Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Saat terlepas pelukan demi pelukan dari para pengantar, aku lambaikan tangan tanda perpisahan. Dari air mata mereka, aku melihat harapan yang tinggi. Semoga ku mampu membayarnya.
Entah mengapa aku selalu berucap
harapan, seperti tak ada topik yang membahana selain itu. Mungkin sebabku yang
sedang lelah mencarinya demi oleh-oleh perjalanan, atau karena tas yang
kupanggul dipenuhi doa dan harapan, aku melihat itu dari setiap baju dan barang
yang dimasukkan padanya oleh genggam ibuku.
Melihat jendala pesawat yang sudah
menampakkan bahwa ku bukan lagi di tanah air, melainkan di tanah yang akan
menjadi rumah sementara ini, meskipun aku belum atau mungkin tak akan pernah
memaknainya sebagai “rumah”. Dan kuhentakkan kakiku ini di atas tanah ini
dengan hati yang berusaha menguatkan demi berjuang menjadi yang mereka mau.
Ibu
Kakiku berpijak bukan di tanah airmu
Badanku berdiri bukan di kampung halamanmu
Mataku melirik tak mampu melihat senyum manismu
Telingaku tak kuasa mendengar seruan indahmu
Ibu
Kurasa lama sangat mungkin kita tak jumpa
Lidahku mulai pudar dari cita rasa
Hatiku mulai goyah oleh cinta dan kuasa
Ingatku disibukan oleh kerja dan cita-cita
Ibu
Akankah aku berubah?
Seperti matamu melihatku kecil mula-mula
Akankah dirimu yang berubah?
Seperti mataku melihatmu menua
Ibu
Andaikata jiwaku melayang jauh
Dan ruang terpisahkan tak bersatu
Bahkan mentari pun berganti menyinarimu
Adakah tetap kudapat berada di dekapanmu?
Ibu
Doakanku mampu menahan rindu
Doakanku kelak pulang kembali ke rumahmu
Harap-harap kau bangga ku ada di sini
Harap-harap kau ada tanpa hadir
Tapi cobaan itu pun datang lagi, cobaan
dari hawa nafsu yang menarikku keluar dari lajur kanan. Menghambatku untuk sampai
di tujuan, menahanku di lajur kiri yang lamban.
Aku selalu berpikir apakah aku
menjual air mata ibuku? Dia berdoa, dan aku berdosa. Dia berharap, dan aku
gagap. Dia menyemangatiku, dan aku malas. Dia mencurahkan rela, dan aku bebas.
Inikah diriku? Inikah ujian dari merantau? Lupa pulang memanglah tidak, tapi
lupa arah amatlah mungkin.
Meskipun hari-hariku seperti kosong,
tapi lamunanku selalu sibuk sendiri hingga terkadang meneteskan air mata.
Selintas aku ingin pulang, selintas aku malu tak membawa apa-apa.
Untuk hari-hari ini, untukmu pembaca dan
aku penulis, untuk yang senasib denganku. Mungkin ujian terberat dari merantau
bukanlah beban mental dan sulitnya hidup, tapi ada pada menanggung harapan di
pundak kita, sedangkan kita merasa bebas tanpa aturan dan hendak menjadi orang
lain yang bukan dari kehendak diri sendiri. Waktu kita terbuang, umur kita
bertambah, pertemuan dengan mereka berkurang, dan mereka menua. Seperti kutipan
yang kudapatkan di Instagram, “Di masa ini, kita berjuang bukan untuk para
pesaing kita, tapi kita berjuang untuk membahagiakan orangtua kita yang semakin
menua dan butuh kehadiran kita.”
Komentar
Posting Komentar