Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Gambar
Diri kita terdiri dari dua hal yaitu jasad dan ruh. Jasad harus diberi gizi yang cukup untuk tumbuh kuat dan gizinya berbentuk materi seperti makanan dan minuman. Begitu juga dengan ruh yang membutuhkan asupan gizi, namun gizinya bukan berbentuk materi melainkan maknawi yaitu hidayah. Sebagaimana Allah memudahkan kita untuk mendapatkan asupan gizi materi bagi jasad kita, Allah juga telah memudahkan kita untuk mendapatkan hidayah itu sebagai asupan gizi maknawi bagi ruh kita, dengan cara diutusnya para rasul untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar dan juga diberikan pula pada manusia akal sehat agar mudah untuk meyakini apa yang dibawakan oleh para rasul. Para rasul diutus kepada kaum yang sudah mulai melenceng dari jalan yang benar, seperti kaum Nabi Nuh yang sejak 10 abad menyembah Allah lalu kemudian mereka berpaling menuju penyembahan patung akibat perilaku mereka yang berlebihan terhadap orang saleh, maka Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan mereka menuju penyem...

Perjalanan Awal

Haruskah pertemanan itu berhenti sesaat saja dan lenyap begitu saja? Tentu saja tidak. Jangan pernah. Empat bulan lalu, muncul sebuah wacana yang harap-harap menjadi sebuah rencana nyata dan jadi peristiwa untuk dikenang di masa datang. Semoga saja. Wacana ekslusif, sama halnya dengan aku, sang pembuat rencana. Aku adalah orang ekslusif bisa dibilang. Bukan tak mau berteman dengan banyak orang atau ingin ramai diajak melainkan aku lebih senang memilih siapa yang pantas kuajak agar hal-hal yang ku tak inginkan tak terjadi seperti larangan yang mungkin dilewati batasannya.

“San, mau gak ke Ujung Genteng? Ane yang bawa mobil.” Ihsan adalah orang pertama yang kuajak dalam wacana ini karena dia adalah orang paling dekat denganku.

“Gas.. ajakin yang lainnya..”

“Okelah.”

           Mulai sejak itu aku mulai mengajak kawan-kawan lain dan mulailah terkumpul orang-orang yang bisa disebut “sahabat dekat” untuk ikut dalam wacana ini. Mulailah penyusunan rencana untuk mematangkan wacana menjadi peristiwa. Mendadak tak akan menghasilkan kesempurnaan; itulah pelajaran dari pesantrenku yang senang dengan tahu bulat dadakan. Kubuat grup WhatsApp khusus dengan nama Rihlatun Nufus yang berarti “Perjalanan Jiwa-jiwa”. Maksudnya apa? Yakni bahwa sesaat acara kelulusan itu usai, kita semua berpisah dengan jalannya masing-masing, mencari arah, dan melanjutkan pendidikan dengan lingkungannya yang baru. Jiwa-jiwa kita tentu kehilangan, merasa hilang. Butuh waktu untuk diluangkan demi tercapainya sehat jiwa kembali setelah luka kehilangan. Destinasi ini sebagai sarana untuk mengumpulkan jiwa-jiwa yang sedang terluka oleh kehilangan dan memperjalankannya menuju kebersamaan yang dulu kita pernah bangun selagi masih belum jauh jarak masa dengan perpisahan itu.

           Ujung Genteng adalah sebuah destinasi wisata berupa pantai di ujung kota Sukabumi. Benar-benar di ujung daratan. Jaraknya lumayan jauh bila ditempuh dari kota Sukabumi pun butuh waktu sekitar 4 jam untuk sampai di sana, serta medan jalan yang lumayan lika-liku agak sedikit menguji nyali.

           Direncanakanlah dari hasil musyawarah bahwa rencana ini akan dilaksakan pada 26 April 2023, seminggu setelah lebaran. Namun sayang di perjalanan, ada kawan yang memundurkan diri karena beberapa alasan yang sedikit mengecewakan diriku tapi untungnya membuat kapasitas orang pas dengan jumlah kendaraan. Alfin dengan alasan dirinya takut kelelahan dan sedikit trauma akibat kecelakaan, Taqi dengan alasan uangnya habis dibelikan handphone baru seharga Rp. 5 jutaan, Iyas dengan alasan harus menemani adik yang sedang sakit, Husein dengan alasan yang kulupa apa itu, dan Fabian dengan alasan yang sama tak ingin disebutkan. Tersisa 8 orang yang benar-benar ikut dengan sebenarnya ada kekhawatiran mereka pun tak jadi dalam hatiku. Ditambah ada seorang kawan yang orangtuanya meragukan keahlianku dalam mengendarai mobil di medan lika-liku itu. Tak apa, namanya juga orangtua.

***

Pulang dari acara kelulusan itu membuatku lelah sangat hingga jatuh sakit, tiba di rumah langsung jatuh di atas sofa terbaring lemas. Badanku kurus sekali karena sakit yang membuat lidahku tak berasa ditambah dengan puasa Ramadhan semakin membuatku lemah. Wajar saja, malam sebelum acara, keningku sudah panas, tapi aku tetap memaksakan untuk latihan hingga larut malam dan tidur pun tak tenang karena gelisah tak dipahami. Kebiasaan anehku adalah saat ada sebuah event yang langka di esok hari akan membuatku gelisah hingga tak bisa tidur di malam harinya.

           Ibuku menyiapkan obat di dapur dengan penuh kasih sayang dari kaca mata hatiku melihatnya karena sudah lama aku tak menerima perhatian seperti seorang anak, bukan karena masalah, melainkan karena aku yang jarang di rumah ditambah aku ini jarang sakit. Aku merasa hati yang tenang melihat ibuku datang menuju padaku dengan membawa obat, sebuah suasana yang dirindukan, entah kapan terakhir kali aku disuapi obat dari tangan ibuku langsung. Meskipun aku sudah setengah dewasa, umurku sudah belasan, tapi menjadi kekanak-kanakan di depan ibu bukanlah ciri-ciri manja, tapi kasih sayang. Ibu akan tetap memandangku sebagai anak kecil yang butuh perhatian. Waktuku di rumah tinggal satu bulan, lama tak jumpa dan sebentar lagi akan pergi untuk jauh jarak dan masa. Jadi, obat yang kuminum ini seperti bentuk kasih sayang ibuku yang terakhir sebelum aku pergi jauh dan benar-benar berbeda.

           Setelah minum obat, ibuku mengucap, “Kaka kelelahan, kemarin kan kaka maksain jadi gak kerasa sakit, sekarang setelah semua beres baru kerasa sakitnya. Istirahat aja.”

“Iya umi. Kaka maksain itu karena biasanya kalau sakit paling cuman sehari, tidur bentar juga badan udah vit lagi. Tapi kalau sekarang mah emang lagi lemah aja.”

           Sesudah sholat Isya, aku langsung tidur dengan pulasnya walaupun adiku sebenarnya ingin mengajakku main, tapi sudah benar-benar lelah dan lemah jadi kuabaikan saja. “Besok ya main nya, ya Gamila.” Aku tidur di depan televisi, tempat favoritku. Aku lebih suka tidur di sofa depan televisi dibandingkan di kamar sendiri.

           Bayang-bayang masa lalu itu masih berkeliaran di pikiranku. Bahkan mimpiku pun masih bertempat di pesantren.Wajar saja, belum bulat sehari meninggalkan semua cerita itu. Tapi banyak hal yang benar-benar berubah sekarang, umurku terus bertambah dengan kata lain umur kedua orangtuaku pun semakin tua, sedangkan aku jarang di rumah dan mereka tentu berharap aku selalu ada di sampingnya, maka dari itu aku pun selalu berkeinginan untuk menjadikan waktu satu bulan ini menjadi satu bulan yang ceritanya mampu menghasilkan sebuah lembaran yang bila dicetak seluruhnya mungkin dapat menjadi sebuah buku. Tapi ku tak sanggup menceritakan semuanya karena ada saja hari kosong yang sama sekali datar untuk dituliskan, mungkin akan seperti garis tipis saat bosan harus menulis bentuk huruf apa di belakang buku tulis. Banyak rencana yang akan kuhabiskan di bulan ini. Pernah ada sebuah pikiran untuk menjadi anak yang durhaka saja, bukan ingin berbuat dosa besar, tapi aku ingin agar kupergi nanti kedua orangtuaku tak begitu sedih dan terluka dengan kepergianku, seperti “Pergi saja, daripada jadi beban di rumah.” Tapi ku tak mampu untuk berbuat buruk kepada mereka, tapi tak tega pula meninggalkan mereka. Dasar anak rumah. Hal lazim bagi orang Cianjur adalah tak sanggup merantau. Tetap saja aku menjadi penyejuk mata mereka meskipun di beberapa kesempatan aku pun terkadang membuat mereka kecewa. Aku ingat pesan Alfin, ketua angkatanku, ketika sambutan di atas panggung di hadapan para orangtua santri, “Terimalah kami, sebagai anak-anak kalian, untuk kembali ke pangkuan kalian, untuk mengabdi pada kalian yang sebelumnya kami absen dari tugas tersebut.” Aku pulang adalah untuk mengabdi pada mereka yang sudah banyak absen dalam membantu mereka.

***

Pukul 4 dini hari, aku terbangun oleh suara sayup-sayup lembut yang berkata, “Ka, bangun.. sahur.. kaka masih sakit? Mau puasa gak?” Aku membuka mataku dan kulihat di hadapanku ada ibuku. Dengan suara lemas baru bangun tidur dan badan yang masih mengumpulkan nyawa aku membalas, “Puasa Umi, udah agak mendingan sekarang, gak panas lagi tapi masih flu sama pusing, tapi kaka kuat kok puasa juga.” Beranjak menuju wastafel untuk membasuh muka yang lesuh dan mata yang masih dipenuhi belek. Air dingin membersihkan wajahku, kini terasa lebih segar. Kantuk pun belum hilang sepenuhnya. Aku jalan tertatih-tatih menuju meja makan dan sudah ada ayah dan ibu duduk di sana. Di atas meja sudah tersedia beberapa lauk dan hal pasti setiap pagi adalah tersedianya minuman lemon madu hangat atau jahe hangat yang menjadi pembuka bagi setiap pagi di rumah ini. Aku memulai dengan meminum lemon madu hangat itu dalam sebuah cangkir berwarna putih.

           Ghiyas, adikku, dia masih terlelap tidur di dalam kamarnya yang terkunci rapat. Fenomena yang membuat ibuku sedikit kesal. Ibuku berteriak, “Teteh.. bangun..” setiap pagi. Terkadang ku terbawa emosi. Setelah beberapa saat, akhirnya dia pun keluar dengan wajah malas dan kembali terbaring di sofa, tempatku biasa rebahan di sana. “Teteh.. ayo makan sahur.. udah jam 4.15, bentar lagi imsak.” Ibuku kembali mengoceh dan adikku hanya membalas, “Iya.”

           Rumahku masih gelap separuhnya, hanya bagian dapur yang menyala dengan lampu warna oranye. Tak ada suara televisi di sahur kami. Sejak mungkin umurku 10 tahun, kami bersepakat untuk berhenti menikmati acara televisi di waktu sahur karena memang banyak acara yang tak berguna dan menghilangkan berkah sahur itu walaupun acaranya berjudul “Sahur Berkah”. Pada awalnya memang sahur kami terasa sunyi yang sebelumnya televisi adalah media yang memecahkan kesunyian dan membangkitkan semangat untuk bangun sahur, namun lama-kelamaan kami pun terbiasa dan sudah nyaman sahur dalam sunyi tanpa suara tawa yang dibuat-buat di televisi. Ayahku mulai membuka suara, “Kaka, tanggal 25 Mei ini kita berangkat ya. Awalnya kan mau 20 Mei, tapi biar agak lama di rumah jadi abi akhirkan saja.” Meja makan adalah tempat berdiskusi bahkan debat antara aku dengan ayahku. Tapi kali ini ayahku hanya menginformasikan saja dan aku hanya menjawab dengan anggukan kepala. Aku yang masih kurang sehat ini makan hidangan sahur menjadi kurang berselera sehingga aku lebih memilih untuk minum banyak air dan susu saja, kebiasaan di pesantren kalau puasa aku lebih senang sahur dengan segelas air tanpa makan apapun, rasanya saat berbuka aku bisa memasukkan apapun tak khawatir kekenyangan. Adzan subuh berkumandang dan aku memilih sholat subuh di rumah saja, “Abi, kaka sholatnya di rumah aja ya.” Dan setelah itu pun aku kembali tidur harap-harap setelahnya badanku membaik.

***

Sekitar bulan Agustus 2022, aku mendapatkan link di grup WhatsApp yang angkatanku buat untuk sharing berita tentang sekolah di Timur Tengah. Link itu adalah link pendaftaran untuk mahasiswa baru di Mesir, dibagikan oleh Ust. Irwansyah kala itu. Tak seorang pun tertarik untuk mendaftar, entah mengapa? Mungkin image Mesir yang kurang berkesan dan tak menarik menurut pandangan mereka. Aku yang sedang mencari jenjang pendidikan selanjutnya tak peduli, asal daftar saja, dan ternyata ada satu kawanku yang tak sengaja mendaftar pula. Pendaftaran kami melalui jalur Kemenag yang mengamanahkan seleksi bahasa Arab oleh Pusiba. Kami mulai mendaftar dengan memberikan berkas-berkas yang harus dilampirkan, kemudian membayar uang pendaftaran sebesar Rp. 400.000,00. Setelah melalui tahap pemberkasan ini, akhirnya kami dimasukkan ke grup WhatsApp untuk kegiatan ujian seleksi pada bulan September.

           Hari demi hari, akhirnya waktu ujian itu tiba. Pertama yang diujikan adalah tes bahasa Arab dengan metode tulisan. Materi yang diujikan cukup mudah bagi seorang pemula sekalipun, apalagi bagiku yang sudah banyak mendapatkan ilmu bahasa Arab di pesantren. Saat itu aku sedang berada di kantor pendidikan, seperti biasa aku adalah orang yang selalu stand-by di kantor walaupun di sana tak ada kerjaan bahkan hanya numpang tidur sekalipun. Karena aku membutuhkan tempat yang sunyi, akhirnya aku pun izin untuk meninggalkan kantor dan pergi menuju asrama, mumpung tidak ada santri di sana. Aku memilih lantai paling atas agar mendapatkan sinyal terbaik, karena hal maklum bahwa di pesantrenku sinyal begitu sulit, ada mitos mengatakan bahwa sinyalnya disedot oleh antena penangkap sinyal milik kantor administrasi. Entahlah. Tapi nyatanya saat keluar saja sedikit dari gerbang, sinyal kembali bagus. Ada hal mistis apa ini. Kurasa kamar paling atas juga sepi, namun ternyata ada juga dua kawanku yang sedang bermalas-malasan sambil menikmati sinyal yang bagus di lantai atas.

“Eh, Gip, ngapain?” Tanya Azizi.

“Mau ujian, pengen cari yang sepi.” Jawabku.

“Ujian apa Gip?” Tanya Fajar.

“Ujian buat kuliah di Mesir.”

           Mereka sedikit heran karena biasanya aku tak pernah pulang ke kamar sebelum waktu dzuhur. Aku memilih pojokan kamar yang adem sambil rebahan di atas kasur santri yang sudah dirapihkan. Demi kenyamanan dalam ujian. Waktu yang diberikan untuk ujian sekitar satu jam saja, tapi aku mampu menyelesaikannya dalam waktu kurang dari 30 menit, karena memang mudah saja, contohnya seperti perubahan fi’il bila digabung dengan dhomir ini, atau isi titik yang kosong di kalimat tersebut. Mudah saja. Yang agak sulit memang adalah ilmu Balaghah, dari dulu aku sangat lemah dalam ilmu ini, padahal tak disuruh membuat syair, cuman menentukan kalimat ini disebut apa. Tapi karena ilmu ini sedikitnya kurang aku sukai sehingga ilmu ini cepat sekali hilangnya ditambah pengajarnya waktu itu mengajar ala kadarnya saja. Bukan merendahkan guru, tapi kenyataannya begitu.

           Tombol “Selesai” diklik dan muncul pengumuman bahwa tes wawancara bahasa Arab akan diselenggarakan tiga hari mendatang. Kukira akan sesulit apa ujian ini sehingga aku butuh tempat untuk sembunyi dari keramaian, eh ternyata soalannya mudah sekali dijawab bahkan di tengah kerumunan sekalipun. Canda.

           Tiga hari berselang, ujian wawancara itu pun tiba. Aku yang sudah deg-degan dari pagi menunggu lama. Diinfokan bahwa ujian dilaksanakan pada jam 10 pagi, tapi ternyata hingga jam segitu pun namaku belum dipanggil. Wajar saja, yang ujian pun banyak sekali. Ujian lisan atau wawancara adalah momok mengerikan bagiku karena teori bahasa Arabku sebenarnya sudah cukup baik tapi praktiknya masih jauh dari kata “bisa”. Jadi aku persiapkan mental dan belajar praktik mandiri. Jantungku diuji, aku menunggu lama dengan handphoneku tapi namaku belum juga dipanggil.

           Setelah dzuhur, di aula Fahad dilaksanakan acara dan kami sebagai khidmah diharuskan menjadi panitia. Di grup WhatsApp kami dipanggil, “Diharap kepada seluruh khidmah bagian pendidikan untuk merapat ke aula Fahad.” Mau gak mau, kami terima panggilan itu. Setelah sholat, kami bergegas langsung menuju aula, seperti biasanya kalau disuruh untuk datang ke aula pastinya pekerjaan utamanya adalah mengangkat kursi dan meja untuk disusun untuk acara. Mengapa tidak dari sebelumnya? Seperti biasa pesantrenku suka tahu bulat. Dan setelah rapih pun seisi aula, kami tetap diharuskan stand-by di sana untuk menghadapi suruhan mendadak atau sama sekali tak ada kerjaan. Aku sibuk mengobrol dengan kawan-kawan di luar aula hingga lupa bahwa jam sudah menunjukkan jam 2 siang. Aku baru sadar bahwa hari ini aku masih ujian. Aku membuka handphoneku dan kulihat di grup itu namaku sudah dipanggil tiga kali. Aku panik karena takut didiskualifikasi. Aku berlari menuju kantor, harap-harap mendapatkan wifi gratis menggunakan akun temanku, namun ternyata sudah dia pakai terlebih dahulu. Aku pun lari naik menuju lantai dua kelas karena di sana sinyal lumayan bagus. Dan akhirnya aku pun berhasil masuk ke Zoom setelah bilang di grup, “Ana hadhir ya ustadz.”

           Saat masuk, aku terkaget-kaget. Dalam bayanganku penguji yang akan menguji tes ini adalah seorang syaikh berjanggut tebal, menggunakan imamah berwarna merah-putih kotak-kotak, dan menggunakan gamis sedang duduk di kantor yang rapih, tapi ternyata pengujinya adalah seorang kakek berwajah Mesir yang mungkin berusia 65 tahun, aku hanya menerka saja, menggunakan kaos duduk di rumah jadul dengan jendela kayu yang terbuka dan kipas angin setengah rusak yang menyala tersendat-sendat. Aku pertama-tama mengucapkan salam dan meminta maaf kalau aku terlambat, “Maaf ya syaikh, tadi ana ketidur terus sinyalnya juga sedikit jelek jadi tadi ana cari tempat dulu yang bagus sinyalnya.” Setelah itu beliau mengucapkan, “Tak apa, sekarang perkenalkan dirimu.”

Aku jawab singkat saja, “Namaku Ghiffari Taufani, asal dari kota Cianjur, Indonesia. Aku lahir pada tanggal 16 Desember 2003 di kota itu, tempat kulahir dan tinggal hingga kini.”

“Baik. Sekarang apa hobimu?”

“Hobiku menulis dan bermain ping-pong.”

“Apa yang kamu tulis?”

“Biasanya Aku menulis quotes singkat tentang motivasi hidup.”

“Coba sebutkan quotes yang kamu tulis?”

“Eh, maaf ya syaikh, Aku menulis quotes itu dengan bahasa Indonesia, dirasa sulit kalau harus diterjemahkan ke bahasa Arab.”

“Thayyib. Coba bacakan satu ayat dalam Al-Quran.”

Aku pun membacakan awal surat Al-Kahfi dan belum selesai ayat kedua beliau sudah bilang, “Cukup. Sekarang bacakan satu hadist Nabi ?”

Aku pun membacakan hadits tentang niat yang hampir semua orang tahu tentang hadist ini dan seperti biasa sebelum selesai aku membaca, beliau sudah berkata, “Cukup. Coba jelaskan kondisi negaramu?”

“Negaraku adalah negara yang terdiri dari banyak pulau, agama, suku, budaya, dan bahasa. Di sini pula banyak sekali gunung-gunung dan hutan-hutan lebat. Indonesia juga terkenal sebagai negara dengan mayoritas muslim terbanyak. Mungkin demikian ya syaikh.”

“Baik. Mengapa kamu memilih Al-Azhar?”

“Sebagaimana kita ketahui bahwa Al-Azhar adalah pusat keilmuan Islam dan terkenal dengan banyaknya ulama yang mengajar di sana. Lulusan dari sana pun sudah banyak yang menjadi orang besar. Dan aku memilih Al-Azhar adalah untuk mencari ilmu agama lalu kemudian aku sebarkan di masyarakat terutama melalui tulisan yang mana itu adalah hobiku.”

“Baik ya Ghiffari. Sudah selesai ujiannya. Semoga Allah memberkahimu. Silahkan keluar dari Zoom.” Akhir kata syaikh ucapkan.

Aku ragu untuk keluar karena penutupannya suara syaikh kurang jelas, jadi aku masih ada di dalam Zoom sambil sedikit mendengarkan peserta berikutnya. Dan tak sengaja aku membuka suara dan terdengar oleh syaikh, “Ada apa ya Ghiffari? Ada pertanyaan?”

“Eh, enggak ya syaikh. Bolehkah ana keluar dari Zoom?”

“Silahkan.”

“Oh, baik ya syaikh. Assalamualaikum.”

           Tombol bergambar telepon berwarna merah itu pun aku klik dan keluarlah aku dari ujain yang selama itu aku khawatirkan. Ternyata tak semengerikan yang kukira. Aku selama ini sering sekali overthinking terhadap sesuatu dan setelah dilalui nyatanya tak begitu sulit. Walaupun dalam ujian tadi aku tergagap-gagap dalam berbicara tapi overall aku bisa dibilang berhasil mengalahkan momok menakutkan itu.

           Diumumkan bahwa minggu depan diadakan ujian kebangsaan sebagai tahap terakhir dari ujian yang diadakan oleh Kemenag ini. Dalam sangkaku bahwa ujian kebangsaan itu membahas seputar PKN, Pancasila, UDD, dan semisalnya, sehingga waktu itu aku menemukan kisi-kisi dari Instagram apa-apa saja yang harus dihafalkan. Aku menghafal beberapa hal seperti makna-makna setiap gambar yang melambangkan Pancasila dan pelajaran-pelajaran yang dapat diambil dari situ untuk diterapkan dalam kehidupan. Sebagai negara Pancasila, tanpa mengenal poin-poin itu pun negara kita sudah berbudaya Pancasila; rukun beragama, adil, saling menghargai pendapat, dan banyak hal positif yang warga kita punya. Justru mereka yang “paling paham Pancasila” justru banyak yang melanggar hikmah di balik lambang garuda itu. Bayangkan saja, di gedung yang terpampang jelas garuda besar menempel di langit-langit mereka, mereka justru tertidur pulas di atas kursi manis jabatannya dengan uang yang terus mengalir tanpa jerih payah bahkan meminta lebih untuk memperkaya kerakusan mereka dengan gelar di dada mereka sebagai perwakilan rakyat. Atau para manusia bersorban putih yang justru lebih senang mencela pemimpin dan agama tetangga dibandingkan mengajak masyarakat untuk kembali pada Al-Quran dan Sunnah, mereka berkoar-koar dengan mulut berbusa untuk mengajak orang-orang awam turun ke jalan menyeruakan keadilan yang mana mereka pun tak pernah mendoakan pemimpin mereka untuk berbuat adil, mereka hanya mendoakannya agar segera makzul dari kursinya. Padahal hati ada di tangan Allah, dan bila kita mendoakan pemimpin agar berbuat adil, Insya Allah, Allah akan menjadikan dia orang yang adil. Tapi sayang di negeri ini para dai yang menyeru pada taat pemimpin malah disebut penjilat penguasa. Pancasila itu mengakar sudah dalam budaya kita, tapi ada orang-orang yang mengaku paling toleransi, paling agamis, paling kritikus, dan paling NKRI yang justru menggiring opini masyarakat untuk berpecah-belah. Tanpa pemaksaan ideologi Pancasila sekalipun, Islam sudah mengajarkan seluruh yang terkandung dalam Pancasila. Bukannya aku merengsek masuk ke ranah politik, cuman sedikit menyenggol orang-orang yang ingin kukomentari meskipun sebenarnya aku pun belum begitu paham dunia seperti itu, dunia yang mudah sekali untuk merakyatkan kehidupan rakyat yang susah sekali. Mengemis suara dengan tangan di atas yang disalami orang-orang tangan memangkuk meminta hak-hak mereka.

***

Seminggu mendatang datang juga dan aku masih berada di keadaan yang sama, duduk di pojokan kantor, meja disekat yang ada di dekat jendela ujung, tempatku tidur dan menulis. Dan ya, hari ini adalah saatnya ujian kebangsaan. Aku meremehkan ujian ini karena ujian ini menggunakan bahasa Indonesia, bukanlah hal yang sulit, ditambah aku pun sudah sedikit menghafal kisi-kisi itu. Ujian diselenggarakan pukul 10 pagi dan benar-benar jam segitu tanpa menunggu lama seperti ujian sebelumnya. Aku masuk ke dalam Zoom dan di ruang tunggu dengan seorang host yang akan memasukkan satu persatu ke dalam ruang ujian. Host itu seorang bapak muda tinggi kurus dengan menggunakan jas hitam, dia akhirnya memanggilku, “Peserta dengan nama Ghiffari silahkan masuk ke ruang ujian.” Muncul sebuah tombol bertuliskan “gabung” kemudian diklik dan beralihlah layar menjadi seorang ibu separuh tua dengan kerudung merah dan backgroundnya pun dipenuhi warna merah dengan tulisan-tulisan yang aku lupa apa itu. Aku menyapa ibu itu dengan salam dan tanpa basa-basi dia langsung memulai ujian tersebut,

“Waalaikumsalam. Dengan Ghiffari betul?”

“Iya betul.”

“Ok langsung saja ya ke pertanyaan. Ada dua pertanyaan saja dan kamu harus menjawab dengan singkat padat saja tanpa bertele-tele, baik?”

“Baik.” Aku berpikir bahwa pertanyaannya akan seperti apa yang telah aku hafalkan.

“Pertanyaan pertama, bagaimana pendapatmu bila di sebuah kampung ada seorang muslim yang ingin membangun masjid lalu datanglah seorang nasrani yang ingin ikut menyumbang dalam pembangunan masjid tersebut.. berikan pendapatmu!”

Haduh, pertanyaannya di luar ekspektasiku. Aku kira hanya disuruh menyebutkan saja, ternyata pertanyaannya menjebak sekali, dia berusaha menguji ideologi yang aku pahami. Dia ingin tahu apa ideologiku. Dengan agak gugup karena kaget dan harus berpikir keras ketika disuruh beropini semendadak itu, “Ya jadi menurutku bahwa sah-sah saja seorang non-muslim membantu saudara sebangsanya yang muslim dalam membangun masjid karena mungkin dalam agamanya tak ada larangan dalam membantu saudara sebangsanya untuk membangun rumah ibadah. Selama tak ada larangan di dalam agamanya, maka sah-sah saja.”

“Baik, jadi menurut kamu tak ada masalah ya. Ok. Sekarang pertanyaan kedua, bagaimana menurutmu kalau Indonesia menjadi negara dengan sistem kekhilafahan!”

           Asik juga ya pertanyaannya, memang menguji. “Ya jadi menurutku bahwa sistem kekhilafahan tidaklah sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia, karena Indonesia tak memiliki riwayat kekhilafahan seperti halnya negeri-negeri Arab. Kita dahulu hanya memiliki riwayat kerajaan dan kesultanan saja. Kalau di Timur Tengah sana mungkin saja sistem ini dapat diterapkan, akan tetapi di negeri kita sistem ini tak sesuai dengan keberagamaan masyarakat kita.”

“Ok, bagus. Ujian selesai, silahkan meninggalkan ruang ujian.”

           Klik ikon telepon merah itu dan keluarlah. Pertanyaan luar biasa. Terlihat sekali mereka sangat mengedepankan toleransi yang mereka sebut wasathiyyah dan anti-khilafah. Apakah aku berpura-pura? Tentu tidak. Aku memang tidak mendukung khilafah karena dalam sejarah sekalipun khilafah yang lurus hanyalah Khulafa Ar-Rasyidin, sedangkan sisanya hanya beberapa raja yang benar-benar lurus memimpin, kehkilafahan setelah 4 sahabat mulia itu beberbentuk kerajaan monarki, maka sebenarnya sama saja dengan sistem kerajaan yang ada di Indonesia dahulu. Tapi kekhilafahan yang ada dalam pikiran mereka yang memperjuangkannya adalah pemimpin yang menegakkan Islam secara kaffah. Sebuah niat yang mulia, tapi hal yang rancu dari mereka adalah mereka berteriak khilafah tapi mereka belum menentukan siapa yang akan menjadi khilafah itu saat mereka berhasil mencapai kursi kekuasaan, atau jikalau mereka mampu menegakkan benar-benar syariat Islam, yakinkah mereka mampu menerima seluruhnya karena sepertinya mereka pun akan tak sanggup dengan syariat Islam yang diterapkan yang mana mereka selama ini menjalani hidup dengan kebebasan dan berislam dengen pengetahuan yang seadanya. Contohnya saja bila had zina ditegakkan, akankah semua menerima di zaman yang mana zina sudah menjadi trend dan sulit sekali menghindari perbuatan tersebut karena banyak sekali dorongan untuk mendekati perbuatan keji tersebut, aku yakin pasti tetap saja di antara para pendukung gerakang ini ada yang menolak untuk dirajam ataupun dicambuk. Tak salah sebenarnya dengan niat baik mereka, tapi jangan terus-menerus meneriakkan tegaknya syariat tapi syariat yang sesungguhnya pun baru sedikit yang dipelajari. Kemuliaan agama ini akan kembali saat para pemeluknya kembali ke sumber agama ini yaitu Al-Quran dan Sunnah.

           Dan toleransi beragama yang diagungkan mereka terkadang salah paham. Toleransi adalah dengan tidak mencampurbaur urusan antara agama, cukup menghormati dengan tidak mengganggu peribadatan mereka dan menjaga kerukunan, selesai. Cuman ada saja yang merumitkan toleransi dengan banyak logika yang membingungkan yang sebenarnya merujuk untuk melebur agama menjadi satu. Toleransi harus diagunggukan, tapi bukan disalahgunakan. Yang amat disayangkan di negeri ini adalah bahwa intoleransi hanya ada pada Islam, padahal sifat seperti itu ada di seluruh agama, hanya saja Islam sebagai mayoritas di negeri ini terkesan berkuasa dan bila ada yang intoleransi maka dipukul rata bahwa umat Islam itu tidak rukun beragama. Hanya segelintir orang saja yang terkadang merasa paling benar dengan ilmu agama yang dangkal berusaha melarang agama lain yang tak bersalah apapun. Dan bila merujuk pada inti dari agama ini maka akan didapati bahwa Islam adalah agama yang toleransi, tanpa berlebihan. Masalah pengkafiran adalah untuk sesama muslim untuk menghindari sifat-sifat kekufuran dan murtad dari agama, bukan untuk mencap kening orang non-muslim. Memang mereka dalam agama kita adalah kafir, tapi istilah itu bukan untuk merendahkan agama lain.

           Aku beranjak dari kursi pojok itu, berjalan ke luar kantor dan duduk di teras depan. Aku menelpon ayahku bahwa aku telah selesai ujian Kebangsaan. Diangkatlah telpon itu dan aku ceritakan semuanya. Ayahku berkata, “Jawaban yang benar dan itu yang mereka inginkan.”

***

           Beberapa minggu kemudian namaku terdaftar sebagai calon mahasiswa Mesir, tinggal langkah terakhir yaitu pemberkasaan dan bayar biaya sebesar Rp. 4 jutaan. Ayahku sempat ragu dengan hasil ini karena nyatanya aku ikut semua ujian ini karena iseng saja tanpa niatan sama sekali. Temanku yang satunya lagi, Remo, tidak jadi mengambil kesempatan ini. Tapi aku lebih memilih untuk berpikir panjang, bila aku nanti harus menunggu lama lagi untuk belajar karena tak dapat pilihan yang sesungguhnya, maka inilah alternatifnya.

           Ayahku dan keluarga datang ke pesantren untuk menjengukku sekaligus membawa berkar-berkas yang sudah tersusun rapih di dalam amplop coklat untuk bermusyawarah mengenai hal ini. Sebelumnya, aku dan Taqi yang sempat mendapatkan kesempatan kuliah di Tunisia datang ke mudir untuk bertanya dan minta nasihat, hasilnya adalah Tunisia gugur dari tangan Taqi karena pertimbangan masalah akidah dan pergaulan, ayahnya sempat kecewa tapi lama-kelamaan beliau mengerti setelah melihat kenyataan dunia di sana, sedangkan hasilnya bagiku tetap saja akan dilanjutkan. Isi dari nasihatnya adalah untuk mewanti-wanti terjadinya penyelewengan dari akidah yang sudah ditanam selama di pesantren dan pergaulan yang tentu akan berbeda dan memilki resiko terbawa arus yang tinggi.

           Ayahku datang menghampiri kantor Ust. Irwansyah untuk konsultasi dan hasilnya beliau berkata bahwa dirinya sangat senang dengan berita tersebut dan sangat mendukung untuk terus melanjutkan pendidikan, karena kesempatan tak mungkin dilepaskan, bila niatnya belajar, di mana pun kita berada, Insya Allah, akan baik pada ujungnya. Akhirnya ayahku sepakat untuk mengirimkan berkas-berkas ini dan membayar biaya tersebut. Semuanya deal.

***

Bulan Febuari, malam Ahad pukul 23. Aku sedang bergadang di kamarku bersama Alfin untuk menonton film bersama sebagai rutinitas malam-mingguan. Wifi yang tak kunjung tersambung mencegah kami untuk streaming ditambah tak ada film ofline pula. Padahal dijadwalkan nonton sehabis Isya sekitar pukul 20, mumpung para santri tak ada di kamar karena mereka disibukkan dengan bukan kesibukan, disuruh diam di masjid saja hingga pukul 21.

“Fin, gimana nih? Gak nyambung-nyambung.”

“Ya gimana lagi, udahlah kapan-kapan lagi.”

           Akhirnya kami tak jadi nonton bareng dan kembali pada personalnya masing-masing yaitu sibuk dengan handphonenya masing-masing. Aku pun mengambil handphoneku di atas kasur dan membuka WhatsApp, didapati ada pesan dari Adam, kawan lamaku yang sudah berangkat ke Mesir sejak Januari. “Gip, visa ente udah keluar kan?”

“Emang iya?!”

“Iya. Tadi ane ngecek nama-nama visa yang udah keluar buat nyari temen ane, eh pas lihat nama di bawahnya kayak kenal, ternyata nama ente Gip.” Terus Adam mengirimkan screenshot daftar nama-nama yang visanya sudah keluar. Sebenarnya aku merasa kaget sekali dan bingung, pikiranku terbang mencari rasa bagaimana rasanya pergi ke luar negeri.. Sebelumnya aku sama sekali tak berpikir bahwa hasil dari ujian kemarin benar-benar akan ada. Aku tak berpikir kalau aku benar-benar akan pergi ke sana, bahkan aku pun tak tahu visaku telah keluar. Andai Adam tak memberitahuku mungkin aku tak akan pernah tahu bahwa visaku telah keluar dan pasporku tak akan pernah kembali. Aku langsung menghubungi ayahku yang mungkin sudah terlelap tidur tapi aku tak peduli, aku langsung mengirim pesan, “Abi, visa kaka sudah keluar, harus diambil ke Pusiba nya di bekasi.”

           Aku menunjukkan reaksi sedikit khawatir, “Fin, visa ane udah keluar. Diambil gak ya?”

“Ambil aja. Itu udah takdir ente. Nanti di sana ente bakalan banyak dapetin cerita, kan ente suka sejarah.” Memberikan energi positif untuk optimis.

           Tiba-tiba Taqi datang ke kamarku untuk minta air, dan aku pun tak lupa mengabarkannya, “Taq, ane jadi ke Mesir!”

“Yang bener?!” Dengan ekspresi wajah yang agak kaget, dia langsung merebut handphone dariku untuk melihat bukti bahwa visaku telah keluar. Dia melanjutkan komentarnya, “Asik, jadi nih berangkat.. ente kayaknya jadi orang pertama di angkatan yang pergi ke luar negeri.”

“Tapi ngeri dah taq..”

“Santai aja, Insya Allah yang terbaik.”

           Keesokan harinya, ayahku mengirim pesan, “Iya. Tapi emangnya harus berangkat ke sana atau bisa dikirimkan saja?”

           Aku menjawab, “Bisa saja dikirimkan, tapi lebih baik datang ke sana langsung buat nanya-nanya beberapa hal.” Kemudian aku mengirim PDF yang berisikan informasi bahwa bagi peserta yang visanya sudah keluar Jumat kemarin harus segera dibawa maksimal seminggu setelahnya. “Abi kosongnya kapan buat nganter kaka ke sana?”

           Ayahku pun langsung mengajakku video call dan kuangkat. Setelah salam, ayahku bilang, “Ambil aja visa itu, kesempatan buat pengalaman di Mesir, walaupun tujuan tetap ingin kuliah di Saudi. Seperti rencana awalkan waktu itu abi bilang kalau kaka harus ke Mesir dulu baru pindah ke Saudi supaya punya pengalaman dua negara. Abi kosong hari senin, Insya Allah, bisa nganter kaka ke sana.”

“Ustadz, bolehkah ana izin untuk mengambil visa ke Bekasi hari senin?” Aku langsung saja bertanya pada atasanku di bagian Pendidikan, Ust. Irwansyah, karena semua izin ada di tangannya. Aku sebenarnya tak berani izin empat mata langsung dengan beliau, oleh karena itu aku lebih memilih izin melalui chat saja. Beliau punya wibawa yang tinggi, jadi entah mengapa di dekatnya aku tak bisa berkutik apapun, padahal beliau orangnya hangat dan friendly.

“Visa apa?”

“Visa Mesir.”

“Oh, boleh. Antum ke sama sama siapa?”

“Ayah ana datang hari Senin buat jemput ana ke sana.”

“Ok. Ustadz izinkan.”

“Syukron.”

***

           Hari senin pagi, aku mondar-mandir di kamarku menunggu ayahku yang entah kapan akan datang. Beliau bilangnya akan berangkat sehabis subuh, tapi sekarang sudah pukul 8 pagi belum datang pula. Tak lama kemudian handphoneku berdering, ayahku menelpon, “Abi udah di depan asrama.”

Aku berjalan menuju balkon dan melirik ke bawah, ada mobil Xpander putih yang baru saja datang, “Ya, kaka ke bawah sekarang.”

Bergegas menuruni tangga. Kusapa ayahku dengan salam dan jabat tangan, “Tunggu Abi, kaka izin dulu.”

“Iya silahkan.”

Aku berusaha mencari Ust. Irwansyah walaupun sebenarnya sudah izin lewat WhatsApp tapi adabnya lebih baik menghampiri dulu terlebih dahulu. Aku bertanya ke salah satu kawan dan dia bilang kalau beliau ada di kantor, aku pun jalan menuju kantornya tapi belum sampai di sana sudah terlihat beliau sedang mengajar di kelas ternyata. Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Akhirnya aku langsung saja berangkat tanpa pamit terlebih dahulu.

Perjalanan yang agak sedikit memutar karena berangkat lewat jalur Sukabumi jadi cukup menguras waktu, apalagi ditambah dengan macet di daerah Cibadak, sama saja sebenarnya dengan jalur Puncak, tak dapat diprediksi kelancaran lalu lintasnya. Banyak hal yang dibicarakan selama di dalam mobil, budaya lumrah antara aku dan ayahku adalah berdiskusi banyak hal, mulai dari masalah politik, ekonomi, masa depan, dan banyak lagi. Medan diskusi bahkan sampai debat dengan ayahku adalah mobil dan meja makan, jadi bukan masalah, tapi saling argumentasi adalah cara untuk terbiasa membicarakan hal-hal yang berguna, bukan receh-receh yang tak ada faedahnya. Saking sibuknya mengobrol sampai salah jalan ketika masuk tol, yang seharusnya masuk ke lajur kiri, malahan lurus hingga masuk ke arah TMII. Ya jadi kami harus berputar-putar, masuk ke kota Jakarta keluar di perkampungan Bekasi. Kami jalan terus hingga sekitaran jalan berubah menjadi pesawahan. Kami ragu, “Benarkah ini jalannya?” Tapi Google Maps memang menunjukkan ke arah sini, dan akhirnya kami menemukan lokasinya, gedung putih, terlihat masih baru, berdiri di tengah sawah. Namun kami heran, tiba di depan gerbang yang tertutup rapat, pos satpam yang kosong, dan suasana yang sepi sekali.

“Benar gak nih Abi? Mungkin bukan Pusiba Bekasi tapi OIAA Tanggerang?”

“Ah yang bener? Jauh lagi dong.”

           Ayahku turun memastikan kalau ini adalah tempatnya, menengok ke dalam lewat celah di gerbang itu, ternyata memang sepi. Tiba-tiba datang seorang bapak menggunakan motor, turun dan menghampiri ayahku seraya bertanya, “Apa tujuan datang ke sini?” Ayahku jawab, “Untuk mengambil visa.” Akhirnya dia pun membuka gerbang itu dan mempersilahkan kami masuk dan memarkirkan mobil di halaman depan. Memang sepi sekali, tak ada seorang pun yang terlihat beraktivitas. Ada masjid di halaman depan, masjidnya cukup mewah tapi seperti tak terawat, tak ada air yang mengalir di ruang wudhunya. Bapak tadi menyuruh kami masuk ke dalam, ke halaman belakang. Aku melihat sekitar banyak barang-barang baru yang masih terbungkus plastik, mungkin sekolah ini memang masih baru sekali. Antara halaman depan dan halaman belakang atau gedung depan dan gedung belakang terdapat tanah kosong yang mungkin kelak dijadikan taman, tapi waktu itu masih berupa tanah merah dengan beberapa barang-barang bekas pembangunan. Bapak itu mempersilahkan kami masuk ke dalam kantor mereka, kami disambut salam oleh bapak yang mungkin pengurus tempat ini dan pertanyaan, “Bapak mau apa?”

“Mau ngambil visa anak saya.”

“Bapak lewat mediator apa?”

“Kami mandiri.”

“Siapa namanya?”

“Ghiffari Taufani.”

“Ok, silahkan duduk, nanti kami carikan dulu.”

           Beliau bertanya kepada kami dengan rasa heran, mengapa? Karena yang aku lihat orang yang datang ke tempat ini biasayanya mereka adalah perwakilan dari pesantrennya untuk membawa paspor dan visa milik para calon mahasiswa, sedangkan aku datang untuk membawa punyaku sendiri. Beliau datang dengan pasporku dan terlihat sedikit khawatir tatkala menanyakan soal berangkat mandiri, “Antum benar berangkat mandiri?”

“Iya benar.”

“Antum punya senior di sana?”

“Enggak, ana orang pertama dari pesantren ana yang berangkat ke Mesir.”

“Oh, kalau misalnya berangkat mandiri bagusnya ada senior yang nanti akan bantu antum ngurusin semuanya. Tapi kalau antum ikut mediator mau gak?”

“Emangnya kalau mediator kapan berangkatnya?”

“Sekitar bulan Maret-April.”

“Oh, gak bisa, soalnya ana baru lulus dari pesantren aja udah tanggal 6 April, ya kalau misalnya berangkat akhir April juga berarti liburan di rumahnya terlalu sebentar.”

“Ya, boleh. Kalau misalnya mandiri antum bisa berangkat kapanpun asalkan sebelum masa berlaku visanya habis. Kan di sini tertera visa antum habis tanggal 31 Mei 2023.”

“Ya, berarti ana akan berangkat tanggal 20an saja.”

“Gak apa-apa, lebih baik berangkat maksimal seminggu sebelum masa berlakunya habis.”

           Beliau berpikir bahwa hidup di sana itu butuh senior yang sudah jelas, atau mediator yang membantu mengurusi semuanya, karena tanpa mereka, katanya, hidup di sana akan susah terlebih dalam mengurusi banyak hal. Tapi aku optimis memilih jalan mandiri, jalan paling murah, paling fleksibel. Masalah senior, aku yakin kalau hidup di luar negeri, sesama orang indonesia akan saling bantu. Ayahku bilang kalau beliau punya banyak relasi dari anak-anak kawan ayahku di sana, jadi mereka yang akan membantuku dalam menjalani hidup di sana. Berita itu semakin membuatku optimis untuk berangkat mandiri, tapi ayahku bilang kalau berangkat sendiri itu mungkin akan sangat sulit, pertama aku tak punya pengalaman naik pesawat dan apalagi pergi ke luar negeri, jadi ayahku memutuskan untuk ikut menemaniku di sana sekaligus mempertemukanku dengan orang-orang yang mungkin akan banyak membantu. Ust. Adha salah satunya, beliau adalah kawan bisnis ayahku. Beliau pernah sekolah di Al-Azhar dan membangun lembaga kajian di Mesir dengan nama Mihrab Center. Murid-murid beliau masih banyak di sana dan sudah diberitahukan bahwa mereka siap membantuku di sana. Berita yang melegakan.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Untuk Cianjur

Pemilu (dari mata orang sok tahu)

Manipulasi Angka (Mencari Esensi Ujian dan Meluruskan Keliru)