Manipulasi Angka (Mencari Esensi Ujian dan Meluruskan Keliru)
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Diangkat dari pengalaman selama 12 tahun duduk di bangku sekolah formal yang dipenuhi formalitas dibandingkan kualitas dan integritas. Setiap penghujung semester, para siswa dihadapkan pada ujian-ujian sebagai tolak ukur untuk menghitung sejauh mana siswa tersebut memahami setiap pelajaran. Sebuah langkah yang bagus karena dapat mendorong siswa untuk belajar dan mengulang ilmu yang telah dipelajarinya. Tapi, ilmu itu dirusak dengan angka-angka untuk meningkatkan kualitas sekolah dan namanya di mata umum sebagai “sekolah favorit”. Ujian yang sejatinya ditujukan untuk mengukur keilmuan siswa telah dicoreng oleh penjualan nama baik sekolah.
Selama aku
mengikuti ujian dari SD sampai SMA, telah banyak kumenemukan
kejanggalan-kejanggalan yang membuatku di satu sisi menguntungkan dan di sisi
lain memalukan. Kecurangan kerap kali terjadi seperti pemberian soal-jawaban
sebelum hari-hari ujian, pembolehan berdiskusi saat ujian, guru pengampu
memberitahu jawaban tatkala ujian, atau melarang berbuat curang akan tetapi
nilai-nilai yang merah direkayasa agar terlihat bagus semua. Semua itu kualami
selama masa-masa 12 tahun sekolah formal, dan ku tak tahu apakah setelah ini,
di jenjang berikutnya, akan terjadi hal yang sama. Semua bentuk kecurangan itu
tentunya menguntungkan karena angka-angka yang tinggi membantu siswa naik ke
jenjang berikutnya dengan mudah. Tapi, andaisaja semua siswa sadar, kecurangan
itu memalukan. Ya, kamu dapat naik ke jenjang berikutnya, akan tetapi apa yang
akan kamu katakan tentang ilmu yang kamu sama sekali tak paham, apakah kamu
hanya akan selalu membiarkan angka berbicara? Banyak hal yang kusesali sekarang.
Mungkin pemberian soal-jawaban terlihat seperti bukan sebuah “kecurangan”,
seperti cara yang baik agar siswa mudah dalam mempelajari ilmu yang nanti akan
diujikan supaya tak berbuat kecurangan. Kamu akan enteng menjawab soalan tanpa
harus melirik kanan-kiri. Tapi cobalah kamu berpikir, misalnya, kamu berada di
ujian akhir sekolah, ilmu yang diujikan adalah semua materi yang kamu pelajari
selama 3 atau 6 tahun, kamu berjuang mati-matian dalam belajar selama kurun
waktu itu dengan buku yang tebal-tebal tapi di penghujung kamu diberikan
lembaran-lembaran soal-jawaban. Apa gunanya kamu belajar buku berjilid-jilid
kalau pada akhirnya hanya selembaran kertas saja? Bagi yang belajar sungguh-sungguh
mungkin dia tak akan menyesali itu karena ilmu yang dia pelajari tak sia-sia
walau menghabiskan waktu yang panjang. Tapi, bagi siswa yang menjalankan
masa-masa itu dengan datar, belajar karena paksaan orangtua atau lingkungan,
selalu beranggapan “Yang penting lulus. Yang penting naik kelas,” dan alasan
semisalnya, kemudian dia mendapatkan nilai yang tinggi karena mampu mengingat
jawaban-jawaban itu yang sama sekali tak mewakili ilmu pengetahuannya. Apa yang
dia dapatkan? Ilmunya seketika lupa ketika ujian usai tapi nilainya menjadi
catatan yang tak terhapus. Apakah itu memalukan? Tentu. Masyarakat menunggu di
kampung ingin melihatmu berubah dan bila mereka tahu bahwa kamu berprestasi di
sekolah, mereka menunggu pembuktianmu atas mereka. Kemudian, pernah suatu
ketika saat UN masih diselenggarakan, aku berjuang untuk ujian itu, membeli
buku kumpulan soal, belajar setiap malam, namun seketika kutercengang tatkala
hari pertama ujian, waktu itu adalah pelajaran Bahasa Indonesia, guru
pengampunya memberikan hampir semua jawaban. Dan hari berikutnya pun sama
demikian. Sehingga tak ada lagi selera untuk belajar karena apa guna bila
semua jawaban akan diberitahukan. Demikian pengalaman yang kualami selama
ini. Maka, dari sinilah muncul sebuah pertanyaan apakah ujian itu efektif?
Apakah ujian itu efektif?
Dalam menjawab pertanyaan ini tentu saja kita
perlu mengetahui esensi dari ujian tersebut. Setiap orang memiliki pandangan
masing-masing dalam keefektifan ujian dan esensinya. Efektif bermakna
membawakan hasil atau guna, sedangkan ujian adalah cara mengukur kemampuan
siswa. Kurang lebih demikian. Tapi, bila dilihat dari fenomena dalam dunia
pendidikan kita yang mana ujian menjadi sebuah program inti dari sekolah dan
menjadikannya sebuah tolak ukur kualitas sekolah itu di mata umum, sehingga
seringkali segala upaya dilakukan agar nilai-nilai siswa tinggi dengan
mengesampingkan nilai-nilai kejujuran. Yang penting sekolah memiliki nama baik
di muka umum. Tentu bukanlah hal yang salah bila ujian dijadikan program inti
dari sekolah. Ujian memiliki dampak positif bila diselanggarakan secara sehat
dari cara memandang guru, murid, dan sekolah padanya. Aku mencoba menguraikan
sedikit dari yang menurutku adalah sebuah kesalahan yang perlu diluruskan,
1.
Doktrin yang salah terhadap siswa
“Belajar bukan untuk ujian, tapi ujian adalah
untuk belajar.” Begitulah slogan yang sering kudengar selama di sekolah. Sebuah
kata yang tepat sekali, tapi pada kenyataanya dalam penerapannya justru
berbeda. Kita memang belajar seharusnya bukan untuk ujian, tapi untuk menambah
maklumat dan menaikkan kemampuan ilmu pengetahuan kita. Dan ujian adalah salah
satu bentuk cara untuk menguji itu semua sejauh mana kita memahami ilmu
tersebut. Akan tetapi, sekolah mendoktirn kita justru supaya kita “belajar
untuk ujian”. Kita dipaksa untuk memahami pelajaran dengan cepat di kelas
karena dikejar oleh bahan ajar yang ditargetkan selesai tanpa mempedulikan
apakah siswa itu paham atau tidak, kemudian kita diharuskan mengikuti ujian dan
dicamkan bahwa kita tak boleh merah. Apakah hakikat belajar itu agar kita tak
merah saat ujian atau untuk menumbuhkan kesadaran akan ilmu? Itu selalu menjadi
pertanyaanku. Bagaimana siswa tak belajar untuk ujian sedangkan dia pun tak
tahu dia belajar untuk apa selain ujian dan naik kelas atau lulus. Kemampuan
setiap orang dalam menangkap penjelasan tentu berbeda, dan bila dia yang tak
paham harus tak mendapatkan nilai merah, ya, dia akan belajar hanya saat ujian
dan untuk ujian agar dia tak tertinggal oleh yang lainnya. Dan inilah doktrin
yang salah terhadap siswa, mereka belajar hanya untuk ujian. Aku pernah
merasakan itu, semua yang kupelajari seakan hilang tanpa jejak ketika ujian itu
usai walaupun nilaiku tinggi, karena nyatanya “Aku bukanlah orang pintar, hanya
tahu jawaban yang benar.” Doktrin bahwa “belajar untuk ujian” tak hanya
bersumber dari sekolah, akan tetapi dari orangtua itu sekalipun. Ketika
masa-masa ujian, orangtua kita sering memaksa kita untuk belajar, membatasi
bermain gawai, tak boleh menonton televisi, dan berkata, “Ayo belajar biar
nilainya bagus dan gak merah.” Seakan memang lingkungan membuat barometer
keberhasilan pendidikan di sekolah adalah ketika dia menjadi juara kelas.
Lantas
bagaimana doktrin yang tepat? Doktrin yang tepat adalah sebagaimana disebutkan
di atas bahwa “Belajar bukan untuk ujian, tapi ujian adalah untuk belajar.”
Akan tetapi dengan penerapan yang nyata. Para siswa seharusnya memiliki dasar
yang jelas kenapa mereka belajar. Sebenarnya, alasan mendasar tentang belajar
adalah prinsip individu masing-masing yang tak bisa kita paksakan harus
menuruti definisi kita tentang belajar. Akan tetapi bagaimanapun cara pandang
mereka terhadap belajar yang berbeda-beda, tetap saja harus ada yang mendorongnya
untuk mendasari belajar untuk sesuatu. Selama masa pengabdian ini, aku sering
memperhatikan kehidupan para santri di pondok, terlihat mereka seperti hidup
tanpa kehidupan. Nyawa mereka seharusnya adalah ilmu, tapi spirit belajarnya
pun tak ada, maka hilang pula nyawa mereka di pesantren. Hidupnya tak jelas,
mengikuti alur datar, guru tak diperhatikan, ilmu tak dihormati, moral dan
adabnya sirna, dan lulus tak membawa bekal berguna apapun. Kebanyakan orang
yang tak punya alasan belajar, mereka hidup di sekolah hanya untuk merasa keren
atau dalam istilah lain adalah mementingkan tingkatan sosialnya dibandingkan
meningkatkan kualitas keilmuannya. Karena tak terarah inilah kita bukan berarti
membiarkan mereka menemukan alasan belajarnya sendiri.
Belajar
adalah suatu proses perubahan keperibadian seseorang di mana perubahan tersebut
dalam bentuk peningkatan kualitas perilaku, seperti peningkatan pengetahuan,
keterampilan, daya pikir, pemahaman, sikap, dan berbagai kemampuan lainnya.[1] Dari
definisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar adalah untuk meningkatkan
mutu individu. Oleh karena itu, para siswa harus memiliki alasan belajar mereka
bahwa mereka belajar bukanlah untuk mengejar angka-angka dan gelar-gelar
melainkan untuk meningkatkan kualitas diri mereka agar menjadi pembeda diri
mereka dengan orang yang tak berpendidikan. Ujian adalah bagian dari rangkaian
pembelajaran, namun fokus sekolah adalah bukan memaksa siswa untuk dapat
mengejar angka dan tak terjerumus ke dalam angka merah, akan tetapi mendorong
mereka untuk terus belajar dengan sekemampuan mereka untuk masa depan mereka
yang lebih baik.
2.
Angka yang dipaksakan
Seringkali memang kualitas sekolah dinilai
dari seberapa banyak siswa yang berprestasi, termasuk banyaknya siswa yang
mendapatkan nilai yang tinggi di ujian-ujian resmi. Hal ini mendorong sekolah,
dari apa yang kulihat, untuk memaksakan angka-angka agar tetap tinggi dengan
kecurangan-kecurangan seperti memanipulasi nilai, pemberian soal-jawaban, dan
atau penyogokan, sebagaimana ku telah jelaskan di muka beberapa contoh
tersebut. Memang mereka melakukan hal demikian demi “kemaslahatan bersama”
seperti agar siswa mudah naik ke jenjang selanjutnya dan nama sekolah diakui
oleh lembaga pendidikan berikutnya. Tujuan yang baik namun dengan cara yang
salah. Dalam Islam, kejujuran adalah hal yang utama. Memang, misalnya, mereka
tetap mengharuskan para siswa mengerjakan ujian dengan jujur seperti dilarang
menyontek dengan cara apapun. Cara mereka menghindari kecurangan itu adalah
dengan mengedarkan soal-jawaban seminggu sebelum ujian. Dan bila mereka tetap
gagal, maka guru pengampu memanipulasi angka agar tak merah. Secara dzahir,
para siswa jujur mengerjakan, tapi di belakang ada kecurangan yang tak tampak.
Kecurangan itu
adalah angka-angka yang dipaksakan yang sama sekali tak sesuai dengan kemampuan
siswa tersebut. Para siswa, misalnya, hanya menghafalkan lembaran soal-jawaban
tanpa memahami pelajaran tersebut dan kemudian dia mampu menjawab dengan sempurna.
Nilai 100 yang dimilikinya mengkhianati pemahamannya akan ilmu tersebut,
bukankah itu kecurangan? Atau meningkatkan nilai matematika oleh gurunya yang
sama sekali siswa ini tak paham apapun, apa yang harus dia katakan untuk
membuktikan angkanya pada orang lain? Apakah ini kecurangan? Ya, kecurangan
yang memalukan. Mau sampai kapan para siswa ini dibiarkan ilmu pengetahuan
mereka membisu dan membiarkan angka yang selalu berbicara.
Dahulu pun
sama, aku pun demikian. Kita dikejar oleh waktu dan tak ingin menua bersama
orang yang lebih muda di kelas yang sama. Kita butuh nilai tambahan. Butuh
manipulasi nilai. Kita punya gengsi untuk menaiki kelas bersama kawan
seperjuangan. Sifat-sifat seperti ini mungkin sama sekali tak akan pernah dapat
terhapus. Kita memang tak bisa bercermin pada metode pembelajaran ulama
terdahulu yang mana mereka dalam satu kelas bercampur baur antara yang muda dan
yang tua dan lebih mendahulukan yang memiliki ilmu lebih meskipun muda
dibandingkan umur yang tua. Mungkin hal seperti ini ada di dunia perkuliahan.
Tapi di dunia pendidikan 12 tahun kita tak menemukan itu. Hingga muncul kalimat
“Hormatilah kaka kelasmu walaupun dia lebih bodoh darimu karena sejatinya dia
telah mampu berjuang menghadapi medan yang belum kamu masuki dan dia memiliki
pengalaman lebih banyak dibandingkan dirimu.” Kalimat yang membuktikan bahwa
naik kelas bukan berarti naik pula kecerdasan atau kedewasaanya, tapi yang
pasti adalah bertambahnya pengalaman yang harus dihormati. Maka yang
diperhatikan di sini adalah bukan masalah persoalan “Kita membantu mereka agar
naik kelas, oleh karena itu kita melakukan hal demikian agar mereka bisa naik
ke kelas berikutnya,” tapi masalah kejujuran. Ya, kita seharusnya membantu
mereka naik kelas, karena tidak naik kelas itu sangatlah memalukan. Tapi bukan
berarti kita membantu mereka dengan cara curang seperti ini. Bukankah ujian
adalah cara kita untuk melihat sejauh mana mereka memahami materi pembelajaran.
Maka, bilamana banyak siswa yang gagal dalam ujian, jalan memperbaikinya adalah
bukan dengan memanipulasi nilai atau pengedaran soal-jawaban, akan tetapi
mengintropeksi diri guru pada metodenya, spiritnya, ilmu pengetahuannya, dan
aspek lainnya. Guru harus mengintropeksi mengapa banyak murid yang tak memahami
materinya, apa yang salah, apa yang kurang. Di sini diperlukan membuka waktu
untuk para siswa melemparkan kritikan pada guru dan guru pun harus
mendeklarasikan bahwa dirinya lapang dada menerima kritikan itu semua.
Selanjutnya adalah tak perlu memaksakan angka-angka pada murid bila mereka “gagal”
dalam ujian, biarlah mereka mendapatkan nilai yang riil, bila perlu membuat
langkah-langkah untuk meningkatkan nilainya dengan cara pembuktian apa yang dia
pahami sehingga dia bersikeras belajar dan memahami pelajaran itu, contohnya
adalah saat ujian berlangsung siswa diberikan soalan yang mudah-mudah saja
yaitu tentang perkara umum dari ilmu tersebut atau dengan cara pilihan ganda,
kemudian bila mereka gagal maka diberlakukan remedial sebagai langkah
berikutnya untuk membuktikan pemahamannya dengan, misalnya, essai yang memperinci
ilmu tersebut. Seringkali remedial itu lebih mudah dibandingkan ujian
sebenarnya sehingga para siswa yang pemalas meremehkan ujian dan menunggu
remedial. Maka, menurutku lebih baik remedial itu lebih sulit dibandingkan
ujian sebenarnya, agar siswa pun terdorong untuk mensukseskan ujian pertamanya
dan tidak remedial, dan bilapun remedial dia harus lebih giat lagi belajar
sehingga nilai-nilai yang dia dapatkan nyata dan sesuai kadar pemahamannya
dalam ilmu tersebut.
Kejujuran harus
ditekankan dalam diri para guru dan para siswa karena negeri ini membutuhkan
orang-orang jujur sebagai penerus perjuangan. Lihatlah bagaimana negeri ini
diisi kebanyakan oleh orang-orang yang suka berbuat curang sehingga
menyensarakan masyarakat umum, terutama di lingkungan dunia perpolitikan. Negeri
ini krisis orang jujur. Mungkin kurangnya orang-orang jujur di negeri ini
disebabkan oleh dasar yang bobrok ketika di sekolah dulu yang mana mereka tak
diajarkan kejujuran bahkan justru dipermudah untuk berbuat kecurangan. Maka,
aku menitikberatkan kejujuran dalam dunia pendidikan terlebih ketika ujian
berlangsung karena nilai-nilai dalam ujian kelak akan menjadi kertas-kertas
yang menentukan nasib seseorang di masa mendatang seperti untuk mencari
pekerjaan. Bagaimana bila uang yang dia makan dari hasil kerja susah payahnya
itu haram secara tidak disadari dikarenakan dahulu dia mendapatkan pekerjaan
itu dari ijazah yang di sana tertulis nilai-nilai dari hasil kecurangan. Yang
kukhawatirkan ketika kejujuran itu tak dibangun dari masa sekolah adalah
hilangnya keberkahan hidupnya di masa mendatang. Apa yang kita cari dari
kehidupan selain ketenangan dan ketenangan itu datang dari keberkahan dan
keberkahan itu datang dari Allah ﷻ dan
Allah memberikan keberkahan bagi hamba-Nya yang taat dan salah satu bentuk
ketaatan adalah kejujuran karena Allah mencintai orang-orang yang jujur.
Kesimpulan
Pada dasarnya tulisan itu tidaklah bermaksud untuk
menyalahkan pihak tertentu, melainkan kuingin berusaha mencari solusi dan
keluar dari adat yang telah ada. Seperti kita ketahui bahwa adat kita dalam
dunia pendidikan adalah guru yang kurang antusias sehingga mereka selalu tak
peduli dengan pemahaman siswa dan karatker mereka dan membatasi mengajar hanya
sebatas penyampaian materi ajar yang sudah ditetapkan untuk hari itu seakan berkata,
“Sudah selesai, sudah kusampaikan materi hari ini, tak peduli siswa paham atau
tidak.” Kemudian murid yang selalu berpikir bahwa sekolah adalah tempat untuk
mencari teman belaka, gengsi, kabur dari pengangguran, atau formalitas hidup
demi kelak mudah mencari pekerjaan dengan lembaran kertas tanpa mempedulikan
tujuan asal dari sekolah yaitu meningkatkan mutu individu agar terciptanya
masyarakat yang sehat, jujur, dan bermartabat. Para murid seakan berpikir, “Yang
penting lulus, gak apa-apa gak paham juga.” Adat seperti ini membuat dunia
pendidikan negeri ini stagnan dan berputar dengan pola yang sama pada setiap
generasi.
Kita harus
keluar dari lingkar adat ini. Dan perubahan itu harus muncul dari kedua belah
pihak yaitu guru dan murid. Yang terpenting dari seorang guru adalah bukan
gelar yang dimilikinya akan tetapi spiritnya dalam mengajar, antusias dalam
perubahan, intensif pada muridnya, dan mencerminkan moral yang baik sehingga
materi yang disampaikan itu mengakar pada hati para siswa dan membekas pada
perilaku mereka. Yang terpenting dari seorang murid adalah bukan prestasi atau
nilai yang tinggi akan tetapi ilmu-ilmu mereka mampu dipertanggungjawabkan dan
dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki sifat peduli untuk
perubahan masyarakat. Andaisaja guru dan murid berkolaborasi untuk mencari
jalan terbaik, metode bertahap, dan saling melengkapi demi kehidupan pendidikan
yang lebih baik, dengan mengesampingkan bisnis sekolah dan gengsi di antara
guru atau murid, kuyakin seorang lulusan SMA mampu menyaingi sarjana.
Ujian
yang selama ini menjadi formalitas sekolah untuk nama baik atau memudahkan jalan
siswa selanjutnya harus kita ubah menjadi cara bagaimana ujian itu memberikan
hikmah yang berlimpah di mana di sana terdapat kesabaran dalam mengerjakan soalan,
kejujuran yang harus dijunjung, ilmu yang harus dipertanggungjawabkan, sarana
meningkatkan semangat belajar, dan menanamkan bahwa kebanggan bukanlah saat
mendapatkan nilai ujian yang tinggi akan tetapi saat dia mampu membuktikan
ilmunya untuk dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Ujian adalah untuk menguji.
[1] Djamaluddin, Dr. Ahdar. (2019). “Belajar
dan Pembelajaran: 4 Pilar Peningkatan Kompetensi Pedagogis.” Bab 1, halaman 6.
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar