Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Gambar
Diri kita terdiri dari dua hal yaitu jasad dan ruh. Jasad harus diberi gizi yang cukup untuk tumbuh kuat dan gizinya berbentuk materi seperti makanan dan minuman. Begitu juga dengan ruh yang membutuhkan asupan gizi, namun gizinya bukan berbentuk materi melainkan maknawi yaitu hidayah. Sebagaimana Allah memudahkan kita untuk mendapatkan asupan gizi materi bagi jasad kita, Allah juga telah memudahkan kita untuk mendapatkan hidayah itu sebagai asupan gizi maknawi bagi ruh kita, dengan cara diutusnya para rasul untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar dan juga diberikan pula pada manusia akal sehat agar mudah untuk meyakini apa yang dibawakan oleh para rasul. Para rasul diutus kepada kaum yang sudah mulai melenceng dari jalan yang benar, seperti kaum Nabi Nuh yang sejak 10 abad menyembah Allah lalu kemudian mereka berpaling menuju penyembahan patung akibat perilaku mereka yang berlebihan terhadap orang saleh, maka Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan mereka menuju penyem...

Menjual Air Mata

Saat terlepas pelukan demi pelukan dari para pengantar, aku lambaikan tangan tanda perpisahan. Dari air mata mereka, aku melihat harapan yang tinggi. Semoga ku mampu membayarnya.

Entah mengapa aku selalu berucap harapan, seperti tak ada topik yang membahana selain itu. Mungkin sebabku yang sedang lelah mencarinya demi oleh-oleh perjalanan, atau karena tas yang kupanggul dipenuhi doa dan harapan, aku melihat itu dari setiap baju dan barang yang dimasukkan padanya oleh genggam ibuku.

Melihat jendala pesawat yang sudah menampakkan bahwa ku bukan lagi di tanah air, melainkan di tanah yang akan menjadi rumah sementara ini, meskipun aku belum atau mungkin tak akan pernah memaknainya sebagai “rumah”. Dan kuhentakkan kakiku ini di atas tanah ini dengan hati yang berusaha menguatkan demi berjuang menjadi yang mereka mau.

Ibu
Kakiku berpijak bukan di tanah airmu
Badanku berdiri bukan di kampung halamanmu
Mataku melirik tak mampu melihat senyum manismu
Telingaku tak kuasa mendengar seruan indahmu

Ibu
Kurasa lama sangat mungkin kita tak jumpa
Lidahku mulai pudar dari cita rasa
Hatiku mulai goyah oleh cinta dan kuasa
Ingatku disibukan oleh kerja dan cita-cita

Ibu
Akankah aku berubah?
Seperti matamu melihatku kecil mula-mula
Akankah dirimu yang berubah?
Seperti mataku melihatmu menua

Ibu
Andaikata jiwaku melayang jauh
Dan ruang terpisahkan tak bersatu
Bahkan mentari pun berganti menyinarimu
Adakah tetap kudapat berada di dekapanmu?

Ibu
Doakanku mampu menahan rindu
Doakanku kelak pulang kembali ke rumahmu
Harap-harap kau bangga ku ada di sini
Harap-harap kau ada tanpa hadir

Tapi cobaan itu pun datang lagi, cobaan dari hawa nafsu yang menarikku keluar dari lajur kanan. Menghambatku untuk sampai di tujuan, menahanku di lajur kiri yang lamban.

Aku selalu berpikir apakah aku menjual air mata ibuku? Dia berdoa, dan aku berdosa. Dia berharap, dan aku gagap. Dia menyemangatiku, dan aku malas. Dia mencurahkan rela, dan aku bebas. Inikah diriku? Inikah ujian dari merantau? Lupa pulang memanglah tidak, tapi lupa arah amatlah mungkin.

Meskipun hari-hariku seperti kosong, tapi lamunanku selalu sibuk sendiri hingga terkadang meneteskan air mata. Selintas aku ingin pulang, selintas aku malu tak membawa apa-apa.

Untuk hari-hari ini, untukmu pembaca dan aku penulis, untuk yang senasib denganku. Mungkin ujian terberat dari merantau bukanlah beban mental dan sulitnya hidup, tapi ada pada menanggung harapan di pundak kita, sedangkan kita merasa bebas tanpa aturan dan hendak menjadi orang lain yang bukan dari kehendak diri sendiri. Waktu kita terbuang, umur kita bertambah, pertemuan dengan mereka berkurang, dan mereka menua. Seperti kutipan yang kudapatkan di Instagram, “Di masa ini, kita berjuang bukan untuk para pesaing kita, tapi kita berjuang untuk membahagiakan orangtua kita yang semakin menua dan butuh kehadiran kita.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Untuk Cianjur

Pemilu (dari mata orang sok tahu)

Manipulasi Angka (Mencari Esensi Ujian dan Meluruskan Keliru)