Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Wajahku terpana oleh pemandangan, dari kaca mobil kumelihat. Memandangi setiap wujud seakan mungkin kelak ku tak menemukannya lagi. Hatiku tak berpura-pura, sedihku tahan dari muncul di mimik wajah. Aku harap tak seorang melihat bahwa ku sedang berusaha. Ibuku terlihat tak kuasa meluapkan hatinya, mungkin air matanya berat melepaskan kepergianku. Dan kuyakin itulah sebenar-benarnya air yang tulus.
Koper didorong
mengikuti arah petunjuk, bandara yang tak begitu ramai. Tanah terakhir negeriku
yang kupijak, tinggal mengitung waktu yang tersisa. Dua kawanku yang berjasa
pun datang, menemaniku di penghujung waktu, menunjukkan betapa kawannya ini membekas
dan perlu untuk dihantarkan pergi. Waktu pun terus berjalan, ada sebuah jam
pasir di pikiranku. Hatiku pun lara tak sanggup namun ku pandai bersembunyi.
Tiket pun
akhirnya dapat dan koper pun sudah diserahkan pada alurnya untuk kutemukan
nanti di tempat tujuan, dua hal yang membuktikan bahwa ku benar-benar akan
pergi. Tinggal beberapa jam lagi yang kuyakin hanya seperti detik dalam detak
jantungku yang berusaha menyiapkan mental. Dua kawanku terus memberiku semangat
dan berkata, “Kau di jalan yang benar.”
Roti dan apapun
itu yang ditawarkan serasa tawar, entah lidahku mengecap rasa hati atau
perasaanku saja. Dan waktu pun tiba, tepat pukul 16.45 sore dan Kamis itu
menjadi dua waktu terakhirku berdiri tegak di tanah lahirku. Ibuku tak mampu
membayangkan betapa cepatnya waktu. Aku pun berlabuh di pelukannya yang telah
lama ku tak memeluk tubuhnya. Ibuku hanya mengucapkan doa-doa yang tulus
semurni air matanya dan suara hatinya. Bibirku terkunci tak mampu berucap
sepatah kata pun, tapi hatiku tak bisu, “Umi, andai umurku tak bertambah aku
ingin selalu ada di pelukanmu, tangan mungilku ingin selalu menggenggam
tanganmu. Namun, tanpa lepas dari pelukanmu pun tetap saja waktu akan
memisahkan. Maka relakan bocah kecilmu ini menghadapi dunianya sendiri. Tak
perlu khawatir. Ada saatnya kita harus melepaskan.”
Diciumlah
keningku seperti dahulu setiap kali melepaskanku di pesantren. Dan air matanya
saat itu benar-benar nampak jelas mengalir di pipinya. Lepaslah aku dari
pelukannya. Dan bergiliran memeluk setiap kerabat yang ada untukku. Adik
kecilku, yang berumur tiga tahun, tak mengerti bahwa ku akan pergi jauh sehingga
seakan tak terjadi apapun. Aku adalah orang yang paling dekat dengannya, yang
menjadi hari-hari baginya.
Dua kawanku pun
kembali ku sapa, salam, dan perpisahan. Mereka bilang, “Kau kuat, kau mampu,
semangat!”
Di jalur
imigrasi, itulah tempat terakhir kali melihat mereka. Melambaikan tangan seraya
menguatkan jiwa, wajah mereka terhalang tembok dan kami pun berjalan melawan
arah.
Lebih banyak tangisan
di bandara dibandingkan di masjid, karena manusia hakikatnya tak mampu
berpisah. Saat hati pun terbelah dua dan saling berjarak, saat itulah rindu
menjangkiti.
Pesawat dengan
lajunya membawaku pergi, meninggalkan masa lalu di belakangku. Seakan semakin
jauh ku pergi, semakin pula ku kehilangan memori. Air mataku selalu menetes
setiap kali ku pejamkan mata, bukanlah aku lemah sebagai seorang lelaki, namun
apakah salah bila seorang lelaki menangisi dua hati yang berpisah? Keluarga
bagiku adalah cinta pertama dan zona aman yang selalu menciptakan kenyamanan.
Rumah selalu mendorongku pergi dan pergi selalu menyiksaku pulang.
Melalui jendela
terlihatlah awan yang keemasan oleh sinar mentari senja dan seakan aku ingin
mengucapkan beberapa kalimat yang tak sanggup mengalir dalam lidah,
Beginilah rasanya berpisah
Kutatap semua bagai ku tak akan melihatnya lagi
Aku terbang tinggi meniti Senja
Dari negeriku harap-harap tak pergi saja
Walau waktu seakan berhenti berjalan di atas
sana
Tapi pesawat kalah cepat dengan rotasi bumi
Hingga gelap pun tiba dan senja negeriku
sudahlah usai
Selamat jalan
wahai para pendidik dan kawan-kawan, semua butuh berkelana agar tak membasi di
kubangan, jasa kalian tak akan terlupa sepanjang hayat, moga-moga kita punya
waktu untuk bertatap mata. Tak perlu khawatir, di perantauan ada banyak
pengganti dari orang-orang yang ditinggalkan.
Komentar
Posting Komentar