Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Haruskah pertemanan itu berhenti sesaat saja dan lenyap begitu saja? Tentu saja tidak. Jangan pernah. Empat bulan lalu, muncul sebuah wacana yang harap-harap menjadi sebuah rencana nyata dan jadi peristiwa untuk dikenang di masa datang. Semoga saja. Wacana ekslusif, sama halnya dengan aku, sang pembuat rencana. Aku adalah orang ekslusif bisa dibilang. Bukan tak mau berteman dengan banyak orang atau ingin ramai diajak melainkan aku lebih senang memilih siapa yang pantas kuajak agar hal-hal yang ku tak inginkan tak terjadi seperti larangan yang mungkin dilewati batasannya.
“San, mau gak ke Ujung Genteng? Ane yang bawa mobil.”
Ihsan adalah orang pertama yang kuajak dalam wacana ini karena dia adalah orang
paling dekat denganku.
“Gas.. ajakin yang lainnya..”
“Okelah.”
Mulai
sejak itu aku mulai mengajak kawan-kawan lain dan mulailah terkumpul
orang-orang yang bisa disebut “sahabat dekat” untuk ikut dalam wacana ini.
Mulailah penyusunan rencana untuk mematangkan wacana menjadi peristiwa.
Mendadak tak akan menghasilkan kesempurnaan; itulah pelajaran dari pesantrenku
yang senang dengan tahu bulat dadakan. Kubuat grup WhatsApp khusus
dengan nama Rihlatun Nufus yang berarti “Perjalanan Jiwa-jiwa”. Maksudnya apa?
Yakni bahwa sesaat acara kelulusan itu usai, kita semua berpisah dengan
jalannya masing-masing, mencari arah, dan melanjutkan pendidikan dengan
lingkungannya yang baru. Jiwa-jiwa kita tentu kehilangan, merasa hilang. Butuh
waktu untuk diluangkan demi tercapainya sehat jiwa kembali setelah luka
kehilangan. Destinasi ini sebagai sarana untuk mengumpulkan jiwa-jiwa yang
sedang terluka oleh kehilangan dan memperjalankannya menuju kebersamaan yang
dulu kita pernah bangun selagi masih belum jauh jarak masa dengan perpisahan
itu.
Ujung
Genteng adalah sebuah destinasi wisata berupa pantai di ujung kota Sukabumi.
Benar-benar di ujung daratan. Jaraknya lumayan jauh bila ditempuh dari kota
Sukabumi pun butuh waktu sekitar 4 jam untuk sampai di sana, serta medan jalan
yang lumayan lika-liku agak sedikit menguji nyali.
Direncanakanlah
dari hasil musyawarah bahwa rencana ini akan dilaksakan pada 26 April 2023,
seminggu setelah lebaran. Namun sayang di perjalanan, ada kawan yang
memundurkan diri karena beberapa alasan yang sedikit mengecewakan diriku tapi
untungnya membuat kapasitas orang pas dengan jumlah kendaraan. Alfin dengan
alasan dirinya takut kelelahan dan sedikit trauma akibat kecelakaan, Taqi
dengan alasan uangnya habis dibelikan handphone baru seharga Rp. 5 jutaan, Iyas
dengan alasan harus menemani adik yang sedang sakit, Husein dengan alasan yang
kulupa apa itu, dan Fabian dengan alasan yang sama tak ingin disebutkan.
Tersisa 8 orang yang benar-benar ikut dengan sebenarnya ada kekhawatiran mereka
pun tak jadi dalam hatiku. Ditambah ada seorang kawan yang orangtuanya
meragukan keahlianku dalam mengendarai mobil di medan lika-liku itu. Tak apa,
namanya juga orangtua.
***
Pulang dari acara kelulusan itu membuatku lelah sangat
hingga jatuh sakit, tiba di rumah langsung jatuh di atas sofa terbaring lemas.
Badanku kurus sekali karena sakit yang membuat lidahku tak berasa ditambah
dengan puasa Ramadhan semakin membuatku lemah. Wajar saja, malam sebelum acara,
keningku sudah panas, tapi aku tetap memaksakan untuk latihan hingga larut
malam dan tidur pun tak tenang karena gelisah tak dipahami. Kebiasaan anehku
adalah saat ada sebuah event yang langka di esok hari akan membuatku gelisah
hingga tak bisa tidur di malam harinya.
Ibuku
menyiapkan obat di dapur dengan penuh kasih sayang dari kaca mata hatiku
melihatnya karena sudah lama aku tak menerima perhatian seperti seorang anak,
bukan karena masalah, melainkan karena aku yang jarang di rumah ditambah aku
ini jarang sakit. Aku merasa hati yang tenang melihat ibuku datang menuju
padaku dengan membawa obat, sebuah suasana yang dirindukan, entah kapan
terakhir kali aku disuapi obat dari tangan ibuku langsung. Meskipun aku sudah
setengah dewasa, umurku sudah belasan, tapi menjadi kekanak-kanakan di depan
ibu bukanlah ciri-ciri manja, tapi kasih sayang. Ibu akan tetap memandangku
sebagai anak kecil yang butuh perhatian. Waktuku di rumah tinggal satu bulan,
lama tak jumpa dan sebentar lagi akan pergi untuk jauh jarak dan masa. Jadi,
obat yang kuminum ini seperti bentuk kasih sayang ibuku yang terakhir sebelum
aku pergi jauh dan benar-benar berbeda.
Setelah
minum obat, ibuku mengucap, “Kaka kelelahan, kemarin kan kaka maksain jadi gak
kerasa sakit, sekarang setelah semua beres baru kerasa sakitnya. Istirahat
aja.”
“Iya umi. Kaka maksain itu karena biasanya kalau sakit
paling cuman sehari, tidur bentar juga badan udah vit lagi. Tapi kalau sekarang
mah emang lagi lemah aja.”
Sesudah
sholat Isya, aku langsung tidur dengan pulasnya walaupun adiku sebenarnya ingin
mengajakku main, tapi sudah benar-benar lelah dan lemah jadi kuabaikan saja.
“Besok ya main nya, ya Gamila.” Aku tidur di depan televisi, tempat favoritku.
Aku lebih suka tidur di sofa depan televisi dibandingkan di kamar sendiri.
Bayang-bayang
masa lalu itu masih berkeliaran di pikiranku. Bahkan mimpiku pun masih
bertempat di pesantren.Wajar saja, belum bulat sehari meninggalkan semua cerita
itu. Tapi banyak hal yang benar-benar berubah sekarang, umurku terus bertambah
dengan kata lain umur kedua orangtuaku pun semakin tua, sedangkan aku jarang di
rumah dan mereka tentu berharap aku selalu ada di sampingnya, maka dari itu aku
pun selalu berkeinginan untuk menjadikan waktu satu bulan ini menjadi satu
bulan yang ceritanya mampu menghasilkan sebuah lembaran yang bila dicetak
seluruhnya mungkin dapat menjadi sebuah buku. Tapi ku tak sanggup menceritakan
semuanya karena ada saja hari kosong yang sama sekali datar untuk dituliskan,
mungkin akan seperti garis tipis saat bosan harus menulis bentuk huruf apa di
belakang buku tulis. Banyak rencana yang akan kuhabiskan di bulan ini. Pernah
ada sebuah pikiran untuk menjadi anak yang durhaka saja, bukan ingin berbuat
dosa besar, tapi aku ingin agar kupergi nanti kedua orangtuaku tak begitu sedih
dan terluka dengan kepergianku, seperti “Pergi saja, daripada jadi beban di
rumah.” Tapi ku tak mampu untuk berbuat buruk kepada mereka, tapi tak tega pula
meninggalkan mereka. Dasar anak rumah. Hal lazim bagi orang Cianjur adalah tak
sanggup merantau. Tetap saja aku menjadi penyejuk mata mereka meskipun di
beberapa kesempatan aku pun terkadang membuat mereka kecewa. Aku ingat pesan
Alfin, ketua angkatanku, ketika sambutan di atas panggung di hadapan para orangtua
santri, “Terimalah kami, sebagai anak-anak kalian, untuk kembali ke pangkuan
kalian, untuk mengabdi pada kalian yang sebelumnya kami absen dari tugas
tersebut.” Aku pulang adalah untuk mengabdi pada mereka yang sudah banyak absen
dalam membantu mereka.
***
Pukul 4 dini hari, aku terbangun oleh suara sayup-sayup
lembut yang berkata, “Ka, bangun.. sahur.. kaka masih sakit? Mau puasa gak?”
Aku membuka mataku dan kulihat di hadapanku ada ibuku. Dengan suara lemas baru
bangun tidur dan badan yang masih mengumpulkan nyawa aku membalas, “Puasa Umi,
udah agak mendingan sekarang, gak panas lagi tapi masih flu sama pusing, tapi
kaka kuat kok puasa juga.” Beranjak menuju wastafel untuk membasuh muka yang
lesuh dan mata yang masih dipenuhi belek. Air dingin membersihkan wajahku, kini
terasa lebih segar. Kantuk pun belum hilang sepenuhnya. Aku jalan
tertatih-tatih menuju meja makan dan sudah ada ayah dan ibu duduk di sana. Di
atas meja sudah tersedia beberapa lauk dan hal pasti setiap pagi adalah
tersedianya minuman lemon madu hangat atau jahe hangat yang menjadi pembuka
bagi setiap pagi di rumah ini. Aku memulai dengan meminum lemon madu hangat itu
dalam sebuah cangkir berwarna putih.
Ghiyas,
adikku, dia masih terlelap tidur di dalam kamarnya yang terkunci rapat.
Fenomena yang membuat ibuku sedikit kesal. Ibuku berteriak, “Teteh.. bangun..”
setiap pagi. Terkadang ku terbawa emosi. Setelah beberapa saat, akhirnya dia
pun keluar dengan wajah malas dan kembali terbaring di sofa, tempatku biasa
rebahan di sana. “Teteh.. ayo makan sahur.. udah jam 4.15, bentar lagi imsak.”
Ibuku kembali mengoceh dan adikku hanya membalas, “Iya.”
Rumahku
masih gelap separuhnya, hanya bagian dapur yang menyala dengan lampu warna
oranye. Tak ada suara televisi di sahur kami. Sejak mungkin umurku 10 tahun,
kami bersepakat untuk berhenti menikmati acara televisi di waktu sahur karena
memang banyak acara yang tak berguna dan menghilangkan berkah sahur itu
walaupun acaranya berjudul “Sahur Berkah”. Pada awalnya memang sahur kami
terasa sunyi yang sebelumnya televisi adalah media yang memecahkan kesunyian
dan membangkitkan semangat untuk bangun sahur, namun lama-kelamaan kami pun terbiasa
dan sudah nyaman sahur dalam sunyi tanpa suara tawa yang dibuat-buat di
televisi. Ayahku mulai membuka suara, “Kaka, tanggal 25 Mei ini kita berangkat
ya. Awalnya kan mau 20 Mei, tapi biar agak lama di rumah jadi abi akhirkan
saja.” Meja makan adalah tempat berdiskusi bahkan debat antara aku dengan
ayahku. Tapi kali ini ayahku hanya menginformasikan saja dan aku hanya menjawab
dengan anggukan kepala. Aku yang masih kurang sehat ini makan hidangan sahur
menjadi kurang berselera sehingga aku lebih memilih untuk minum banyak air dan
susu saja, kebiasaan di pesantren kalau puasa aku lebih senang sahur dengan
segelas air tanpa makan apapun, rasanya saat berbuka aku bisa memasukkan apapun
tak khawatir kekenyangan. Adzan subuh berkumandang dan aku memilih sholat subuh
di rumah saja, “Abi, kaka sholatnya di rumah aja ya.” Dan setelah itu pun aku
kembali tidur harap-harap setelahnya badanku membaik.
***
Sekitar bulan Agustus 2022, aku mendapatkan link di grup
WhatsApp yang angkatanku buat untuk sharing berita tentang sekolah di
Timur Tengah. Link itu adalah link pendaftaran untuk mahasiswa baru di Mesir,
dibagikan oleh Ust. Irwansyah kala itu. Tak seorang pun tertarik untuk
mendaftar, entah mengapa? Mungkin image Mesir yang kurang berkesan dan
tak menarik menurut pandangan mereka. Aku yang sedang mencari jenjang
pendidikan selanjutnya tak peduli, asal daftar saja, dan ternyata ada satu
kawanku yang tak sengaja mendaftar pula. Pendaftaran kami melalui jalur Kemenag
yang mengamanahkan seleksi bahasa Arab oleh Pusiba. Kami mulai mendaftar dengan
memberikan berkas-berkas yang harus dilampirkan, kemudian membayar uang
pendaftaran sebesar Rp. 400.000,00. Setelah melalui tahap pemberkasan ini,
akhirnya kami dimasukkan ke grup WhatsApp untuk kegiatan ujian seleksi pada
bulan September.
Hari demi
hari, akhirnya waktu ujian itu tiba. Pertama yang diujikan adalah tes bahasa
Arab dengan metode tulisan. Materi yang diujikan cukup mudah bagi seorang
pemula sekalipun, apalagi bagiku yang sudah banyak mendapatkan ilmu bahasa Arab
di pesantren. Saat itu aku sedang berada di kantor pendidikan, seperti biasa
aku adalah orang yang selalu stand-by di kantor walaupun di sana tak ada
kerjaan bahkan hanya numpang tidur sekalipun. Karena aku membutuhkan tempat
yang sunyi, akhirnya aku pun izin untuk meninggalkan kantor dan pergi menuju
asrama, mumpung tidak ada santri di sana. Aku memilih lantai paling atas agar
mendapatkan sinyal terbaik, karena hal maklum bahwa di pesantrenku sinyal
begitu sulit, ada mitos mengatakan bahwa sinyalnya disedot oleh antena
penangkap sinyal milik kantor administrasi. Entahlah. Tapi nyatanya saat keluar
saja sedikit dari gerbang, sinyal kembali bagus. Ada hal mistis apa ini. Kurasa
kamar paling atas juga sepi, namun ternyata ada juga dua kawanku yang sedang
bermalas-malasan sambil menikmati sinyal yang bagus di lantai atas.
“Eh, Gip, ngapain?” Tanya Azizi.
“Mau ujian, pengen cari yang sepi.” Jawabku.
“Ujian apa Gip?” Tanya Fajar.
“Ujian buat kuliah di Mesir.”
Mereka
sedikit heran karena biasanya aku tak pernah pulang ke kamar sebelum waktu
dzuhur. Aku memilih pojokan kamar yang adem sambil rebahan di atas kasur santri
yang sudah dirapihkan. Demi kenyamanan dalam ujian. Waktu yang diberikan untuk
ujian sekitar satu jam saja, tapi aku mampu menyelesaikannya dalam waktu kurang
dari 30 menit, karena memang mudah saja, contohnya seperti perubahan fi’il bila
digabung dengan dhomir ini, atau isi titik yang kosong di kalimat
tersebut. Mudah saja. Yang agak sulit memang adalah ilmu Balaghah, dari dulu
aku sangat lemah dalam ilmu ini, padahal tak disuruh membuat syair, cuman
menentukan kalimat ini disebut apa. Tapi karena ilmu ini sedikitnya kurang aku
sukai sehingga ilmu ini cepat sekali hilangnya ditambah pengajarnya waktu itu
mengajar ala kadarnya saja. Bukan merendahkan guru, tapi kenyataannya begitu.
Tombol
“Selesai” diklik dan muncul pengumuman bahwa tes wawancara bahasa Arab akan
diselenggarakan tiga hari mendatang. Kukira akan sesulit apa ujian ini
sehingga aku butuh tempat untuk sembunyi dari keramaian, eh ternyata soalannya
mudah sekali dijawab bahkan di tengah kerumunan sekalipun. Canda.
Tiga hari
berselang, ujian wawancara itu pun tiba. Aku yang sudah deg-degan dari pagi
menunggu lama. Diinfokan bahwa ujian dilaksanakan pada jam 10 pagi, tapi
ternyata hingga jam segitu pun namaku belum dipanggil. Wajar saja, yang ujian
pun banyak sekali. Ujian lisan atau wawancara adalah momok mengerikan bagiku
karena teori bahasa Arabku sebenarnya sudah cukup baik tapi praktiknya masih
jauh dari kata “bisa”. Jadi aku persiapkan mental dan belajar praktik mandiri.
Jantungku diuji, aku menunggu lama dengan handphoneku tapi namaku belum juga
dipanggil.
Setelah
dzuhur, di aula Fahad dilaksanakan acara dan kami sebagai khidmah diharuskan
menjadi panitia. Di grup WhatsApp kami dipanggil, “Diharap kepada seluruh
khidmah bagian pendidikan untuk merapat ke aula Fahad.” Mau gak mau, kami
terima panggilan itu. Setelah sholat, kami bergegas langsung menuju aula,
seperti biasanya kalau disuruh untuk datang ke aula pastinya pekerjaan utamanya
adalah mengangkat kursi dan meja untuk disusun untuk acara. Mengapa tidak dari
sebelumnya? Seperti biasa pesantrenku suka tahu bulat. Dan setelah rapih
pun seisi aula, kami tetap diharuskan stand-by di sana untuk menghadapi
suruhan mendadak atau sama sekali tak ada kerjaan. Aku sibuk mengobrol dengan
kawan-kawan di luar aula hingga lupa bahwa jam sudah menunjukkan jam 2 siang. Aku
baru sadar bahwa hari ini aku masih ujian. Aku membuka handphoneku dan kulihat
di grup itu namaku sudah dipanggil tiga kali. Aku panik karena takut
didiskualifikasi. Aku berlari menuju kantor, harap-harap mendapatkan wifi
gratis menggunakan akun temanku, namun ternyata sudah dia pakai terlebih
dahulu. Aku pun lari naik menuju lantai dua kelas karena di sana sinyal lumayan
bagus. Dan akhirnya aku pun berhasil masuk ke Zoom setelah bilang di grup, “Ana
hadhir ya ustadz.”
Saat masuk, aku terkaget-kaget. Dalam
bayanganku penguji yang akan menguji tes ini adalah seorang syaikh berjanggut
tebal, menggunakan imamah berwarna merah-putih kotak-kotak, dan menggunakan
gamis sedang duduk di kantor yang rapih, tapi ternyata pengujinya adalah
seorang kakek berwajah Mesir yang mungkin berusia 65 tahun, aku hanya menerka
saja, menggunakan kaos duduk di rumah jadul dengan jendela kayu yang terbuka
dan kipas angin setengah rusak yang menyala tersendat-sendat. Aku pertama-tama
mengucapkan salam dan meminta maaf kalau aku terlambat, “Maaf ya syaikh, tadi
ana ketidur terus sinyalnya juga sedikit jelek jadi tadi ana cari tempat dulu
yang bagus sinyalnya.” Setelah itu beliau mengucapkan, “Tak apa, sekarang
perkenalkan dirimu.”
Aku jawab singkat saja, “Namaku Ghiffari Taufani, asal
dari kota Cianjur, Indonesia. Aku lahir pada tanggal 16 Desember 2003 di kota
itu, tempat kulahir dan tinggal hingga kini.”
“Baik. Sekarang apa hobimu?”
“Hobiku menulis dan bermain ping-pong.”
“Apa yang kamu tulis?”
“Biasanya Aku menulis quotes singkat tentang
motivasi hidup.”
“Coba sebutkan quotes yang kamu tulis?”
“Eh, maaf ya syaikh, Aku menulis quotes itu dengan
bahasa Indonesia, dirasa sulit kalau harus diterjemahkan ke bahasa Arab.”
“Thayyib. Coba bacakan satu ayat dalam Al-Quran.”
Aku pun membacakan awal surat Al-Kahfi dan belum selesai
ayat kedua beliau sudah bilang, “Cukup. Sekarang bacakan satu hadist Nabi ﷺ?”
Aku pun membacakan hadits tentang niat yang hampir semua
orang tahu tentang hadist ini dan seperti biasa sebelum selesai aku membaca,
beliau sudah berkata, “Cukup. Coba jelaskan kondisi negaramu?”
“Negaraku adalah negara yang terdiri dari banyak pulau,
agama, suku, budaya, dan bahasa. Di sini pula banyak sekali gunung-gunung dan
hutan-hutan lebat. Indonesia juga terkenal sebagai negara dengan mayoritas
muslim terbanyak. Mungkin demikian ya syaikh.”
“Baik. Mengapa kamu memilih Al-Azhar?”
“Sebagaimana kita ketahui bahwa Al-Azhar adalah pusat
keilmuan Islam dan terkenal dengan banyaknya ulama yang mengajar di sana.
Lulusan dari sana pun sudah banyak yang menjadi orang besar. Dan aku memilih
Al-Azhar adalah untuk mencari ilmu agama lalu kemudian aku sebarkan di
masyarakat terutama melalui tulisan yang mana itu adalah hobiku.”
“Baik ya Ghiffari. Sudah selesai ujiannya. Semoga Allah
memberkahimu. Silahkan keluar dari Zoom.” Akhir kata syaikh ucapkan.
Aku ragu untuk keluar karena penutupannya suara syaikh
kurang jelas, jadi aku masih ada di dalam Zoom sambil sedikit mendengarkan
peserta berikutnya. Dan tak sengaja aku membuka suara dan terdengar oleh
syaikh, “Ada apa ya Ghiffari? Ada pertanyaan?”
“Eh, enggak ya syaikh. Bolehkah ana keluar dari Zoom?”
“Silahkan.”
“Oh, baik ya syaikh. Assalamualaikum.”
Tombol
bergambar telepon berwarna merah itu pun aku klik dan keluarlah aku dari ujain
yang selama itu aku khawatirkan. Ternyata tak semengerikan yang kukira. Aku
selama ini sering sekali overthinking terhadap sesuatu dan setelah
dilalui nyatanya tak begitu sulit. Walaupun dalam ujian tadi aku tergagap-gagap
dalam berbicara tapi overall aku bisa dibilang berhasil mengalahkan
momok menakutkan itu.
Diumumkan
bahwa minggu depan diadakan ujian kebangsaan sebagai tahap terakhir dari ujian
yang diadakan oleh Kemenag ini. Dalam sangkaku bahwa ujian kebangsaan itu
membahas seputar PKN, Pancasila, UDD, dan semisalnya, sehingga waktu itu aku
menemukan kisi-kisi dari Instagram apa-apa saja yang harus dihafalkan. Aku
menghafal beberapa hal seperti makna-makna setiap gambar yang melambangkan
Pancasila dan pelajaran-pelajaran yang dapat diambil dari situ untuk diterapkan
dalam kehidupan. Sebagai negara Pancasila, tanpa mengenal poin-poin itu pun
negara kita sudah berbudaya Pancasila; rukun beragama, adil, saling menghargai
pendapat, dan banyak hal positif yang warga kita punya. Justru mereka yang
“paling paham Pancasila” justru banyak yang melanggar hikmah di balik lambang
garuda itu. Bayangkan saja, di gedung yang terpampang jelas garuda besar
menempel di langit-langit mereka, mereka justru tertidur pulas di atas kursi
manis jabatannya dengan uang yang terus mengalir tanpa jerih payah bahkan
meminta lebih untuk memperkaya kerakusan mereka dengan gelar di dada mereka
sebagai perwakilan rakyat. Atau para manusia bersorban putih yang justru lebih
senang mencela pemimpin dan agama tetangga dibandingkan mengajak masyarakat
untuk kembali pada Al-Quran dan Sunnah, mereka berkoar-koar dengan mulut
berbusa untuk mengajak orang-orang awam turun ke jalan menyeruakan keadilan
yang mana mereka pun tak pernah mendoakan pemimpin mereka untuk berbuat adil,
mereka hanya mendoakannya agar segera makzul dari kursinya. Padahal hati ada di
tangan Allah, dan bila kita mendoakan pemimpin agar berbuat adil, Insya Allah,
Allah akan menjadikan dia orang yang adil. Tapi sayang di negeri ini para dai
yang menyeru pada taat pemimpin malah disebut penjilat penguasa. Pancasila itu
mengakar sudah dalam budaya kita, tapi ada orang-orang yang mengaku paling
toleransi, paling agamis, paling kritikus, dan paling NKRI yang justru
menggiring opini masyarakat untuk berpecah-belah. Tanpa pemaksaan ideologi
Pancasila sekalipun, Islam sudah mengajarkan seluruh yang terkandung dalam
Pancasila. Bukannya aku merengsek masuk ke ranah politik, cuman sedikit
menyenggol orang-orang yang ingin kukomentari meskipun sebenarnya aku pun belum
begitu paham dunia seperti itu, dunia yang mudah sekali untuk merakyatkan
kehidupan rakyat yang susah sekali. Mengemis suara dengan tangan di atas yang
disalami orang-orang tangan memangkuk meminta hak-hak mereka.
***
Seminggu mendatang datang juga dan aku masih berada di
keadaan yang sama, duduk di pojokan kantor, meja disekat yang ada di dekat
jendela ujung, tempatku tidur dan menulis. Dan ya, hari ini adalah saatnya
ujian kebangsaan. Aku meremehkan ujian ini karena ujian ini menggunakan bahasa
Indonesia, bukanlah hal yang sulit, ditambah aku pun sudah sedikit menghafal
kisi-kisi itu. Ujian diselenggarakan pukul 10 pagi dan benar-benar jam segitu
tanpa menunggu lama seperti ujian sebelumnya. Aku masuk ke dalam Zoom dan di
ruang tunggu dengan seorang host yang akan memasukkan satu persatu ke
dalam ruang ujian. Host itu seorang bapak muda tinggi kurus dengan
menggunakan jas hitam, dia akhirnya memanggilku, “Peserta dengan nama Ghiffari
silahkan masuk ke ruang ujian.” Muncul sebuah tombol bertuliskan “gabung”
kemudian diklik dan beralihlah layar menjadi seorang ibu separuh tua dengan
kerudung merah dan backgroundnya pun dipenuhi warna merah dengan
tulisan-tulisan yang aku lupa apa itu. Aku menyapa ibu itu dengan salam dan
tanpa basa-basi dia langsung memulai ujian tersebut,
“Waalaikumsalam. Dengan Ghiffari betul?”
“Iya betul.”
“Ok langsung saja ya ke pertanyaan. Ada dua pertanyaan
saja dan kamu harus menjawab dengan singkat padat saja tanpa bertele-tele,
baik?”
“Baik.” Aku berpikir bahwa pertanyaannya akan seperti apa
yang telah aku hafalkan.
“Pertanyaan pertama, bagaimana pendapatmu bila di sebuah
kampung ada seorang muslim yang ingin membangun masjid lalu datanglah seorang
nasrani yang ingin ikut menyumbang dalam pembangunan masjid tersebut.. berikan
pendapatmu!”
Haduh, pertanyaannya di luar ekspektasiku. Aku
kira hanya disuruh menyebutkan saja, ternyata pertanyaannya menjebak sekali,
dia berusaha menguji ideologi yang aku pahami. Dia ingin tahu apa ideologiku.
Dengan agak gugup karena kaget dan harus berpikir keras ketika disuruh beropini
semendadak itu, “Ya jadi menurutku bahwa sah-sah saja seorang non-muslim
membantu saudara sebangsanya yang muslim dalam membangun masjid karena mungkin
dalam agamanya tak ada larangan dalam membantu saudara sebangsanya untuk
membangun rumah ibadah. Selama tak ada larangan di dalam agamanya, maka sah-sah
saja.”
“Baik, jadi menurut kamu tak ada masalah ya. Ok. Sekarang
pertanyaan kedua, bagaimana menurutmu kalau Indonesia menjadi negara dengan
sistem kekhilafahan!”
Asik juga
ya pertanyaannya, memang menguji. “Ya jadi menurutku bahwa sistem kekhilafahan
tidaklah sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia, karena Indonesia tak
memiliki riwayat kekhilafahan seperti halnya negeri-negeri Arab. Kita dahulu
hanya memiliki riwayat kerajaan dan kesultanan saja. Kalau di Timur Tengah sana
mungkin saja sistem ini dapat diterapkan, akan tetapi di negeri kita sistem ini
tak sesuai dengan keberagamaan masyarakat kita.”
“Ok, bagus. Ujian selesai, silahkan meninggalkan ruang
ujian.”
Klik ikon
telepon merah itu dan keluarlah. Pertanyaan luar biasa. Terlihat sekali mereka
sangat mengedepankan toleransi yang mereka sebut wasathiyyah dan
anti-khilafah. Apakah aku berpura-pura? Tentu tidak. Aku memang tidak mendukung
khilafah karena dalam sejarah sekalipun khilafah yang lurus hanyalah Khulafa
Ar-Rasyidin, sedangkan sisanya hanya beberapa raja yang benar-benar lurus
memimpin, kehkilafahan setelah 4 sahabat mulia itu beberbentuk kerajaan
monarki, maka sebenarnya sama saja dengan sistem kerajaan yang ada di Indonesia
dahulu. Tapi kekhilafahan yang ada dalam pikiran mereka yang memperjuangkannya
adalah pemimpin yang menegakkan Islam secara kaffah. Sebuah niat yang
mulia, tapi hal yang rancu dari mereka adalah mereka berteriak khilafah tapi
mereka belum menentukan siapa yang akan menjadi khilafah itu saat mereka
berhasil mencapai kursi kekuasaan, atau jikalau mereka mampu menegakkan
benar-benar syariat Islam, yakinkah mereka mampu menerima seluruhnya karena
sepertinya mereka pun akan tak sanggup dengan syariat Islam yang diterapkan
yang mana mereka selama ini menjalani hidup dengan kebebasan dan berislam
dengen pengetahuan yang seadanya. Contohnya saja bila had zina
ditegakkan, akankah semua menerima di zaman yang mana zina sudah menjadi trend
dan sulit sekali menghindari perbuatan tersebut karena banyak sekali
dorongan untuk mendekati perbuatan keji tersebut, aku yakin pasti tetap saja di
antara para pendukung gerakang ini ada yang menolak untuk dirajam ataupun
dicambuk. Tak salah sebenarnya dengan niat baik mereka, tapi jangan
terus-menerus meneriakkan tegaknya syariat tapi syariat yang sesungguhnya pun
baru sedikit yang dipelajari. Kemuliaan agama ini akan kembali saat para
pemeluknya kembali ke sumber agama ini yaitu Al-Quran dan Sunnah.
Dan
toleransi beragama yang diagungkan mereka terkadang salah paham. Toleransi
adalah dengan tidak mencampurbaur urusan antara agama, cukup menghormati dengan
tidak mengganggu peribadatan mereka dan menjaga kerukunan, selesai. Cuman ada
saja yang merumitkan toleransi dengan banyak logika yang membingungkan yang
sebenarnya merujuk untuk melebur agama menjadi satu. Toleransi harus
diagunggukan, tapi bukan disalahgunakan. Yang amat disayangkan di negeri ini
adalah bahwa intoleransi hanya ada pada Islam, padahal sifat seperti itu ada di
seluruh agama, hanya saja Islam sebagai mayoritas di negeri ini terkesan
berkuasa dan bila ada yang intoleransi maka dipukul rata bahwa umat Islam itu
tidak rukun beragama. Hanya segelintir orang saja yang terkadang merasa paling
benar dengan ilmu agama yang dangkal berusaha melarang agama lain yang tak
bersalah apapun. Dan bila merujuk pada inti dari agama ini maka akan didapati bahwa
Islam adalah agama yang toleransi, tanpa berlebihan. Masalah pengkafiran adalah
untuk sesama muslim untuk menghindari sifat-sifat kekufuran dan murtad dari
agama, bukan untuk mencap kening orang non-muslim. Memang mereka dalam agama
kita adalah kafir, tapi istilah itu bukan untuk merendahkan agama lain.
Aku
beranjak dari kursi pojok itu, berjalan ke luar kantor dan duduk di teras
depan. Aku menelpon ayahku bahwa aku telah selesai ujian Kebangsaan.
Diangkatlah telpon itu dan aku ceritakan semuanya. Ayahku berkata, “Jawaban
yang benar dan itu yang mereka inginkan.”
***
Beberapa
minggu kemudian namaku terdaftar sebagai calon mahasiswa Mesir, tinggal langkah
terakhir yaitu pemberkasaan dan bayar biaya sebesar Rp. 4 jutaan. Ayahku sempat
ragu dengan hasil ini karena nyatanya aku ikut semua ujian ini karena iseng
saja tanpa niatan sama sekali. Temanku yang satunya lagi, Remo, tidak jadi
mengambil kesempatan ini. Tapi aku lebih memilih untuk berpikir panjang, bila
aku nanti harus menunggu lama lagi untuk belajar karena tak dapat pilihan yang
sesungguhnya, maka inilah alternatifnya.
Ayahku
dan keluarga datang ke pesantren untuk menjengukku sekaligus membawa
berkar-berkas yang sudah tersusun rapih di dalam amplop coklat untuk
bermusyawarah mengenai hal ini. Sebelumnya, aku dan Taqi yang sempat
mendapatkan kesempatan kuliah di Tunisia datang ke mudir untuk bertanya dan
minta nasihat, hasilnya adalah Tunisia gugur dari tangan Taqi karena
pertimbangan masalah akidah dan pergaulan, ayahnya sempat kecewa tapi lama-kelamaan
beliau mengerti setelah melihat kenyataan dunia di sana, sedangkan hasilnya
bagiku tetap saja akan dilanjutkan. Isi dari nasihatnya adalah untuk
mewanti-wanti terjadinya penyelewengan dari akidah yang sudah ditanam selama di
pesantren dan pergaulan yang tentu akan berbeda dan memilki resiko terbawa arus
yang tinggi.
Ayahku
datang menghampiri kantor Ust. Irwansyah untuk konsultasi dan hasilnya beliau
berkata bahwa dirinya sangat senang dengan berita tersebut dan sangat mendukung
untuk terus melanjutkan pendidikan, karena kesempatan tak mungkin dilepaskan,
bila niatnya belajar, di mana pun kita berada, Insya Allah, akan baik pada
ujungnya. Akhirnya ayahku sepakat untuk mengirimkan berkas-berkas ini dan
membayar biaya tersebut. Semuanya deal.
***
Bulan Febuari, malam Ahad pukul 23. Aku sedang bergadang di kamarku bersama Alfin untuk menonton
film bersama sebagai rutinitas malam-mingguan. Wifi yang tak kunjung tersambung
mencegah kami untuk streaming ditambah tak ada film ofline pula.
Padahal dijadwalkan nonton sehabis Isya sekitar pukul 20, mumpung para santri
tak ada di kamar karena mereka disibukkan dengan bukan kesibukan, disuruh diam
di masjid saja hingga pukul 21.
“Fin, gimana nih? Gak nyambung-nyambung.”
“Ya gimana lagi, udahlah kapan-kapan lagi.”
Akhirnya
kami tak jadi nonton bareng dan kembali pada personalnya masing-masing yaitu
sibuk dengan handphonenya masing-masing. Aku pun mengambil handphoneku di atas
kasur dan membuka WhatsApp, didapati ada pesan dari Adam, kawan lamaku yang
sudah berangkat ke Mesir sejak Januari. “Gip, visa ente udah keluar kan?”
“Emang iya?!”
“Iya. Tadi ane ngecek nama-nama visa yang udah keluar
buat nyari temen ane, eh pas lihat nama di bawahnya kayak kenal, ternyata nama
ente Gip.” Terus Adam mengirimkan screenshot daftar nama-nama yang
visanya sudah keluar. Sebenarnya aku merasa kaget sekali dan bingung, pikiranku
terbang mencari rasa bagaimana rasanya pergi ke luar negeri.. Sebelumnya
aku sama sekali tak berpikir bahwa hasil dari ujian kemarin benar-benar akan
ada. Aku tak berpikir kalau aku benar-benar akan pergi ke sana, bahkan aku pun
tak tahu visaku telah keluar. Andai Adam tak memberitahuku mungkin aku tak akan
pernah tahu bahwa visaku telah keluar dan pasporku tak akan pernah kembali. Aku
langsung menghubungi ayahku yang mungkin sudah terlelap tidur tapi aku tak
peduli, aku langsung mengirim pesan, “Abi, visa kaka sudah keluar, harus
diambil ke Pusiba nya di bekasi.”
Aku
menunjukkan reaksi sedikit khawatir, “Fin, visa ane udah keluar. Diambil gak
ya?”
“Ambil aja. Itu udah takdir ente. Nanti di sana ente
bakalan banyak dapetin cerita, kan ente suka sejarah.” Memberikan energi
positif untuk optimis.
Tiba-tiba
Taqi datang ke kamarku untuk minta air, dan aku pun tak lupa mengabarkannya,
“Taq, ane jadi ke Mesir!”
“Yang bener?!” Dengan ekspresi wajah yang agak kaget, dia
langsung merebut handphone dariku untuk melihat bukti bahwa visaku telah
keluar. Dia melanjutkan komentarnya, “Asik, jadi nih berangkat.. ente kayaknya
jadi orang pertama di angkatan yang pergi ke luar negeri.”
“Tapi ngeri dah taq..”
“Santai aja, Insya Allah yang terbaik.”
Keesokan
harinya, ayahku mengirim pesan, “Iya. Tapi emangnya harus berangkat ke sana
atau bisa dikirimkan saja?”
Aku
menjawab, “Bisa saja dikirimkan, tapi lebih baik datang ke sana langsung buat
nanya-nanya beberapa hal.” Kemudian aku mengirim PDF yang berisikan informasi
bahwa bagi peserta yang visanya sudah keluar Jumat kemarin harus segera dibawa
maksimal seminggu setelahnya. “Abi kosongnya kapan buat nganter kaka ke sana?”
Ayahku
pun langsung mengajakku video call dan kuangkat. Setelah salam, ayahku
bilang, “Ambil aja visa itu, kesempatan buat pengalaman di Mesir, walaupun
tujuan tetap ingin kuliah di Saudi. Seperti rencana awalkan waktu itu abi
bilang kalau kaka harus ke Mesir dulu baru pindah ke Saudi supaya punya
pengalaman dua negara. Abi kosong hari senin, Insya Allah, bisa nganter kaka ke
sana.”
“Ustadz, bolehkah ana
izin untuk mengambil visa ke Bekasi hari senin?” Aku langsung saja bertanya
pada atasanku di bagian Pendidikan, Ust. Irwansyah, karena semua izin ada di
tangannya. Aku sebenarnya tak berani izin empat mata langsung dengan beliau,
oleh karena itu aku lebih memilih izin melalui chat saja. Beliau punya
wibawa yang tinggi, jadi entah mengapa di dekatnya aku tak bisa berkutik
apapun, padahal beliau orangnya hangat dan friendly.
“Visa apa?”
“Visa Mesir.”
“Oh, boleh. Antum ke sama sama siapa?”
“Ayah ana datang hari Senin buat jemput ana ke sana.”
“Ok. Ustadz izinkan.”
“Syukron.”
***
Hari
senin pagi, aku mondar-mandir di kamarku menunggu ayahku yang entah kapan akan
datang. Beliau bilangnya akan berangkat sehabis subuh, tapi sekarang sudah
pukul 8 pagi belum datang pula. Tak lama kemudian handphoneku berdering, ayahku
menelpon, “Abi udah di depan asrama.”
Aku berjalan menuju balkon dan melirik ke
bawah, ada mobil Xpander putih yang baru saja datang, “Ya, kaka ke bawah
sekarang.”
Bergegas menuruni tangga. Kusapa ayahku dengan
salam dan jabat tangan, “Tunggu Abi, kaka izin dulu.”
“Iya silahkan.”
Aku berusaha mencari Ust. Irwansyah walaupun
sebenarnya sudah izin lewat WhatsApp tapi adabnya lebih baik menghampiri dulu
terlebih dahulu. Aku bertanya ke salah satu kawan dan dia bilang kalau beliau
ada di kantor, aku pun jalan menuju kantornya tapi belum sampai di sana sudah
terlihat beliau sedang mengajar di kelas ternyata. Ya sudahlah, mau bagaimana
lagi. Akhirnya aku langsung saja berangkat tanpa pamit terlebih dahulu.
Perjalanan yang agak sedikit memutar karena
berangkat lewat jalur Sukabumi jadi cukup menguras waktu, apalagi ditambah
dengan macet di daerah Cibadak, sama saja sebenarnya dengan jalur Puncak, tak
dapat diprediksi kelancaran lalu lintasnya. Banyak hal yang dibicarakan selama
di dalam mobil, budaya lumrah antara aku dan ayahku adalah berdiskusi banyak
hal, mulai dari masalah politik, ekonomi, masa depan, dan banyak lagi. Medan
diskusi bahkan sampai debat dengan ayahku adalah mobil dan meja makan, jadi
bukan masalah, tapi saling argumentasi adalah cara untuk terbiasa membicarakan
hal-hal yang berguna, bukan receh-receh yang tak ada faedahnya. Saking sibuknya
mengobrol sampai salah jalan ketika masuk tol, yang seharusnya masuk ke lajur
kiri, malahan lurus hingga masuk ke arah TMII. Ya jadi kami harus
berputar-putar, masuk ke kota Jakarta keluar di perkampungan Bekasi. Kami jalan
terus hingga sekitaran jalan berubah menjadi pesawahan. Kami ragu, “Benarkah
ini jalannya?” Tapi Google Maps memang menunjukkan ke arah sini, dan akhirnya
kami menemukan lokasinya, gedung putih, terlihat masih baru, berdiri di tengah
sawah. Namun kami heran, tiba di depan gerbang yang tertutup rapat, pos satpam
yang kosong, dan suasana yang sepi sekali.
“Benar gak nih Abi? Mungkin bukan Pusiba Bekasi tapi OIAA
Tanggerang?”
“Ah yang bener? Jauh lagi dong.”
Ayahku
turun memastikan kalau ini adalah tempatnya, menengok ke dalam lewat celah di
gerbang itu, ternyata memang sepi. Tiba-tiba datang seorang bapak menggunakan
motor, turun dan menghampiri ayahku seraya bertanya, “Apa tujuan datang ke
sini?” Ayahku jawab, “Untuk mengambil visa.” Akhirnya dia pun membuka gerbang
itu dan mempersilahkan kami masuk dan memarkirkan mobil di halaman depan.
Memang sepi sekali, tak ada seorang pun yang terlihat beraktivitas. Ada masjid
di halaman depan, masjidnya cukup mewah tapi seperti tak terawat, tak ada air
yang mengalir di ruang wudhunya. Bapak tadi menyuruh kami masuk ke dalam, ke
halaman belakang. Aku melihat sekitar banyak barang-barang baru yang masih
terbungkus plastik, mungkin sekolah ini memang masih baru sekali. Antara
halaman depan dan halaman belakang atau gedung depan dan gedung belakang
terdapat tanah kosong yang mungkin kelak dijadikan taman, tapi waktu itu masih
berupa tanah merah dengan beberapa barang-barang bekas pembangunan. Bapak itu
mempersilahkan kami masuk ke dalam kantor mereka, kami disambut salam oleh
bapak yang mungkin pengurus tempat ini dan pertanyaan, “Bapak mau apa?”
“Mau ngambil visa anak saya.”
“Bapak lewat mediator apa?”
“Kami mandiri.”
“Siapa namanya?”
“Ghiffari Taufani.”
“Ok, silahkan duduk, nanti kami carikan dulu.”
Beliau
bertanya kepada kami dengan rasa heran, mengapa? Karena yang aku lihat orang
yang datang ke tempat ini biasayanya mereka adalah perwakilan dari pesantrennya
untuk membawa paspor dan visa milik para calon mahasiswa, sedangkan aku datang
untuk membawa punyaku sendiri. Beliau datang dengan pasporku dan terlihat
sedikit khawatir tatkala menanyakan soal berangkat mandiri, “Antum benar berangkat
mandiri?”
“Iya benar.”
“Antum punya senior di sana?”
“Enggak, ana orang pertama dari pesantren ana yang
berangkat ke Mesir.”
“Oh, kalau misalnya berangkat mandiri bagusnya ada senior
yang nanti akan bantu antum ngurusin semuanya. Tapi kalau antum ikut mediator
mau gak?”
“Emangnya kalau mediator kapan berangkatnya?”
“Sekitar bulan Maret-April.”
“Oh, gak bisa, soalnya ana baru lulus dari pesantren aja
udah tanggal 6 April, ya kalau misalnya berangkat akhir April juga berarti
liburan di rumahnya terlalu sebentar.”
“Ya, boleh. Kalau misalnya mandiri antum bisa berangkat
kapanpun asalkan sebelum masa berlaku visanya habis. Kan di sini tertera visa
antum habis tanggal 31 Mei 2023.”
“Ya, berarti ana akan berangkat tanggal 20an saja.”
“Gak apa-apa, lebih baik berangkat maksimal seminggu
sebelum masa berlakunya habis.”
Beliau
berpikir bahwa hidup di sana itu butuh senior yang sudah jelas, atau mediator
yang membantu mengurusi semuanya, karena tanpa mereka, katanya, hidup di sana
akan susah terlebih dalam mengurusi banyak hal. Tapi aku optimis memilih jalan
mandiri, jalan paling murah, paling fleksibel. Masalah senior, aku yakin kalau
hidup di luar negeri, sesama orang indonesia akan saling bantu. Ayahku bilang
kalau beliau punya banyak relasi dari anak-anak kawan ayahku di sana, jadi
mereka yang akan membantuku dalam menjalani hidup di sana. Berita itu semakin
membuatku optimis untuk berangkat mandiri, tapi ayahku bilang kalau berangkat
sendiri itu mungkin akan sangat sulit, pertama aku tak punya pengalaman naik pesawat
dan apalagi pergi ke luar negeri, jadi ayahku memutuskan untuk ikut menemaniku
di sana sekaligus mempertemukanku dengan orang-orang yang mungkin akan banyak
membantu. Ust. Adha salah satunya, beliau adalah kawan bisnis ayahku. Beliau
pernah sekolah di Al-Azhar dan membangun lembaga kajian di Mesir dengan nama
Mihrab Center. Murid-murid beliau masih banyak di sana dan sudah diberitahukan
bahwa mereka siap membantuku di sana. Berita yang melegakan.
***
Komentar
Posting Komentar