Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Gambar
Diri kita terdiri dari dua hal yaitu jasad dan ruh. Jasad harus diberi gizi yang cukup untuk tumbuh kuat dan gizinya berbentuk materi seperti makanan dan minuman. Begitu juga dengan ruh yang membutuhkan asupan gizi, namun gizinya bukan berbentuk materi melainkan maknawi yaitu hidayah. Sebagaimana Allah memudahkan kita untuk mendapatkan asupan gizi materi bagi jasad kita, Allah juga telah memudahkan kita untuk mendapatkan hidayah itu sebagai asupan gizi maknawi bagi ruh kita, dengan cara diutusnya para rasul untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar dan juga diberikan pula pada manusia akal sehat agar mudah untuk meyakini apa yang dibawakan oleh para rasul. Para rasul diutus kepada kaum yang sudah mulai melenceng dari jalan yang benar, seperti kaum Nabi Nuh yang sejak 10 abad menyembah Allah lalu kemudian mereka berpaling menuju penyembahan patung akibat perilaku mereka yang berlebihan terhadap orang saleh, maka Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan mereka menuju penyem...

Lebaran

Badanku masih membutuhkan sedikit istirahat. Aku memilih untuk memperbanyak waktu bersama keluarga di masa liburan kali ini. Pagi itu aku terbangun sekitar jam 8 pagi, waktu yang wajar saat bangun dari tidur subuh, aku terbiasa untuk tidak bangun melebihi jam 9 pagi. Dengan rambut yang masih acak-acakan, kepala yang agak pusing, dan badan lemas, aku bangkit dari sofa depan televisi itu untuk menghampiri ibuku yang sedang bekerja di dapur, dia sedang memasak sarapan untuk adikku, Gamila, yang masih berumur 3 tahun itu. Aku duduk di meja makan sambil melamun sejenak, lalu berkata, “Alhamdulillah Umi, kaka sudah agak mendingan, jadi gak perlu ke dokter, cukup istirahat lagi, Insya Allah, sehat.”

“Oh yaudah atuh kalau gitu.”

           Suara tangisan terdengar dari arah kamar ibuku, suara yang selalu ku nanti di setiap paginya yaitu suara adikku bangun. Aku bergegas menghampirinya dan mengajaknya untuk pergi ke luar kamar, “Sini Gamila, dipangku. Umi ada di dapur. Yuk!” Mejulurkan kedua tangannya meminta untuk dipangku, aku mengangkatnya dan membawanya ke dapur.

Adikku ini adalah adik kedua yang baru lahir ketika umurku 17 tahun, jadi dia memiliki selang waktu yang sangat panjang. Adikku ini adalah teman bermainku di rumah. Setiap kali aku pergi pulang dari pondok, satu hal yang ku tak sabar ingin segera mendapatkannyam yaitu bermain dengan adikku ini. Aku hadir baginya sebagai penghibur dan menemani masa kecilnya. Aku adalah orang yang menghargai setiap momen. Andai aku cuek terhadap adikku dan tak ingin mengasuhnya, maka sungguh rugi aku bahwa kesenangan mengasuh seorang anak di umur yang sedang lucu-lucunya, maka aku pun tak akan pernah melewatkan waktu bermain bersamanya. Sejak pertama kali dia datang ke bumi ini, aku sambut baik dia. Karena mungkin jarak umur yang jauh membuatku lebih perhatian, bukan berarti aku tak sayang adikku yang kedua. Tapi karena dia sudah dewasa, umurnya 14 tahun, dan dari dulu memang sering tak akur, jadi kedekatannya kurang meskipun tetap saja aku sayang padanya.

Gamila pun turun dan mendekap ibunya meminta untuk minum susu. Aku pergi ke halaman rumah untuk bersantai pagi duduk manis di kursi halaman sambil menikmati suasana pagi dengan pemandangan ayam-ayam piaraan dan suara kicauan burung. Ini adalah hari pertama aku lepas dan menjadi alumni yang sesungguhnya, rasanya aku belum mampu terjun ke dunia nyata, tapi inilah kenyataannya, sudah saatnya aku menghadapi semua ini. Kehilangan teman beserta kenangannya dan menghadapi hidup yang penuh tantangan ke depannya. Ditambah sebentar lagi rumah ini ku akan tinggalkan jauh dan entah bagaimana nanti nasibku saat pergi ke luar negeri yang dipenuhi perbedaan. Aku merasa tegang dan khawatir. Sungguh. Aku membuka WhatsApp dan kulihat grup yang kemarin seru dan dipenuhi pesan yang penuh dengan dramatisir, canda tawa, lelucon, kabar burung, dan bahkan kata kotor pula, kini terlihat sepi, hanya muncul notifikasi salah seorang kawan mengirim foto-foto acara kelulusan kemarin. Apakah mereka mulai sibuk dengan hidupnya? Padahal baru berseling satu hari suasana sungguh telah berbeda sangat.

Rutinitas harianku mungkin akan terlihat sangat datar dan berputar di keadaan yang hampir sama setiap hari. Sangat mungkin bila diceritakan akan sangat membosankan dan menguras waktu pembaca. Namun ada beberapa hal menarik yang menjadi pengalaman baruku hidup bersama masyarakat. Ayahku adalah seorang developer perumahan dan kami tinggal di perumahan tersebut, tentunya ayahku memiliki kedudukan di masyarakat perumahan tersebut, tapi ayahku memilih untuk tidak menjadi misalnya ketua RT, beliau lebih memilih untuk menjadi pengurus masjid dan aku pun harus atau pasti dilibatkan dalam kegiatan masjid sebagai anak lulusan pesantren. Ramadhan kali ini, masjid Al-Barakah, yang baru berdiri dua tahun dan ini adalah tahun kedua memasuki Ramadhan kedua baginya, memiliki banyak kegiatan dikarenakan adanya beberapa santri pesantren Zad yang ditugaskan untuk membina masyarakat sebagai tugas KKN mereka. Aku kenal baik dengan mereka meskipun baru pertama kali aku bertemu dengan mereka, tapi tanpa butuh waktu lama kami bisa akrab dengan mudah. Alasannya adalah karena frekuensi pertemanan. Aku bukan merasa suci, aku bahkan seorang pendosa, tapi aku lebih senang saat dapat bertemu dan berkumpul orang-orang saleh selayaknya mereka. Pernah aku diajak untuk bukber dengan kawan-kawan SD-ku, mereka tak diragukan lagi sudah kenal sejak lama, tapi saat aku berkumpul dengan mereka rasanya aku sangat tak nyaman melihat pemandangan yang kurang pantas dilakukan di bulan Ramadhan seperti merokok dan membahas perkara yang bukan-bukan. Aku memandangi mereka, di sekelilingku penuh dengan asap rokok, hatiku tak tenang meskipun aku mampu melebur bersama mereka, kemudian aku melihat kawan pesantrenku di story WhatsApp sedang itikaf di masjid bersama kawanku yang lain, dalam hati aku bergumam, “Andai aku ada bersama kalian berada di masjid bersama menikmati akhir Ramadhan dengan takwa. Sedangkan aku terkurung di kebulan asap rokok ini. Andai kau menarikku ke masjid!” Dari sana aku mendapatkan hikmah yang banyak di antarnya bahwa tak setiap yang dikenal adalah kawan dan tak setiap yang tak kenal bukanlah kawan, akan tetapi kawan adalah orang yang sesuai dengan hati nurani dan kebiasaan bergaul. “Kawan” di sini bermakna sahabat. Berkawanlah dengan banyak orang karena banyak kawan memudahkan kehidupan bersosial, tapi pilahlah dari mereka sahabat yang kau jadikan orang yang berjalan bersama menuju tujuanmu.

Santri-santri Zad ini memilki kapasitas ilmu yang cukup untuk terjun ke masyarakat, mereka diberi masa abdi selama bulan Ramadhan ini. Dari mereka, aku banyak mendapatkan pelajaran penting seputar agama dan cara membangun konsep mengajar ilmu agama pada masyarakat. Mereka datang dengan program dan program itu terus berlanjut hingga menjadi kegiatan rutinan di masjid Al-Barakah ini. Aku pun banyak dilibatkan sehingga masa Ramadhanku banyak dihabiskan dengan kegiatan masjid. Alhamdulillah. Atas jasa mereka, aku jadi tahu bagaimana cara berinteraksi dengan masyarakat dan menyikapi mereka. Itu membuatku sedikit menghilangkan kesepianku akan kehilangan kawan karena keberadaan mereka seakan menjadi pemecah suasana sehingga masjid tampak lebih hidup dan aktif, dan karena di sanalah mereka ada dan mereka adalah kawan baruku kala itu. Namun ada pertemuan pasti ada perpisahan, mereka datang awal Ramadhan dan akhirnya mereka selesai pula masa KKN tersebut sehingga mereka harus kembali pulang. Mereka harus pergi seminggu sebelum lebaran. Masyarakat merasa sangat kehilangan dengan kepergiaan mereka karena ilmu yang mereka bawa menjadi lentera baru bagi masyarakat. Mereka sebenarnya mengamanahkan padaku untuk melanjutkan program mereka, namun karena keterbatasanku dan rasa malas yang sering membeludak aku tanggalkan beberapa program mereka. Yang masih aku lanjutkan dari program mereka adalah mengajar tahsin untuk bapak-bapak dan bahasa Arab dasar, kemudian menjadi imam tetap masjid, sisanya seperti mengajarkan anak-anak mengaji dan menghafal Al-Quran aku tak bisa melanjutkannya karena pertama aku tak terbiasa bermain atau mengajar dengan anak-anak, kenapa? Karena mengajar anak itu membutuhkan kesabaran dan semangat mengajar yang tinggi, mengajar anak butuh hiburan, cara yang tepat, dan friendly. Sedangkan sifatku yang kadang cuek dan tidak sabaran menghadapi anak-anak. Adapun mengajar bapak-bapak, kita tetap saja membutuhkan kesabaran, tapi kita tak perlu lelah mencari hiburan atau cara yang menarik.

Aku dahulu pengkritis para guru di pesantrenku melalui tulisan-tulisan, tapi aku sadar bahwa pekerjaan mereka memang berat dan susah, bahkan aku sadar bahwa aku tak mampu melakukan tata cara mengajar yang aku buat sendiri. Terus dari mana dasar tata cara itu kalau aku sendiri tak bisa melakukannya? Asalnya dari keluhanku selama menjadi santri yang melihat banyak guru yang mengajar hanya sebatas rutinitas formal tanpa memperhatikan keberhasilan para peserta didik, yang mereka kerjakan hanyalah pekerjaan, bukan mendidik, dan aku kritisi adalah agar mereka dapat mendidik kami dengan lebih baik, dengan cara yang mampu menjadikan kami paham apa yang mereka sampaikan dan ilmu yang diberikan tidaklah sia-sia. Kritik itu agar mereka melakukan itu untuk kami, bukan agar aku melakukan itu kelak bila menjadi guru. Sebenarnya aku merasa tak ingin menjadi guru dan bahkan tak bercita-cita, sehingga aku lancang menyatakan kritik itu dengan harap mereka mampu melakukannya. Nyatanya orang yang berilmu itu mau tidak mau tetap saja akan menjadi guru atau pengajar baik formal ataupun non-formal. Maka saat aku terjun ke masyarakat, aku merasa bahwa yang aku kritisi itu ternyata memang susah sekali dilaksakan, aku tahu bahwa menjadi guru itu susah sekali dalam mengajar dan kritikku mungkin dapat menjadi solusi mereka untuk evaluasi, namun nyatanya untuk menjadi guru yang datar saja sudah susah, apalagi menjadi guru yang produktif, yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk muridnya. Tapi tetap saja, suatu saat aku harus membuktikan apa yang aku tuliskan. Pantas saja guru adalah pahlawan, karena jasa mereka memanglah besar, kucoba perinci, guru yang hanya mengajar materi tanpa memedulikan murid sudah menyempatkan waktu untuk mengajar materi dengan kemampuannya, itulah jasanya. Guru yang mengajar ilmu karena terpaksa disebabkan bukan kapasitasnya, dia telah berjuang menyesuikan diri dengan sesuatu yang bukan dirinya, itulah jasanya. Guru yang sangat buruk mengajarnya dan menjadi bahan ejekan muridnya, tapi dia tetap bertahan dan bersabar di hadapan murid dengan senyumannya, itulah jasanya. Guru yang totalitas menghabiskan hari-harinya untuk muridnya bahkan keluarganya sekalipun mereka lupakan, itulah jasanya. Semua guru berjasa. Bila ilmunya tak dipahami, carilah berkahnya. Bila caranya membosankan, terimalah kekurangannya. Bila guru itu totalitas mengajar, maka hargailah jasanya.

Terjun ke masyarakat menjadi bagian dari rutinitas baruku saat itu. Dan aku pikir ini sudah masuk ke dunia nyata, padahal nyatanya ada yang lebih rumit dari itu. Tunggu saja usia bertambah.

***

Sidang isbat adalah acara televisi yang selalu membuat kebingungan antara kita. Ibu-ibu bingung kapan mereka memulai masak, para anak tak sabar menunggu hari raya, dan para bapak yang tak sabar mempersiapkan sholat Id di masjid. Sidang isbat yang dilaksakan oleh Kemenag itu akhirnya menentukan secara sah di waktu sebelum kumandang adzan Isya bahwa Ramadhan berakhir di hari sabtu, meskipun Muhammadiyah melaksakan lebih dahulu di hari Jumat. Akhirnya lebaran sudah tak lagi misteri dan faktanya Ramadhan pun berakhir dengan pasti. Ibuku kembali memasak sebegai persiapan untuk esok lusa supaya tak terasa capek. Ayahku menyuruhku untuk menjadi imam sholat Id, untuk pertama kali dalam hidupku tak pernah terbayang aku benar-benar menjadi imam di hari raya, aku perbanyak baca artikel seputar sholat Id agar terlaksana dengan baik.

Tak terasa bulan yang ditunggu setahun lalu sudahlah usai tanpa aku mampu memaksimalkannya dengan baik, entah kesibukan apa yang membuat hari-hari di bulan suci ini begitu kencang berlari. Dunia modern dengan teknologinya yang canggih menghabiskan banyak sekali waktu untuk hal tak berguna dan bahkan kenangan indah. Lebaran di dunia modern ini serasa hambar sekali, dari tahun ke tahun dirasa tak ada hal yang spesial di hari raya, tidak seperti dulu saat kami masih bermain kelereng di tengah lapang, hari lebaran terasa lebih hidup, bahkan keseruan itu seperti hati yang gembira dan tak hampa. Mungkinkah alasan dari hambarnya lebaran adalah teknologi? Atau beberapa anggota keluarga yang sudah pergi? Atau kesibukan masing-masing? Atau usia? Atau memang adat di hari raya sudah musnah? Aku rasa semuanya benar. Sejak aku mengenal handphone, menginjak masa SMP, nenek yang sudah wafat, orang-orang dekat dan saudara sudah mulai punya kehidupannya sendiri, dan adat di malam takbiran yang sudah mulai memudar, barulah lebaran sejak saat itu terasa biasa. Begitupun lebaran tahun ini, di mana kami melaksakan hari raya di rumah baru di perumahan baru yang tentu saja kebanyakan masyarakatnya adalah orang baru, baik keluarga baru ataupun manusia modern yang lebih suka diam di rumah dengan kebutuhan sosial medianya. Keluarga baru pasti pulang ke keluarga besarnya, dan manusia modern tak mau berpartisipasi memeriahkan malam takbiran.

           Malam itu aku pergi ke masjid untuk ikut memeriahkan takbiran, hanya segelintir orang saja dari para orang tua yang menjadi ahli masjid, sedangkan anak-anak pun masih sedikit yang bermain di luar, tak masalah, mereka ikut menghidupkan kemeriahan malam itu dengan cara mereka yang berisik dan sedikit mengganggu. Tak lama saja aku diam di masjid ikut bertakbir menggunakan mic, aku memilih untuk pulang saja. Di rumah, aku berharap bisa memeriahkan malam itu, aku menyalakan televisi dan menyetel suara takbir, aku mengajak adikku untuk bermain petasan, dan namun semua itu terasa biasa. Adikku, Gamila, dia sudah mengantuk jadi tak mengindahkanku yang sedang menyalakan petasan, dan adikku, Ghiyas, dia lebih suka diam di kamarnya entah melakukan apa. Sejujurnya aku merasa kesepian, rumah terasa sepi saja, tak ada hal spesial seakan besok bukanlah hari raya. Aku duduk di halaman rumah dengan ibuku mencurahkan isi hati yang merasa ingin kembali ke masa lalu.

“Umi, kenapa lebaran semakin ke sini semakin tak berkesan?”

“Mungkin karena kaka nya sudah besar.”

“Tapi Umi waktu dulu gitu juga? Enggak kan.”

“Ya, karena jaman dulu sama sekarang berbeda.”

           Padahal ini adalah lebaran “terakhir” di rumah sebelum berangkat jauh, mungkin tahun depan aku tak berlebaran di rumah, tapi di negeri orang. Televisi dimatikan, lampu dipadamkan, semua kembali ke kamarnya, dan rumah seketika mati dengan sayup-sayup suara takbir dari speeker masjid. Sungguh, satu hal yang diharapkan setiap tahun di hari lebaran adalah menjadikan ia sebagai hari yang berkesan seperti dahulu, aku selalu berusaha tapi jaman tak bisa diubah. Aku biasanya sulit tidur bila ada hari spesial di esok hari, tapi saat itu aku bisa tidur dengan mudah seakan besok bukanlah hari raya.

           Esok hari tiba dengan subuh khas lebaran, segar, cerah, harum dari suasana itu tercium jelas seperti tahun-tahun lalu walau dengan kondisi yang sangat berbeda. Langit seakan ingin ikut berbahagia di hari raya. Seusai sholat subuh, takdir dikumandangkan lagi hingga menjelang sholat Id. Aku mempersiapkan diri dengan mandi sunnah Id dan berpakaian rapih untuk menghadiri sholat Id dan menjadi imam di sana, meskipun aku bukanlah khatibnya, khatibnya adalah Ust. Roby Muharram. Setelah siap, aku pun berangkat ke masjid lebih awal agar aku bisa ikut bertakbir bersama yang lain. Matahari pun sudah mulai naik dan masuk ke waktu Dhuha, sholat ditegakkan dan aku maju untuk berdiri di mihrab sebagai imam. Jamaah masjid masih sedikit karena wajar saja kami tinggal di perumahan baru yang warganya masih kurang dari 100 keluarga.

           Sholat pun selesai dengan lancar, giliran Ust. Roby maju ke depan berdiri di atas mimbar sebagai khatib sholat Id. Ada beberapa poin yang aku garis bawahi dari khutbahnya, pertama bahwa jangan menjadikan Idul Fitri sebagai Idul Iftar, yakni menjadikan hari raya hanya sebatas kembalinya kita ke rutinitas makan kita yang sehari tiga kali tanpa perlu menahan lapar akan tetapi harus pula menjadikan Id itu sebagai hari kembalinya kita ke fitrah yaitu suci dari khilaf dan dosa. Kedua bahwa tanda seorang berhasil meraih Ramadhan adalah bukan dengan dia berhasil giat di dalamnya, akan tetapi dengan dia mampu melaksakan seluruh program yang sudah diajarkan oleh Ramadhan di bulan-bulan selanjutnya.

           Seperti adat kami, setelah sholat dan khutbah kami langsung berdiri rapih untuk saling bersalaman diiringi oleh shalawat, suasana begitu syahdu. Matahari mulai menampakkan sinarnya yang kuat dan hari sudah mulai sedikit panas pagi. Aku pulang ke rumah dan langsung mengambil santapan khas di atas meja makan. Aku berbuat kesalahan. Ayahku membuka pintu rumah lebar-lebar untuk mempersilahkan saudara-saudara, para tetangga, dan para tamu yang ingin bertamu dan ikut menghabiskan hidangan yang sudah disiapkan dari malam hari oleh ibuku. Leberan belum berakhir, tinggal sedikit lagi hilang semua vibes itu. Karena kakekku tinggal di rumah kami maka semua saudara dari ayah datang ke rumah, tapi kami sekeluarga akan berangkat dulu ke nenek-kakek dari ibu yang rumahnya tak begitu jauh. Kami adalah orang asli Cianjur, benar-benar asli. Ayahku dahulu menemukan ibuku di tempat yang sama, antara rumah ayahku dan ibuku hanya dibatasi oleh jalan raya alias bersebrangan hanya saja rumah ibuku agak sedikit masuk ke gang, begitu pun seluruh saudara dekatku adalah orang Cianjur sehingga kami tak mengenal istilah mudik, semuanya ada di satu kota. Kunjungan kami ke rumah nenek-kakek dari ibu itu adalah agenda terakhir dari lebaran, setelah itu kami pulang ke rumah dan lebaran berakhir begitu saja. Lebaran bagi kami hanya sekitaran setengah hari, setelah itu kami menjalankan aktivitas biasa seperti di hari-hari normal tanpa suasana lebaran sedikit pun. Sebelum dzuhur, rumahku masih dipenuhi saudara-saudara, tapi setelah itu mereka pergi satu-persatu dan rumah pun kembali ke kondisi asalnya yaitu sepi. Rumah kami begitu berantakan, aku membantu sedikit pekerjaan ibuku membereskan rumah, terutama bekas mainan anak yang berserakan di mana-mana.

           Aku melakukan kesalahan.

           Malam hari itu, ibuku berbisik pada ayahku saat kami sedang kumpul di ruang televisi. Ayahku bilang, “Umi bilang katanya dua tahun ini kakak sama teteh gak sungkem ke Umi.”

           Oh iya. Aku melakukan kesalahan, ternyata tak sungkem di hari raya itu membuat ibuku kecewa, dan sungguh aku lupa untuk melakukan itu, tapi aku pun malu untuk mengungkapkan rasa salah dan maaf. Aku hanya terseyum malu. Walau demikian biarlah aku menuliskan sedikit rasa dan permohonan maaf di dalam tulisanku ini, “Umi, maafkan kaka yang lupa bersalam di lebaran ini dan tahun lalu, kaka tau Umi selalu mengharapkan anaknya ini datang dan bersalaman meminta maaf di hari lebaran. Entah mengapa aku lupa? Tapi sungguh kaka merasa bersalah tidak sungkem ke Umi. Tidak sungkem bukan berarti kaka gak sayang Umi, kaka sayang tapi kaka lebih sering malu mengungkapkannya termasuk sungkem ini yang membuatku lupa melakukannya. Kalau Umi masih kecewa kaka gak sungkem, sekali lagi maafin kaka, semoga tahun depan kaka masih bisa sungkem ke Umi di hari lebaran atau di luar hari itu. Kaka inysa Allah tak akan mengulangi hal ini lagi. Sungguh.”

           Membuat ibu kecewa adalah hal yang paling disesalkan, setelah mendengar pernyataan itu aku merasa gelisah dan penuh salah, tapi aku selalu malu untuk memperbaikinya. Namun aku pun selalu bertanya pada diriku mengapa aku harus malu melakukan hal yang terbaik untuk ibuku? Sejujurnya yang membuatku malu adalah cara ibuku dahulu yang sedikit kurang terbuka dengan cerita atau reaksinya saat aku melakukan sesuatu, baik itu kebaikan ataupun keburukan, misalnya ketika aku bercerita tentang sesuatu yang mungkin kurang disukai ibuku, maka dia langsung berkomentar dan berkata banyak larangan sehingga aku pun memilih untuk tidak banyak bercerita apalagi soal hati karena takut dikomentari dan tak sesuai harapannya, dan atau saat aku melakukan sesuatu, seringkali ibuku langsung menceritakannya pada saudara atau temannya, maka dari itu aku lebih sering tertutup agar aku tak malu di hadapan orang. Aku pemalu, meskipun yang diceritakan ibuku adalah kebaikanku dan rasa bangga terhadapku, tapi aku selalu merasa malu dengan hal itu. Itu bukanlah kesalahan ibuku, itu adalah sifatnya dan akulah yang harus mengerti dengan dirinya, mungkin saat itu aku sering malu, tapi dengan seiring berjalannya waktu aku harus lebih terbuka, aku mencoba, dan dapat mengungkapkan semua rasa di dalam hati ini tanpa rasa malu padanya demi menghindari kekecewaan yang mungkin beliau tak tahu sebab aku tak melakukan itu karena apa.

           Lebaran yang hambar ditambah rasa sesalku akibat ulahku menjadikan lebaran kala ini semakin tak berkesan. Maafkan aku ibu. Aku berharap sangat lebaran tahun ke depannya kita masih punya kesempatan untuk saling menatap dan berpelukan. Ya Allah panjangkanlah umur ibuku dan ayahku hingga aku mampu memberikan kebahagiaan yang mereka harapkan dan mereka merasa puas dengan usahaku untuk mengembalikan jasa mereka yang tiada tara!

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Untuk Cianjur

Pemilu (dari mata orang sok tahu)

Manipulasi Angka (Mencari Esensi Ujian dan Meluruskan Keliru)