurangan itu memalukan. Ya, kamu dapat naik ke jenjang berikutnya, akan tetapi apa yang akan kamu katakan tentang ilmu yang kamu sama sekali tak paham, apakah kamu hanya akan selalu membiarkan angka berbicara? Banyak hal yang kusesali sekarang. Mungkin pemberian soal-jawaban terlihat seperti bukan sebuah “kecurangan”, seperti cara yang baik agar siswa mudah dalam mempelajari ilmu yang nanti akan diujikan supaya tak berbuat kecurangan. Kamu akan enteng menjawab soalan tanpa harus melirik kanan-kiri. Tapi cobalah kamu berpikir, misalnya, kamu berada di ujian akhir sekolah, ilmu yang diujikan adalah semua materi yang kamu pelajari selama 3 atau 6 tahun, kamu berjuang mati-matian dalam belajar selama kurun waktu itu dengan buku yang tebal-tebal tapi di penghujung kamu diberikan lembaran-lembaran soal-jawaban. Apa gunanya kamu belajar buku berjilid-jilid kalau pada akhirnya hanya selembaran kertas saja? Bagi yang belajar sungguh-sungguh mungkin dia tak akan menyesali itu karena ilmu yang dia pelajari tak sia-sia walau menghabiskan waktu yang panjang. Tapi, bagi siswa yang menjalankan masa-masa itu dengan datar, belajar karena paksaan orangtua atau lingkungan, selalu beranggapan “Yang penting lulus. Yang penting naik kelas,” dan alasan semisalnya, kemudian dia mendapatkan nilai yang tinggi karena mampu mengingat jawaban-jawaban itu yang sama sekali tak mewakili ilmu pengetahuannya. Apa yang dia dapatkan? Ilmunya seketika lupa ketika ujian usai tapi nilainya menjadi catatan yang tak terhapus. Apakah itu memalukan? Tentu. Masyarakat menunggu di kampung ingin melihatmu berubah dan bila mereka tahu bahwa kamu berprestasi di sekolah, mereka menunggu pembuktianmu atas mereka. Kemudian, pernah suatu ketika saat UN masih diselenggarakan, aku berjuang untuk ujian itu, membeli buku kumpulan soal, belajar setiap malam, namun seketika kutercengang tatkala hari pertama ujian, waktu itu adalah pelajaran Bahasa Indonesia, guru pengampunya memberikan hampir semua jawaban. Dan hari berikutnya pun sama demikian. Sehingga tak ada lagi selera untuk belajar karena apa guna bila semua jawaban akan diberitahukan. Demikian pengalaman yang kualami selama ini. Maka, dari sinilah muncul sebuah pertanyaan apakah ujian itu efektif?

Apakah ujian itu efektif?

Dalam menjawab pertanyaan ini tentu saja kita perlu mengetahui esensi dari ujian tersebut. Setiap orang memiliki pandangan masing-masing dalam keefektifan ujian dan esensinya. Efektif bermakna membawakan hasil atau guna, sedangkan ujian adalah cara mengukur kemampuan siswa. Kurang lebih demikian. Tapi, bila dilihat dari fenomena dalam dunia pendidikan kita yang mana ujian menjadi sebuah program inti dari sekolah dan menjadikannya sebuah tolak ukur kualitas sekolah itu di mata umum, sehingga seringkali segala upaya dilakukan agar nilai-nilai siswa tinggi dengan mengesampingkan nilai-nilai kejujuran. Yang penting sekolah memiliki nama baik di muka umum. Tentu bukanlah hal yang salah bila ujian dijadikan program inti dari sekolah. Ujian memiliki dampak positif bila diselanggarakan secara sehat dari cara memandang guru, murid, dan sekolah padanya. Aku mencoba menguraikan sedikit dari yang menurutku adalah sebuah kesalahan yang perlu diluruskan,

1.    Doktrin yang salah terhadap siswa

“Belajar bukan untuk ujian, tapi ujian adalah untuk belajar.” Begitulah slogan yang sering kudengar selama di sekolah. Sebuah kata yang tepat sekali, tapi pada kenyataanya dalam penerapannya justru berbeda. Kita memang belajar seharusnya bukan untuk ujian, tapi untuk menambah maklumat dan menaikkan kemampuan ilmu pengetahuan kita. Dan ujian adalah salah satu bentuk cara untuk menguji itu semua sejauh mana kita memahami ilmu tersebut. Akan tetapi, sekolah mendoktirn kita justru supaya kita “belajar untuk ujian”. Kita dipaksa untuk memahami pelajaran dengan cepat di kelas karena dikejar oleh bahan ajar yang ditargetkan selesai tanpa mempedulikan apakah siswa itu paham atau tidak, kemudian kita diharuskan mengikuti ujian dan dicamkan bahwa kita tak boleh merah. Apakah hakikat belajar itu agar kita tak merah saat ujian atau untuk menumbuhkan kesadaran akan ilmu? Itu selalu menjadi pertanyaanku. Bagaimana siswa tak belajar untuk ujian sedangkan dia pun tak tahu dia belajar untuk apa selain ujian dan naik kelas atau lulus. Kemampuan setiap orang dalam menangkap penjelasan tentu berbeda, dan bila dia yang tak paham harus tak mendapatkan nilai merah, ya, dia akan belajar hanya saat ujian dan untuk ujian agar dia tak tertinggal oleh yang lainnya. Dan inilah doktrin yang salah terhadap siswa, mereka belajar hanya untuk ujian. Aku pernah merasakan itu, semua yang kupelajari seakan hilang tanpa jejak ketika ujian itu usai walaupun nilaiku tinggi, karena nyatanya “Aku bukanlah orang pintar, hanya tahu jawaban yang benar.” Doktrin bahwa “belajar untuk ujian” tak hanya bersumber dari sekolah, akan tetapi dari orangtua itu sekalipun. Ketika masa-masa ujian, orangtua kita sering memaksa kita untuk belajar, membatasi bermain gawai, tak boleh menonton televisi, dan berkata, “Ayo belajar biar nilainya bagus dan gak merah.” Seakan memang lingkungan membuat barometer keberhasilan pendidikan di sekolah adalah ketika dia menjadi juara kelas.

Lantas bagaimana doktrin yang tepat? Doktrin yang tepat adalah sebagaimana disebutkan di atas bahwa “Belajar bukan untuk ujian, tapi ujian adalah untuk belajar.” Akan tetapi dengan penerapan yang nyata. Para siswa seharusnya memiliki dasar yang jelas kenapa mereka belajar. Sebenarnya, alasan mendasar tentang belajar adalah prinsip individu masing-masing yang tak bisa kita paksakan harus menuruti definisi kita tentang belajar. Akan tetapi bagaimanapun cara pandang mereka terhadap belajar yang berbeda-beda, tetap saja harus ada yang mendorongnya untuk mendasari belajar untuk sesuatu. Selama masa pengabdian ini, aku sering memperhatikan kehidupan para santri di pondok, terlihat mereka seperti hidup tanpa kehidupan. Nyawa mereka seharusnya adalah ilmu, tapi spirit belajarnya pun tak ada, maka hilang pula nyawa mereka di pesantren. Hidupnya tak jelas, mengikuti alur datar, guru tak diperhatikan, ilmu tak dihormati, moral dan adabnya sirna, dan lulus tak membawa bekal berguna apapun. Kebanyakan orang yang tak punya alasan belajar, mereka hidup di sekolah hanya untuk merasa keren atau dalam istilah lain adalah mementingkan tingkatan sosialnya dibandingkan meningkatkan kualitas keilmuannya. Karena tak terarah inilah kita bukan berarti membiarkan mereka menemukan alasan belajarnya sendiri.

            Belajar adalah suatu proses perubahan keperibadian seseorang di mana perubahan tersebut dalam bentuk peningkatan kualitas perilaku, seperti peningkatan pengetahuan, keterampilan, daya pikir, pemahaman, sikap, dan berbagai kemampuan lainnya.[1] Dari definisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar adalah untuk meningkatkan mutu individu. Oleh karena itu, para siswa harus memiliki alasan belajar mereka bahwa mereka belajar bukanlah untuk mengejar angka-angka dan gelar-gelar melainkan untuk meningkatkan kualitas diri mereka agar menjadi pembeda diri mereka dengan orang yang tak berpendidikan. Ujian adalah bagian dari rangkaian pembelajaran, namun fokus sekolah adalah bukan memaksa siswa untuk dapat mengejar angka dan tak terjerumus ke dalam angka merah, akan tetapi mendorong mereka untuk terus belajar dengan sekemampuan mereka untuk masa depan mereka yang lebih baik.

2.    Angka yang dipaksakan

Seringkali memang kualitas sekolah dinilai dari seberapa banyak siswa yang berprestasi, termasuk banyaknya siswa yang mendapatkan nilai yang tinggi di ujian-ujian resmi. Hal ini mendorong sekolah, dari apa yang kulihat, untuk memaksakan angka-angka agar tetap tinggi dengan kecurangan-kecurangan seperti memanipulasi nilai, pemberian soal-jawaban, dan atau penyogokan, sebagaimana ku telah jelaskan di muka beberapa contoh tersebut. Memang mereka melakukan hal demikian demi “kemaslahatan bersama” seperti agar siswa mudah naik ke jenjang selanjutnya dan nama sekolah diakui oleh lembaga pendidikan berikutnya. Tujuan yang baik namun dengan cara yang salah. Dalam Islam, kejujuran adalah hal yang utama. Memang, misalnya, mereka tetap mengharuskan para siswa mengerjakan ujian dengan jujur seperti dilarang menyontek dengan cara apapun. Cara mereka menghindari kecurangan itu adalah dengan mengedarkan soal-jawaban seminggu sebelum ujian. Dan bila mereka tetap gagal, maka guru pengampu memanipulasi angka agar tak merah. Secara dzahir, para siswa jujur mengerjakan, tapi di belakang ada kecurangan yang tak tampak.

Kecurangan itu adalah angka-angka yang dipaksakan yang sama sekali tak sesuai dengan kemampuan siswa tersebut. Para siswa, misalnya, hanya menghafalkan lembaran soal-jawaban tanpa memahami pelajaran tersebut dan kemudian dia mampu menjawab dengan sempurna. Nilai 100 yang dimilikinya mengkhianati pemahamannya akan ilmu tersebut, bukankah itu kecurangan? Atau meningkatkan nilai matematika oleh gurunya yang sama sekali siswa ini tak paham apapun, apa yang harus dia katakan untuk membuktikan angkanya pada orang lain? Apakah ini kecurangan? Ya, kecurangan yang memalukan. Mau sampai kapan para siswa ini dibiarkan ilmu pengetahuan mereka membisu dan membiarkan angka yang selalu berbicara.

Dahulu pun sama, aku pun demikian. Kita dikejar oleh waktu dan tak ingin menua bersama orang yang lebih muda di kelas yang sama. Kita butuh nilai tambahan. Butuh manipulasi nilai. Kita punya gengsi untuk menaiki kelas bersama kawan seperjuangan. Sifat-sifat seperti ini mungkin sama sekali tak akan pernah dapat terhapus. Kita memang tak bisa bercermin pada metode pembelajaran ulama terdahulu yang mana mereka dalam satu kelas bercampur baur antara yang muda dan yang tua dan lebih mendahulukan yang memiliki ilmu lebih meskipun muda dibandingkan umur yang tua. Mungkin hal seperti ini ada di dunia perkuliahan. Tapi di dunia pendidikan 12 tahun kita tak menemukan itu. Hingga muncul kalimat “Hormatilah kaka kelasmu walaupun dia lebih bodoh darimu karena sejatinya dia telah mampu berjuang menghadapi medan yang belum kamu masuki dan dia memiliki pengalaman lebih banyak dibandingkan dirimu.” Kalimat yang membuktikan bahwa naik kelas bukan berarti naik pula kecerdasan atau kedewasaanya, tapi yang pasti adalah bertambahnya pengalaman yang harus dihormati. Maka yang diperhatikan di sini adalah bukan masalah persoalan “Kita membantu mereka agar naik kelas, oleh karena itu kita melakukan hal demikian agar mereka bisa naik ke kelas berikutnya,” tapi masalah kejujuran. Ya, kita seharusnya membantu mereka naik kelas, karena tidak naik kelas itu sangatlah memalukan. Tapi bukan berarti kita membantu mereka dengan cara curang seperti ini. Bukankah ujian adalah cara kita untuk melihat sejauh mana mereka memahami materi pembelajaran. Maka, bilamana banyak siswa yang gagal dalam ujian, jalan memperbaikinya adalah bukan dengan memanipulasi nilai atau pengedaran soal-jawaban, akan tetapi mengintropeksi diri guru pada metodenya, spiritnya, ilmu pengetahuannya, dan aspek lainnya. Guru harus mengintropeksi mengapa banyak murid yang tak memahami materinya, apa yang salah, apa yang kurang. Di sini diperlukan membuka waktu untuk para siswa melemparkan kritikan pada guru dan guru pun harus mendeklarasikan bahwa dirinya lapang dada menerima kritikan itu semua. Selanjutnya adalah tak perlu memaksakan angka-angka pada murid bila mereka “gagal” dalam ujian, biarlah mereka mendapatkan nilai yang riil, bila perlu membuat langkah-langkah untuk meningkatkan nilainya dengan cara pembuktian apa yang dia pahami sehingga dia bersikeras belajar dan memahami pelajaran itu, contohnya adalah saat ujian berlangsung siswa diberikan soalan yang mudah-mudah saja yaitu tentang perkara umum dari ilmu tersebut atau dengan cara pilihan ganda, kemudian bila mereka gagal maka diberlakukan remedial sebagai langkah berikutnya untuk membuktikan pemahamannya dengan, misalnya, essai yang memperinci ilmu tersebut. Seringkali remedial itu lebih mudah dibandingkan ujian sebenarnya sehingga para siswa yang pemalas meremehkan ujian dan menunggu remedial. Maka, menurutku lebih baik remedial itu lebih sulit dibandingkan ujian sebenarnya, agar siswa pun terdorong untuk mensukseskan ujian pertamanya dan tidak remedial, dan bilapun remedial dia harus lebih giat lagi belajar sehingga nilai-nilai yang dia dapatkan nyata dan sesuai kadar pemahamannya dalam ilmu tersebut.

Kejujuran harus ditekankan dalam diri para guru dan para siswa karena negeri ini membutuhkan orang-orang jujur sebagai penerus perjuangan. Lihatlah bagaimana negeri ini diisi kebanyakan oleh orang-orang yang suka berbuat curang sehingga menyensarakan masyarakat umum, terutama di lingkungan dunia perpolitikan. Negeri ini krisis orang jujur. Mungkin kurangnya orang-orang jujur di negeri ini disebabkan oleh dasar yang bobrok ketika di sekolah dulu yang mana mereka tak diajarkan kejujuran bahkan justru dipermudah untuk berbuat kecurangan. Maka, aku menitikberatkan kejujuran dalam dunia pendidikan terlebih ketika ujian berlangsung karena nilai-nilai dalam ujian kelak akan menjadi kertas-kertas yang menentukan nasib seseorang di masa mendatang seperti untuk mencari pekerjaan. Bagaimana bila uang yang dia makan dari hasil kerja susah payahnya itu haram secara tidak disadari dikarenakan dahulu dia mendapatkan pekerjaan itu dari ijazah yang di sana tertulis nilai-nilai dari hasil kecurangan. Yang kukhawatirkan ketika kejujuran itu tak dibangun dari masa sekolah adalah hilangnya keberkahan hidupnya di masa mendatang. Apa yang kita cari dari kehidupan selain ketenangan dan ketenangan itu datang dari keberkahan dan keberkahan itu datang dari Allah dan Allah memberikan keberkahan bagi hamba-Nya yang taat dan salah satu bentuk ketaatan adalah kejujuran karena Allah mencintai orang-orang yang jujur.

Kesimpulan

Pada dasarnya tulisan itu tidaklah bermaksud untuk menyalahkan pihak tertentu, melainkan kuingin berusaha mencari solusi dan keluar dari adat yang telah ada. Seperti kita ketahui bahwa adat kita dalam dunia pendidikan adalah guru yang kurang antusias sehingga mereka selalu tak peduli dengan pemahaman siswa dan karatker mereka dan membatasi mengajar hanya sebatas penyampaian materi ajar yang sudah ditetapkan untuk hari itu seakan berkata, “Sudah selesai, sudah kusampaikan materi hari ini, tak peduli siswa paham atau tidak.” Kemudian murid yang selalu berpikir bahwa sekolah adalah tempat untuk mencari teman belaka, gengsi, kabur dari pengangguran, atau formalitas hidup demi kelak mudah mencari pekerjaan dengan lembaran kertas tanpa mempedulikan tujuan asal dari sekolah yaitu meningkatkan mutu individu agar terciptanya masyarakat yang sehat, jujur, dan bermartabat. Para murid seakan berpikir, “Yang penting lulus, gak apa-apa gak paham juga.” Adat seperti ini membuat dunia pendidikan negeri ini stagnan dan berputar dengan pola yang sama pada setiap generasi.

Kita harus keluar dari lingkar adat ini. Dan perubahan itu harus muncul dari kedua belah pihak yaitu guru dan murid. Yang terpenting dari seorang guru adalah bukan gelar yang dimilikinya akan tetapi spiritnya dalam mengajar, antusias dalam perubahan, intensif pada muridnya, dan mencerminkan moral yang baik sehingga materi yang disampaikan itu mengakar pada hati para siswa dan membekas pada perilaku mereka. Yang terpenting dari seorang murid adalah bukan prestasi atau nilai yang tinggi akan tetapi ilmu-ilmu mereka mampu dipertanggungjawabkan dan dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki sifat peduli untuk perubahan masyarakat. Andaisaja guru dan murid berkolaborasi untuk mencari jalan terbaik, metode bertahap, dan saling melengkapi demi kehidupan pendidikan yang lebih baik, dengan mengesampingkan bisnis sekolah dan gengsi di antara guru atau murid, kuyakin seorang lulusan SMA mampu menyaingi sarjana.

            Ujian yang selama ini menjadi formalitas sekolah untuk nama baik atau memudahkan jalan siswa selanjutnya harus kita ubah menjadi cara bagaimana ujian itu memberikan hikmah yang berlimpah di mana di sana terdapat kesabaran dalam mengerjakan soalan, kejujuran yang harus dijunjung, ilmu yang harus dipertanggungjawabkan, sarana meningkatkan semangat belajar, dan menanamkan bahwa kebanggan bukanlah saat mendapatkan nilai ujian yang tinggi akan tetapi saat dia mampu membuktikan ilmunya untuk dirinya dan orang-orang di sekitarnya.

Ujian adalah untuk menguji.



[1] Djamaluddin, Dr. Ahdar. (2019). “Belajar dan Pembelajaran: 4 Pilar Peningkatan Kompetensi Pedagogis.” Bab 1, halaman 6.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemilu (dari mata orang sok tahu)

Mimpi Untuk Cianjur

Penghargaan Yang Bukan Penghargaan (Mencari Hakikat Prestasi & Apresiasi)