Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Badanku masih membutuhkan sedikit istirahat. Aku memilih untuk memperbanyak waktu bersama keluarga di masa liburan kali ini. Pagi itu aku terbangun sekitar jam 8 pagi, waktu yang wajar saat bangun dari tidur subuh, aku terbiasa untuk tidak bangun melebihi jam 9 pagi. Dengan rambut yang masih acak-acakan, kepala yang agak pusing, dan badan lemas, aku bangkit dari sofa depan televisi itu untuk menghampiri ibuku yang sedang bekerja di dapur, dia sedang memasak sarapan untuk adikku, Gamila, yang masih berumur 3 tahun itu. Aku duduk di meja makan sambil melamun sejenak, lalu berkata, “Alhamdulillah Umi, kaka sudah agak mendingan, jadi gak perlu ke dokter, cukup istirahat lagi, Insya Allah, sehat.”
“Oh yaudah atuh kalau gitu.”
Suara
tangisan terdengar dari arah kamar ibuku, suara yang selalu ku nanti di setiap
paginya yaitu suara adikku bangun. Aku bergegas menghampirinya dan mengajaknya
untuk pergi ke luar kamar, “Sini Gamila, dipangku. Umi ada di dapur. Yuk!”
Mejulurkan kedua tangannya meminta untuk dipangku, aku mengangkatnya dan
membawanya ke dapur.
Adikku ini adalah adik kedua yang baru lahir
ketika umurku 17 tahun, jadi dia memiliki selang waktu yang sangat panjang.
Adikku ini adalah teman bermainku di rumah. Setiap kali aku pergi pulang dari
pondok, satu hal yang ku tak sabar ingin segera mendapatkannyam yaitu bermain
dengan adikku ini. Aku hadir baginya sebagai penghibur dan menemani masa
kecilnya. Aku adalah orang yang menghargai setiap momen. Andai aku cuek terhadap
adikku dan tak ingin mengasuhnya, maka sungguh rugi aku bahwa kesenangan
mengasuh seorang anak di umur yang sedang lucu-lucunya, maka aku pun tak akan
pernah melewatkan waktu bermain bersamanya. Sejak pertama kali dia datang ke
bumi ini, aku sambut baik dia. Karena mungkin jarak umur yang jauh membuatku
lebih perhatian, bukan berarti aku tak sayang adikku yang kedua. Tapi karena
dia sudah dewasa, umurnya 14 tahun, dan dari dulu memang sering tak akur, jadi
kedekatannya kurang meskipun tetap saja aku sayang padanya.
Gamila pun turun dan mendekap ibunya meminta
untuk minum susu. Aku pergi ke halaman rumah untuk bersantai pagi duduk manis
di kursi halaman sambil menikmati suasana pagi dengan pemandangan ayam-ayam
piaraan dan suara kicauan burung. Ini adalah hari pertama aku lepas dan
menjadi alumni yang sesungguhnya, rasanya aku belum mampu terjun ke dunia
nyata, tapi inilah kenyataannya, sudah saatnya aku menghadapi semua ini.
Kehilangan teman beserta kenangannya dan menghadapi hidup yang penuh tantangan
ke depannya. Ditambah sebentar lagi rumah ini ku akan tinggalkan jauh dan entah
bagaimana nanti nasibku saat pergi ke luar negeri yang dipenuhi perbedaan. Aku
merasa tegang dan khawatir. Sungguh. Aku membuka WhatsApp dan kulihat grup
yang kemarin seru dan dipenuhi pesan yang penuh dengan dramatisir, canda tawa,
lelucon, kabar burung, dan bahkan kata kotor pula, kini terlihat sepi, hanya
muncul notifikasi salah seorang kawan mengirim foto-foto acara kelulusan
kemarin. Apakah mereka mulai sibuk dengan hidupnya? Padahal baru berseling satu
hari suasana sungguh telah berbeda sangat.
Rutinitas harianku mungkin akan terlihat
sangat datar dan berputar di keadaan yang hampir sama setiap hari. Sangat
mungkin bila diceritakan akan sangat membosankan dan menguras waktu pembaca. Namun
ada beberapa hal menarik yang menjadi pengalaman baruku hidup bersama
masyarakat. Ayahku adalah seorang developer perumahan dan kami tinggal di
perumahan tersebut, tentunya ayahku memiliki kedudukan di masyarakat perumahan
tersebut, tapi ayahku memilih untuk tidak menjadi misalnya ketua RT, beliau
lebih memilih untuk menjadi pengurus masjid dan aku pun harus atau pasti
dilibatkan dalam kegiatan masjid sebagai anak lulusan pesantren. Ramadhan kali
ini, masjid Al-Barakah, yang baru berdiri dua tahun dan ini adalah tahun kedua
memasuki Ramadhan kedua baginya, memiliki banyak kegiatan dikarenakan adanya
beberapa santri pesantren Zad yang ditugaskan untuk membina masyarakat sebagai
tugas KKN mereka. Aku kenal baik dengan mereka meskipun baru pertama kali aku bertemu
dengan mereka, tapi tanpa butuh waktu lama kami bisa akrab dengan mudah.
Alasannya adalah karena frekuensi pertemanan. Aku bukan merasa suci, aku bahkan
seorang pendosa, tapi aku lebih senang saat dapat bertemu dan berkumpul
orang-orang saleh selayaknya mereka. Pernah aku diajak untuk bukber dengan
kawan-kawan SD-ku, mereka tak diragukan lagi sudah kenal sejak lama, tapi saat
aku berkumpul dengan mereka rasanya aku sangat tak nyaman melihat pemandangan
yang kurang pantas dilakukan di bulan Ramadhan seperti merokok dan membahas
perkara yang bukan-bukan. Aku memandangi mereka, di sekelilingku penuh dengan
asap rokok, hatiku tak tenang meskipun aku mampu melebur bersama mereka,
kemudian aku melihat kawan pesantrenku di story WhatsApp sedang itikaf
di masjid bersama kawanku yang lain, dalam hati aku bergumam, “Andai aku ada
bersama kalian berada di masjid bersama menikmati akhir Ramadhan dengan takwa.
Sedangkan aku terkurung di kebulan asap rokok ini. Andai kau menarikku ke
masjid!” Dari sana aku mendapatkan hikmah yang banyak di antarnya bahwa tak
setiap yang dikenal adalah kawan dan tak setiap yang tak kenal bukanlah kawan,
akan tetapi kawan adalah orang yang sesuai dengan hati nurani dan kebiasaan
bergaul. “Kawan” di sini bermakna sahabat. Berkawanlah dengan banyak orang
karena banyak kawan memudahkan kehidupan bersosial, tapi pilahlah dari mereka
sahabat yang kau jadikan orang yang berjalan bersama menuju tujuanmu.
Santri-santri Zad ini memilki kapasitas ilmu
yang cukup untuk terjun ke masyarakat, mereka diberi masa abdi selama bulan
Ramadhan ini. Dari mereka, aku banyak mendapatkan pelajaran penting seputar
agama dan cara membangun konsep mengajar ilmu agama pada masyarakat. Mereka
datang dengan program dan program itu terus berlanjut hingga menjadi kegiatan
rutinan di masjid Al-Barakah ini. Aku pun banyak dilibatkan sehingga masa
Ramadhanku banyak dihabiskan dengan kegiatan masjid. Alhamdulillah. Atas jasa
mereka, aku jadi tahu bagaimana cara berinteraksi dengan masyarakat dan
menyikapi mereka. Itu membuatku sedikit menghilangkan kesepianku akan
kehilangan kawan karena keberadaan mereka seakan menjadi pemecah suasana
sehingga masjid tampak lebih hidup dan aktif, dan karena di sanalah mereka ada
dan mereka adalah kawan baruku kala itu. Namun ada pertemuan pasti ada
perpisahan, mereka datang awal Ramadhan dan akhirnya mereka selesai pula masa
KKN tersebut sehingga mereka harus kembali pulang. Mereka harus pergi seminggu
sebelum lebaran. Masyarakat merasa sangat kehilangan dengan kepergiaan mereka
karena ilmu yang mereka bawa menjadi lentera baru bagi masyarakat. Mereka
sebenarnya mengamanahkan padaku untuk melanjutkan program mereka, namun karena
keterbatasanku dan rasa malas yang sering membeludak aku tanggalkan beberapa
program mereka. Yang masih aku lanjutkan dari program mereka adalah mengajar
tahsin untuk bapak-bapak dan bahasa Arab dasar, kemudian menjadi imam tetap
masjid, sisanya seperti mengajarkan anak-anak mengaji dan menghafal Al-Quran
aku tak bisa melanjutkannya karena pertama aku tak terbiasa bermain atau
mengajar dengan anak-anak, kenapa? Karena mengajar anak itu membutuhkan
kesabaran dan semangat mengajar yang tinggi, mengajar anak butuh hiburan, cara
yang tepat, dan friendly. Sedangkan sifatku yang kadang cuek dan
tidak sabaran menghadapi anak-anak. Adapun mengajar bapak-bapak, kita tetap
saja membutuhkan kesabaran, tapi kita tak perlu lelah mencari hiburan atau cara
yang menarik.
Aku dahulu pengkritis para guru di pesantrenku
melalui tulisan-tulisan, tapi aku sadar bahwa pekerjaan mereka memang berat dan
susah, bahkan aku sadar bahwa aku tak mampu melakukan tata cara mengajar yang
aku buat sendiri. Terus dari mana dasar tata cara itu kalau aku sendiri tak bisa
melakukannya? Asalnya dari keluhanku selama menjadi santri yang melihat banyak
guru yang mengajar hanya sebatas rutinitas formal tanpa memperhatikan
keberhasilan para peserta didik, yang mereka kerjakan hanyalah pekerjaan, bukan
mendidik, dan aku kritisi adalah agar mereka dapat mendidik kami dengan lebih
baik, dengan cara yang mampu menjadikan kami paham apa yang mereka sampaikan
dan ilmu yang diberikan tidaklah sia-sia. Kritik itu agar mereka melakukan itu
untuk kami, bukan agar aku melakukan itu kelak bila menjadi guru. Sebenarnya
aku merasa tak ingin menjadi guru dan bahkan tak bercita-cita, sehingga aku
lancang menyatakan kritik itu dengan harap mereka mampu melakukannya. Nyatanya
orang yang berilmu itu mau tidak mau tetap saja akan menjadi guru atau pengajar
baik formal ataupun non-formal. Maka saat aku terjun ke masyarakat, aku merasa
bahwa yang aku kritisi itu ternyata memang susah sekali dilaksakan, aku tahu
bahwa menjadi guru itu susah sekali dalam mengajar dan kritikku mungkin dapat
menjadi solusi mereka untuk evaluasi, namun nyatanya untuk menjadi guru yang
datar saja sudah susah, apalagi menjadi guru yang produktif, yang mencurahkan
seluruh hidupnya untuk muridnya. Tapi tetap saja, suatu saat aku harus
membuktikan apa yang aku tuliskan. Pantas saja guru adalah pahlawan, karena
jasa mereka memanglah besar, kucoba perinci, guru yang hanya mengajar materi
tanpa memedulikan murid sudah menyempatkan waktu untuk mengajar materi dengan
kemampuannya, itulah jasanya. Guru yang mengajar ilmu karena terpaksa
disebabkan bukan kapasitasnya, dia telah berjuang menyesuikan diri dengan
sesuatu yang bukan dirinya, itulah jasanya. Guru yang sangat buruk mengajarnya
dan menjadi bahan ejekan muridnya, tapi dia tetap bertahan dan bersabar di
hadapan murid dengan senyumannya, itulah jasanya. Guru yang totalitas
menghabiskan hari-harinya untuk muridnya bahkan keluarganya sekalipun mereka
lupakan, itulah jasanya. Semua guru berjasa. Bila ilmunya tak dipahami, carilah
berkahnya. Bila caranya membosankan, terimalah kekurangannya. Bila guru itu
totalitas mengajar, maka hargailah jasanya.
Terjun ke masyarakat menjadi bagian dari
rutinitas baruku saat itu. Dan aku pikir ini sudah masuk ke dunia nyata,
padahal nyatanya ada yang lebih rumit dari itu. Tunggu saja usia bertambah.
***
Sidang isbat adalah acara televisi yang selalu membuat
kebingungan antara kita. Ibu-ibu bingung kapan mereka memulai masak, para anak
tak sabar menunggu hari raya, dan para bapak yang tak sabar mempersiapkan
sholat Id di masjid. Sidang isbat yang dilaksakan oleh Kemenag itu akhirnya
menentukan secara sah di waktu sebelum kumandang adzan Isya bahwa Ramadhan
berakhir di hari sabtu, meskipun Muhammadiyah melaksakan lebih dahulu di hari
Jumat. Akhirnya lebaran sudah tak lagi misteri dan faktanya Ramadhan pun
berakhir dengan pasti. Ibuku kembali memasak sebegai persiapan untuk esok lusa
supaya tak terasa capek. Ayahku menyuruhku untuk menjadi imam sholat Id, untuk
pertama kali dalam hidupku tak pernah terbayang aku benar-benar menjadi imam di
hari raya, aku perbanyak baca artikel seputar sholat Id agar terlaksana dengan
baik.
Tak terasa bulan yang ditunggu setahun lalu
sudahlah usai tanpa aku mampu memaksimalkannya dengan baik, entah kesibukan apa
yang membuat hari-hari di bulan suci ini begitu kencang berlari. Dunia modern
dengan teknologinya yang canggih menghabiskan banyak sekali waktu untuk hal tak
berguna dan bahkan kenangan indah. Lebaran di dunia modern ini serasa hambar
sekali, dari tahun ke tahun dirasa tak ada hal yang spesial di hari raya, tidak
seperti dulu saat kami masih bermain kelereng di tengah lapang, hari lebaran
terasa lebih hidup, bahkan keseruan itu seperti hati yang gembira dan tak
hampa. Mungkinkah alasan dari hambarnya lebaran adalah teknologi? Atau beberapa
anggota keluarga yang sudah pergi? Atau kesibukan masing-masing? Atau usia?
Atau memang adat di hari raya sudah musnah? Aku rasa semuanya benar. Sejak aku
mengenal handphone, menginjak masa SMP, nenek yang sudah wafat, orang-orang
dekat dan saudara sudah mulai punya kehidupannya sendiri, dan adat di malam
takbiran yang sudah mulai memudar, barulah lebaran sejak saat itu terasa biasa.
Begitupun lebaran tahun ini, di mana kami melaksakan hari raya di rumah baru di
perumahan baru yang tentu saja kebanyakan masyarakatnya adalah orang baru, baik
keluarga baru ataupun manusia modern yang lebih suka diam di rumah dengan
kebutuhan sosial medianya. Keluarga baru pasti pulang ke keluarga besarnya, dan
manusia modern tak mau berpartisipasi memeriahkan malam takbiran.
Malam itu
aku pergi ke masjid untuk ikut memeriahkan takbiran, hanya segelintir orang
saja dari para orang tua yang menjadi ahli masjid, sedangkan anak-anak pun
masih sedikit yang bermain di luar, tak masalah, mereka ikut menghidupkan
kemeriahan malam itu dengan cara mereka yang berisik dan sedikit mengganggu.
Tak lama saja aku diam di masjid ikut bertakbir menggunakan mic, aku memilih
untuk pulang saja. Di rumah, aku berharap bisa memeriahkan malam itu, aku
menyalakan televisi dan menyetel suara takbir, aku mengajak adikku untuk
bermain petasan, dan namun semua itu terasa biasa. Adikku, Gamila, dia sudah
mengantuk jadi tak mengindahkanku yang sedang menyalakan petasan, dan adikku,
Ghiyas, dia lebih suka diam di kamarnya entah melakukan apa. Sejujurnya aku
merasa kesepian, rumah terasa sepi saja, tak ada hal spesial seakan besok
bukanlah hari raya. Aku duduk di halaman rumah dengan ibuku mencurahkan isi
hati yang merasa ingin kembali ke masa lalu.
“Umi, kenapa lebaran semakin ke sini semakin tak
berkesan?”
“Mungkin karena kaka nya sudah besar.”
“Tapi Umi waktu dulu gitu juga? Enggak kan.”
“Ya, karena jaman dulu sama sekarang berbeda.”
Padahal
ini adalah lebaran “terakhir” di rumah sebelum berangkat jauh, mungkin tahun
depan aku tak berlebaran di rumah, tapi di negeri orang. Televisi dimatikan,
lampu dipadamkan, semua kembali ke kamarnya, dan rumah seketika mati dengan
sayup-sayup suara takbir dari speeker masjid. Sungguh, satu hal yang diharapkan
setiap tahun di hari lebaran adalah menjadikan ia sebagai hari yang berkesan
seperti dahulu, aku selalu berusaha tapi jaman tak bisa diubah. Aku biasanya
sulit tidur bila ada hari spesial di esok hari, tapi saat itu aku bisa tidur
dengan mudah seakan besok bukanlah hari raya.
Esok hari
tiba dengan subuh khas lebaran, segar, cerah, harum dari suasana itu tercium
jelas seperti tahun-tahun lalu walau dengan kondisi yang sangat berbeda. Langit
seakan ingin ikut berbahagia di hari raya. Seusai sholat subuh, takdir
dikumandangkan lagi hingga menjelang sholat Id. Aku mempersiapkan diri dengan
mandi sunnah Id dan berpakaian rapih untuk menghadiri sholat Id dan menjadi
imam di sana, meskipun aku bukanlah khatibnya, khatibnya adalah Ust. Roby
Muharram. Setelah siap, aku pun berangkat ke masjid lebih awal agar aku bisa
ikut bertakbir bersama yang lain. Matahari pun sudah mulai naik dan masuk ke
waktu Dhuha, sholat ditegakkan dan aku maju untuk berdiri di mihrab sebagai
imam. Jamaah masjid masih sedikit karena wajar saja kami tinggal di perumahan
baru yang warganya masih kurang dari 100 keluarga.
Sholat
pun selesai dengan lancar, giliran Ust. Roby maju ke depan berdiri di atas
mimbar sebagai khatib sholat Id. Ada beberapa poin yang aku garis bawahi dari
khutbahnya, pertama bahwa jangan menjadikan Idul Fitri sebagai Idul Iftar,
yakni menjadikan hari raya hanya sebatas kembalinya kita ke rutinitas makan
kita yang sehari tiga kali tanpa perlu menahan lapar akan tetapi harus pula
menjadikan Id itu sebagai hari kembalinya kita ke fitrah yaitu suci dari khilaf
dan dosa. Kedua bahwa tanda seorang berhasil meraih Ramadhan adalah bukan
dengan dia berhasil giat di dalamnya, akan tetapi dengan dia mampu melaksakan
seluruh program yang sudah diajarkan oleh Ramadhan di bulan-bulan selanjutnya.
Seperti
adat kami, setelah sholat dan khutbah kami langsung berdiri rapih untuk saling
bersalaman diiringi oleh shalawat, suasana begitu syahdu. Matahari mulai
menampakkan sinarnya yang kuat dan hari sudah mulai sedikit panas pagi. Aku
pulang ke rumah dan langsung mengambil santapan khas di atas meja makan. Aku
berbuat kesalahan. Ayahku membuka pintu rumah lebar-lebar untuk mempersilahkan
saudara-saudara, para tetangga, dan para tamu yang ingin bertamu dan ikut menghabiskan
hidangan yang sudah disiapkan dari malam hari oleh ibuku. Leberan belum
berakhir, tinggal sedikit lagi hilang semua vibes itu. Karena kakekku
tinggal di rumah kami maka semua saudara dari ayah datang ke rumah, tapi kami
sekeluarga akan berangkat dulu ke nenek-kakek dari ibu yang rumahnya tak begitu
jauh. Kami adalah orang asli Cianjur, benar-benar asli. Ayahku dahulu menemukan
ibuku di tempat yang sama, antara rumah ayahku dan ibuku hanya dibatasi oleh
jalan raya alias bersebrangan hanya saja rumah ibuku agak sedikit masuk ke
gang, begitu pun seluruh saudara dekatku adalah orang Cianjur sehingga kami tak
mengenal istilah mudik, semuanya ada di satu kota. Kunjungan kami ke rumah
nenek-kakek dari ibu itu adalah agenda terakhir dari lebaran, setelah itu kami
pulang ke rumah dan lebaran berakhir begitu saja. Lebaran bagi kami hanya
sekitaran setengah hari, setelah itu kami menjalankan aktivitas biasa seperti
di hari-hari normal tanpa suasana lebaran sedikit pun. Sebelum dzuhur, rumahku
masih dipenuhi saudara-saudara, tapi setelah itu mereka pergi satu-persatu dan
rumah pun kembali ke kondisi asalnya yaitu sepi. Rumah kami begitu berantakan,
aku membantu sedikit pekerjaan ibuku membereskan rumah, terutama bekas mainan
anak yang berserakan di mana-mana.
Aku
melakukan kesalahan.
Malam
hari itu, ibuku berbisik pada ayahku saat kami sedang kumpul di ruang televisi.
Ayahku bilang, “Umi bilang katanya dua tahun ini kakak sama teteh gak sungkem
ke Umi.”
Oh iya.
Aku melakukan kesalahan, ternyata tak sungkem di hari raya itu membuat ibuku
kecewa, dan sungguh aku lupa untuk melakukan itu, tapi aku pun malu untuk
mengungkapkan rasa salah dan maaf. Aku hanya terseyum malu. Walau demikian
biarlah aku menuliskan sedikit rasa dan permohonan maaf di dalam tulisanku ini,
“Umi, maafkan kaka yang lupa bersalam di lebaran ini dan tahun lalu, kaka tau
Umi selalu mengharapkan anaknya ini datang dan bersalaman meminta maaf di hari
lebaran. Entah mengapa aku lupa? Tapi sungguh kaka merasa bersalah tidak
sungkem ke Umi. Tidak sungkem bukan berarti kaka gak sayang Umi, kaka sayang
tapi kaka lebih sering malu mengungkapkannya termasuk sungkem ini yang membuatku
lupa melakukannya. Kalau Umi masih kecewa kaka gak sungkem, sekali lagi maafin
kaka, semoga tahun depan kaka masih bisa sungkem ke Umi di hari lebaran atau di
luar hari itu. Kaka inysa Allah tak akan mengulangi hal ini lagi. Sungguh.”
Membuat
ibu kecewa adalah hal yang paling disesalkan, setelah mendengar pernyataan itu
aku merasa gelisah dan penuh salah, tapi aku selalu malu untuk memperbaikinya.
Namun aku pun selalu bertanya pada diriku mengapa aku harus malu melakukan
hal yang terbaik untuk ibuku? Sejujurnya yang membuatku malu adalah cara
ibuku dahulu yang sedikit kurang terbuka dengan cerita atau reaksinya saat aku
melakukan sesuatu, baik itu kebaikan ataupun keburukan, misalnya ketika aku
bercerita tentang sesuatu yang mungkin kurang disukai ibuku, maka dia langsung
berkomentar dan berkata banyak larangan sehingga aku pun memilih untuk tidak
banyak bercerita apalagi soal hati karena takut dikomentari dan tak sesuai
harapannya, dan atau saat aku melakukan sesuatu, seringkali ibuku langsung
menceritakannya pada saudara atau temannya, maka dari itu aku lebih sering
tertutup agar aku tak malu di hadapan orang. Aku pemalu, meskipun yang
diceritakan ibuku adalah kebaikanku dan rasa bangga terhadapku, tapi aku selalu
merasa malu dengan hal itu. Itu bukanlah kesalahan ibuku, itu adalah sifatnya
dan akulah yang harus mengerti dengan dirinya, mungkin saat itu aku sering
malu, tapi dengan seiring berjalannya waktu aku harus lebih terbuka, aku
mencoba, dan dapat mengungkapkan semua rasa di dalam hati ini tanpa rasa malu
padanya demi menghindari kekecewaan yang mungkin beliau tak tahu sebab aku tak
melakukan itu karena apa.
Lebaran
yang hambar ditambah rasa sesalku akibat ulahku menjadikan lebaran kala ini
semakin tak berkesan. Maafkan aku ibu. Aku berharap sangat lebaran tahun ke
depannya kita masih punya kesempatan untuk saling menatap dan berpelukan. Ya
Allah panjangkanlah umur ibuku dan ayahku hingga aku mampu memberikan
kebahagiaan yang mereka harapkan dan mereka merasa puas dengan usahaku untuk mengembalikan
jasa mereka yang tiada tara!
***
Komentar
Posting Komentar