Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Banyak manusia modern yang lupa dari makna dewasa. Kita hanya tahu bahwa dewasa adalah beban, kecewa, rasa sakit dan luka, serta keterasingan yang seakan semakin umur bertambah kita kehilangan banyak cinta sekaligu menemukan cinta baru yang melupakan cinta lama. Dewasa dimaknai serampangan oleh sifat-sifat manusia yang sulit menerima kenyataan bahwa usia memaksa dia untuk dewasa. Usia yang bertambah dan sifat-sifat kanak-kanak yang kita masih bawa dan mengubah namanya menjadi dewasa.
Ingat-ingat,
apakah dewasa yang kita maknai itu benar-benar makna dari kedewasaan? Semasa
kecil kita mudah kecewa saat tak menerima apa yang dimiliki. Semasa kecil kita
sering menangis karena luka kecil dari duri di jalanan. Semasa kecil kita mudah
bersedih oleh cemoohan orang yang tak suka. Semasa kecil kita sering merasakan
beban atas saingan dari permainan yang tak seberapa.
Apakah itu
sifat dewasa? Sifat kanak dengan menghadapi objek yang berbeda saja. Kecewa tak
mendapatkan kuliah, menangis karena hidup yang keras, bersedih karena tekaan
sosial, terbebani oleh persaingan yang ketat.
Lantas apakah
pantas bahwa semakin dewasa semakin kecewa?
Haruskah merana
oleh kecewa?
Sebenarnya hal
terberat dari kedewasaan itu bukanlah rasa-rasa dalam hati, melainkan
harapan-harapan dari para sosok tercinta yang hendak melihat kita sesuai yang
mereka harapkan. Aku pergi jauh dengan segudang harapan orang yang
mengantarkanku di bandara, tapi sesaat setelah sampai di tanah orang, bintang
memanglah berada di ruang hampa. Aku khawatir tak mampu meniti apa yang mereka
harapkan. Namun kekhawatiran itu masih bisa dilawan dengan semangat dan melawan
malas.
Harapan para
sosok tercinta bukanlah menjadi sebuah kemunduran bagi kita dengan berkata,
“Ini bukanlah jalanku.” Sehingga berusaha keluar dari apa yang mereka coba
memberikan jalan terbaik untukmu. Kau merasa bahwa kau punya jalan terbaik, dan
menggadaikan kata cinta demi harapanmu yang entah baik atau buruk bagi mereka.
Mungkin saja,
mimpi kita baik bagi kita ke depannya, tapi janganlah kau memilih jalan memaksa
dengan melawan bahwa, “Aku harus berbeda dengan harapan mereka.” Lalu
bersenandung, “Aku tambah dewasa, aku takut kecewa, aku takut tak seindah yang
kukira.”
Kecewa di masa
dewasa adalah karena kau berusaha mengubah isi hatimu dengan mencari cara lain
sebagai pembenaran bahwa dirimu harus seperti dirimu dalam pandangan orang yang
kau lihat. “Aku ingin menjadi diri sendiri,” tapi nyatanya menjadi diri sendiri
dengan cara orang lain menjadi dirinya.
Jujur saja,
hidup merantai jauh bukanlah budayaku, tapi terpaksa demi melancarkan harapan
mereka. Namun pada nyatanya, aku ada di tempat jauh ini tak seindah dan selurus
yang kukira, aku pun tak mengecewakan mereka yang berharap. Tapi kecewaku
bukanlah untuk melawan dan mencari jalan lain, kecewaku karena aku takut tak
mampu namun aku tetap berusaha.
Entah bagaimana
dewasa disandingkan dengan kecewa dan luka, padahal sejak kecil pun kita
terbiasa untuk kecewa dan terluka. Dan mengapa kedua hal itu disebut
kedewasaan?
Padahal bila
kita melihat orangtua kita yang telah lebih dahulu merasakan hidup dan
gunjang-ganjingnya. Dewasa pun sudah melekat pada diri mereka. Apakah ditemukan
sifat-sifat mudah kecewa dan terluka? Mereka hidup seperti seorang pelaut yang
siap menghadapi ombak badai. Ayah kita mungkin pernah kecewa soal pekerjaan
tapi tetap saja dia menjalani hidupnya demi penghidupan. Ibu kita mungkin
pernah kecewa soal diri kita yang mengecewakannya, tapi dia tetap saja mengurus
kita. Keduanya tak menjadi putus asa dan mengurung di kamar.
Mereka mengolah
kecewa dan luka untuk menjadi semakin kuat menghadapi kerasnya hidup demi
kehidupan yang lebih baik.
Hidupmu tak
seburuk yang kau pikir dan sesal, ada banyak orang di luar sana yang lebih
buruk kehidupannya namun meraka tak berkicau selayaknya dirimu. Mereka tetap
menjalani saja.
Kita terlalu
banyak berpikir, memikirkan, dan takut dipikirkan. Kita terlalu overthingking,
insecure, anxiety. Apakah semua sifat itu muncul justru dari obatnya, dari
buku-buku self-improvement atau mental health dan lagu-lagu self-healing
yang katanya mewakili isi hati dan hidupmu serta mencarikan solusi untuk
kesembuhan mentalmu justru menjadi sebab munculnya jiwa yang lemah dalam
dirimu?
Sebuah fakta
tak terbantahkan bahwa usia akan terus bertambah sedangkan dewasa adalah
pilihan, dan jangan membawa sifat kanak-kanak itu dengan nama dewasa.
Dewasa dalam
perspektifku dari hasil melihat mereka yang sudah lama berjalan di muka bumi
adalah jalani saja apa yang terjadi dalam hidup ini, tak pedulikan orang yang
merendahkan karena ujung-ujungnya kita hidup sendiri-sendiri, tak perlu takut
kesepian karena sepi adalah hal yang terterhindarkan, sedihlah secukupnya dari
orang yang pergi karena setelah itu pasti ada pengganti. Dan intinya bahwa
dewasa adalah menjalani hidup dengan santai, yang penting kau selamat dalam
hidup ini hingga ajal menjemputmu dan kau pun tenang di sana dengan
pencapaianmu yang terbaik untuk Tuhan dan orang-orang di sekitarmu.
Adapun luka,
kecewa, dan khawatir hanyalah bagian dari rasa-rasa hati sebagai ekspresi yang
timbul dari kenyataan hidup yang kelak akan menjadi bagian episode hidupmu yang
mengagungkan.
Dewasa
memanglah berat, tapi tenggelam dengan berpikir cara sembuhkan mental hanyalah
beban yang kau ciptakan sendiri.
Sudahilah
senandungmu, “Tak perlu khawatir, ku hanya terluka. Terbiasa tuk pura-pura
tertawa.” Pura-pura bahagiamu itu justru membebani orang lain. Berdalih
berusaha bahagia demi menyembunyikan luka dalam atau demi masa penyembuhan
mental itu hanya menyusahkan orang-orang yang hendak melihatmu berjuang saja
dan bahagia yang tulus. Topeng bahagia tak tersembunyikan. Buka saja topeng itu
dan katakan pada mereka bahwa kau butuh pendamping untuk menyembuhkan mental.
Sudahilah
ucapmu, “Mereka tak paham aku.” Mereka bukanlah dirimu, bukan pula jiwamu.
Mereka tentu tak paham kau. Kaulah yang seharusnya mengerti itu. Sampai kapan
kau hendak menunggu mereka mengertimu.
Tak kuasa memaksa
Manusia tak mungkin pahami jiwa
Lupakanlah kaca
Dan pemandangan di depannya
Seringlah bercermin sebelum berkaca
Dan jangan paksa kaca menghadapmu
Menutupi apa yang dibaliknya
Manusia hanya memperbaikimu dari
zahirnya saja. Batinmu adalah dirimu yang perbaiki. Bawakan nasihat itu pada
batinmu dan munculkan rasa bersalah agar menerima apa yang dinasihatinya. Orang
yang merasa benar tak akan menerima nasihat. Dewasa adalah masa yang keras, dan
keras pula orangnya. Saat kita dewasa ini janganlah mengikuti sifat aslinya
yang menolak, namun lawanlah untuk terbuka dengan saran, hambatan, pukulan, dan
hinaan.
Komentar
Posting Komentar