Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

“Ada Indonesia nya coy!”
Ungkapan yang sedang ramai di jagat maya Indonesia untuk
menggambarkan sifat overproud orang Indonesia ketika mendapati nama
negerinya disebut oleh orang asing. Kita sering kali bangga berlebihan ketika
ada bule yang bilang “Aku cinta Indonesia.” Atau “Bakso enak.” Kita
sambut mereka dengan tepuk tangan meriah bagai orang istimewa, padahal mungkin
di negeri asalnya mereka orang biasa saja. Atau bangga ketika ada Indonesia di
situs berita barat, film-film Hollywood, atau dikunjungi artis-artis.
Sebenarnya tak salah bila kita bangga saat negeri kita ini diakui oleh dunia,
tapi rasa bangga yang berlebihan itu terkesan norak dan menunjukan bahwa
orang Indonesia ini mudah dibodoh-bodohi. Kebanyakan orang Indonesia mudah
percaya dengan isu yang dibawa dari luar negeri seakan mereka adalah sumber
kebenaran, atau meyakini bahwa produk yang bertuliskan buatan asing itu lebih
baik dari produk negeri sendiri, padahal belum tentu produk itu benar-benar
lebih baik walaupun kebanyakan memang produk asing itu berkualitas. Yang jelas
bahwa dalam anggapan kebanyakan orang Indonesia “Setiap sesuatu yang datang
dari luar negeri adalah keren dan perlu dipercayai.” Oleh sebab itu, Indonesia
menjadi salah satu target orang asing dalam membangun popularitasnya, pasarnya,
dan pengaruhnya. Maka tak heran ada istilah Indonesian reference yaitu
unsur-unsur yang merujuk pada hal-hal yang berkaitan dengan Indonesia, baik
secara eksplisit ataupun implisit, yang termuat dalam sebuah produk budaya
populer asing.[1]
Indonesian refernce ini tentunya untuk menarik perhatian orang indonesia
yang mudah overproud, terutama dalam industri perfilman seperti dalam
serial film The Last of Us yang menampilkan Jakarta sebagai asal mula jamur
yang menginfeksi manusia, begitu pun film animasi Disney, Raya and The Last
Dragon, yang menampilkan kesenian wayang kulit, gamelan, buah
kelengkeng, struktur atap rumah gadang, hingga pedang menyerupai keris yang
jadi senjata andalan Raya. Atau film Avatar The Way of Water yang katanya terinspirasi oleh
budaya suku Bajo dan keindahan alam bahari Nusantara.
Penyebab overproud pada orang Indonesia ini adalah dikarenakan adanya pengistimewaan atas bangsa Barat yang mana mereka sering kali dianggap sebagai ras unggul dan terpandang sehingga ketika negeri kita disebut olehnya bagaikan sebuah sanjungan terhormat. Pengistimewaan itu mungkin karena dilihat dari kecerdasannya, tampangnya yang rupawan, kemajuan negeri asalnya, ataupun karena hartanya yang melimpah ini membuat sifat minder pada orang Indonesia sehingga beranggapan bahwa orang Indonesia adalah ras yang rendah dan takar kemajuan sebuah peradaban adalah Barat. Memang, negeri Barat -dalam artian Amerika dan Eropa- terkenal maju dalam segi teknologi dan informasi di hampir segala bidang ilmu pengetahuan. Tapi yang sangat disayangkan, bila benar yang dilihat dari negeri Barat adalah kemajuan peradaban, lalu mengapa sangat sedikit sekali yang tertarik dengan ilmu pengetahuan di sana? Justru lebih banyak mengikuti budaya buruk mereka yang bertentangan dengan budaya dan moral yang berlaku di negeri ini. Karena pengistimewan yang salah inilah yang berdampak buruk pada generasi negeri ini. Kemajaun sebuah negeri sepantasnya tak dilihat dari sisi perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan saja, tapi perlu disortir budaya dan cara pandang mereka dalam berkehidupan.
Overproud seharusnya membuat orang Indonesia ini mengunggulkan rasnya karena sifat ini sesungguhnya menjadikan orang sombong dan berbangga diri atas apa yang dimilikinya, tapi dalam kasus ini justru membuat diri kita merasa tak punya apa-apa dan ketika ada orang asing menyebut nama negeri kita, kita bangga karena merasa terakui oleh orang yang lebih unggul ras dari kita yang pada akhirnya kita mengistimewakan mereka dan mengikuti gaya mereka. Mungkin overproud itu seperti rasa bangga ketika presidan mengapresiasi siswa berprestasi, dia mengistimewakan presiden karena rasa bangganya dia telah diakui.
Selain overproud dan disamping karena bahasa Inggris sebagai bahasa
internasional, sifat orang Indonesia yang mengistimewakan Barat adalah
dikarenakan faktor historis. Post-Colonialism adalah sebuah teori yang
berkaitan erat dengan kolonialisme atau penjajahan. Post-Colonialism berfokus
pada dampak pasca penjajahan dari segi budaya, sosial, ekonomi, geografis,
serta agama.[2]
Nusantara ini telah dijajah selama beradab-abad oleh negeri Barat, seperti
Portugis, Belanda, dan Inggris, yang mana ini sangatlah berpengaruh pada
kehidupan masyarakat Nusantara. Sebagaimana kita tahu bahwa Nusantara ini
dahulu hidup dalam kerajaan-kerajaan, terisolasi dari budaya asing, dan masih
menganut budaya tradisional, sehingga tatkala bangsa Barat datang untuk
mengeksplorasi belahan dunia Timur, termasuk Nusantara, untuk mencari komoditas
baru yang dihasilkan di sana, seperti rempah-rempah, mereka datang dengan gaya
yang belum pernah dilihat oleh pribumi sebelumnya dari pakaiannya,
kendaraannya, peralatannya, dan bahasa serta budayanya. Karena rasa kagum
pribumi melihat itu semua, disambutlah mereka dan diagungkanlah mereka sebagai
ras yang unggul. Apalagi pada masa itu, orang yang berpendidikan kebanyakan
adalah ras berkulit putih itu dikala pribumi masih minim akses pendidikannya.
Rasa kagum nenek moyang kita dahulu menjadi pola pikir yang melekat dan terus
turun-menurun hingga sampai pada kita sekarang bahwa orang Barat adalah ras
unggul yang harus diikuti budayanya untuk mencapai kemajuan peradaban.
Penjajahan secara militer dan
kolonialisme telah usai, tapi bekas-bekas dari pengaruh mereka di tanah
Nusantara masihlah ada. Westernisasi adalah bagian dari bekas pengaruh mereka
pada masyarakat kita dan mungkin pula ini adalah penjajahan baru atau
neo-kolonialisme. Mungkin harta dan nyawa kita tak direbut oleh mereka tapi budaya
yang luhur milik nenek moyang kita mulai luntur oleh penjajahan gaya baru ini.
Memang sifat melekat pada diri kita tentang rasa kekaguman dan pengistimewaan
atas negeri Barat mungkin adalah warisan dari nenek moyang kita, tapi yang
disayangkan oleh kita sekarang adalah kebanyakan dari generasi ini menjadikan
Barat sebagai kiblat mereka dalam berkehidupan.
Menurut KBBI, kata westernisasi
bermakna “Pemujaan terhadap Barat yang berlebihan.” Pemujaan tentu bukan
sekedar menghormati, tapi itu adalah sifat tunduk terhadap segala pengaruh yang
dibawa Barat dan mengikuti setiap gaya dan budaya mereka tanpa sortir dan
pertimbangan. Westernisasi ini sangatlah berpengaruh pada generasi sekarang.
Dikarenakan kemajuan teknologi yang memudahkan informasi-informasi masuk ke
hampir pelosok negeri, maka seakan tak ada rumah yang selamat dari pengaruh
Barat di negeri ini selama mereka dapat mengakses internet atau informasi, baik
dengan gawai atau televisi. Sebenarnya pengaruh ini sudah ada sejak lama dan
mungkin dari masa penjajahan dahulu, tapi semenjak internet mudah diakses,
pengaruh ini menjadi epidemi yang menjangkiti hampir sebagian besar remaja pada
generasi ini. Kita dapat melihat sendiri bagaimana westernisasi ini berpengaruh
sekali pada perilaku remaja, seperti pergaulan bebas, gaya rambut dan bertato,
meminum alkohol, pembulian, tindakan kriminal, model berpakaian, dan
pemikiran-pemikiran seperti childfree dan atheisme. Maka tak heran remaja
sekarang kebanyakan tak berbudi dan berakhlak. Kita pun dapat melihat dampak
dari westernisasi terhadap dunia hiburan tanah air, seperti banyaknya musisi
Indonesia yang menciptakan lirik berbahasa Inggris dan film-film yang bernuansa
K-drama atau Hollywood. Dunia hiburan memiliki pengaruh besar pada pola pikir
seseorang karena kisah dan visualisasinya yang mudah tersimpan dalam otak dan
menjadi sebuah perilaku. Kita lihat sekarang dalam dunia perfilman tanah air
mulai mengadopsi westernisasi sebagai pokok kisahnya, seperti adegan-adegan tak
senonoh, vulgar, kekerasan, perkataan kotor, pakaian terbuka dan hubungan
gelap. Ini tentunya memperparah sifat buruk remaja Indonesia dan menghilangkan
budaya luhur Nusantara, seakan apa yang ditunjukkan dalam film itu adalah
bagian dari pelumrahan sifat-sifat tersebut.
Kita tak menutup mata dari dampak
positif dari westernisasi seperti freespeech, kemampuan bahasa internasional
meningkat, keterbukaan informasi, dan ilmu pengetahuan yang tak ada di negeri
kita dapat kita akses berkat westernisasi. Namun, dampak negetifnya lebih
banyak diambil oleh remaja kita. Lantas bagaimana cara menyelesaikan masalah
ini atau meminimalisir dampak negatif dari westernisasi ini? Kembali pada dunia
pendidikan kita, dampak positif westernisasi itu didapat di sekolah sedangkan
dampak negatifnya didapat tatkala pulang dari sekolah.
Sekolah adalah bagian terpenting
dalam membentuk karakteristik anak, bukan hanya kecerdasan saja. Sekolah
seharusnya menjadi sarana penyortiran pengaruh westernisasi atau bahkan
meniadakan dan membendung pengaruh itu. Mengapa? Karena sejatinya Barat
bukanlah satu-satunya pemiliki metode pembelajaran atau bahan ajar terbaik,
tapi pastinya ada metode lain yang justru lebih tepat diterapkan di Indonesia
ini. Apa itu? Islam jawabannya. Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim
terbanyak di dunia, maka hendaknya Islam menjadi metode utama dalam
pembelajaran dan dapat ditambah dengan mengadopsi metode Barat di dalamnya.
Bagaimana pendidikan Islam itu? Tak harus pesantren atau madrasah saja yang
dapat disebut dengan pendidikan Islam, tapi sekolah pada umumnya hendaknya
menjadikan pendidikan Islam bagian dari metodenya. Pendidikan Islam merupakan
suatu proses yang komprehensif dari pengembangan keperibadian manusia secara
keseluruhan yang meliputi intelektual, spiritual, emosi, dan fisik.[3]
Islam mengajarkan kita untuk menjaga 5 Pokok Kehidupan, yaitu agama, nyawa,
akal, nasab, dan harta. Bila ditinjau dari kelima Pokok Kehidupan, maka
pendidikan yang dijalankan oleh guru di lembaga pendidikan dan orangtua di
rumah haruslah bertujuan untuk menjaga kelima Pokok Kehidupan anak yang mana
ini adalah bagian dari cara Islam menjaga kemaslahatan manusia. Berikut opiniku
tentang hasil dari menerapkan Pendidikan Islam dalam menjaga kelima pokok ini
sebagai upaya mencegah westernisasi negetif pada remaja:
Kelima Pokok Kehidupan yang dijaga oleh Islam ini haruslah
diajarkan di sekolah-sekolah agar para remaja memiliki kejelasan dalam hidupnya.
Jelas dengan akidah yang benar dan kuat dalam menyortir pemikiran Barat. Jelas dalam
berperilaku sehingga tidak merugikan nyawa dirinya dan orang lain. Jelas dalam
menggunakan akalnya sehingga otaknya tetap sehat dan berwawasan luas. Jelas
dalam menentukan pasangan hidup sehingga tak terjerumus dalam perzinahan dan
pelacuran. Jelas dalam menghasilkan rezeki dengan bisnis yang halal dan harta
yang didapat akan memberkahi keluargnya dan masyarakat di sekitarnya.
Dari yang telah kubahas, kebanyakan yang dipaparkan adalah westernisasi
yang berkaitan dengan tindak kriminal dan pergaulan bebas. Westernisasi negatif,
dalam opiniku, tidak harus berbentuk kriminal, meskipun kebanyakan bersangkutan
dengan hal demikian, akan tetapi ada pula sisi negatif yang dipandang oleh
mayoritas orang sah-sah saja, dan bahkan dianggap itu adalah hal positif dan
kreatifitas. Seperti pakaian mini pada wanita atau pakaian wanita yang masih
menonjolkan auratnya walaupun dia berkerudung, padahal wanita muslimah
diwajibkan untuk menutup seluruh aurtannya, bukan hanya rambut saja. Atau yang
baru-baru ini sempat viral tentang dua remaja yang pandai berdansa dan sudah mendapatkan
banyak mendali dari bakatnya tersebut, sebagian orang beropini bahwa ini adalah
tanda generasi rusak, dan sebagian yang lain beropini bahwa justru ini membanggakan
bangsa. Menurutku, dansa memanglah sebuah bakat yang tak dimiliki oleh setiap
orang, apalagi sudah sampai mendapatkan mendali. Itu adalah sebuah prestasi.
Tapi aku lebih condong pada yang mengatakan bahwa ini adalah tanda generasi
rusak. Mengapa? Karena dansa adalah produk westernisasi negatif yang berseberangan
dengan nilai-nilai Islam, di mana di situ ada campur-baur antara lelaki dan
wanita, membuka aurat, dan menampilkan gerakan erotis. Dalam masalah ini, aku
tak peduli dengan non-muslim, yang kumaksud di sini adalah untuk orang muslim. Memang
tak dapat disangkal bahwa ini adalah prestasi dan bakat, namun bakat dan
prestasi seperti ini sama sekali tak menguntungkan bagi masyarakat. Mungkin
dalam sisi ekonomi, Indonesia dapat diuntungkan dengan bakat seperti ini
melalui industri hiburan. Tapi dalam sisi budaya, ini akan menghilangkan kultur
asli Nusanatara, dan dalam sisi moral, ini akan berpengaruh pada karakteristik
generasi sekarang.
Generasi kini selalu menginginkan hal-hal yang instan, dan melalui
cara seperti dansa, konten tak berfaedah, dan sesuatu yang lain yang hanya
berupa hiburan akan menjadi tujuan mereka dalam menghasilkan uang dan popularitas.
Lalu bagaimana nasib negeri ini bila yang dilirik hanyalah hiburan? Bagaimana
dengan para cendikiawan muda yang seharusnya membangun negeri ini? Bila generasi
ini hanya bertujuan menjadi para penghibur yang dianggap “prestasi” maka bisa
jadi kelak para pemimpin dan pembangun negeri ini hanyalah para penghibur, para
pelawak, para dancers. Mau dibawa ke mana arah negeri ini? Bukan hal mustahil
bila kita melihat dari kebanyakan orang Indonesia yang mudah ikut-ikutan dengan
sesuatu yang sedang viral saat ini. Tak perlu membandingkan negeri ini dengan negeri
sumber westernisasi, karena kualitas SDM-nya berbeda. Cukup sadar dan cari perubahan.
Terakhir, kita tak menutup mata dari dampak positif westernisasi.
Kita sangatlah butuh pada negeri Barat yang tentunya lebih maju dari hampir
segala sisi. Tapi, kita punya Islam dalam hati kita yang mana itu lebih mulia
dan lebih harus dipertahankan dibandingkan kita mengikuti sepenuhnya apa yang
dibawa Barat pada kita. Islam yang kita punya haruslah menjadi alat penyortir
westernisasi ini mana yang berguna buat bangsa dan tak bertentangan dengan
agama, dan mana pula yang merusak moral bangsa dan agama mayoritas negeri ini.
Kita selalu berharap kemajuan negeri kita tercinta, Indonesia. Islam bila
dijalankan dengan pola pikir yang benar, akidah yang benar, dan cara
mempraktikan yanbeg benar, maka itu akan sangat membantu meningkatkan kemajuan
peradaban negeri ini. Sebagaimana dahulu Islam menjadi kiblat dunia karena
peradaban modernnya. Memang, Islam di Indonesia ini sering kali dicela karena dianggap
justru menjadi akar penghambat pertumbuhan bangsa kita. Tapi, ya, itu
dikarenakan banyak dari umat Islam Indonesia yang masih berpikir statis dan selalu
berputar-putar dalam masalah perbedaan pendapat dan egoisme-fanatisme setiap
kelompok. Hal seperti ini yang membuat banyak orang yang memisahkan antara agama
dan dunia. Andai saja umat Islam Indonesia berpikir luas, terbuka terhadap perbedaan
pendapat internal, kokoh dan bersatu dalam akidah yang benar, dan tak memisahkan
antara ilmu dunia dan ilmu agama. Maka tak mustahil kita akan menjadi penggenggam
dunia. Dan semua itu akan tercipta oleh tangan-tangan para pemuda karena mereka
adalah motor penggerak genarasi ini. Mereka adalah para pemilik masa depan.
Meraka adalah para pemilik aspirasi cermerlang dan pembaharuan. Bangsa ini
membutuhkan pemuda yang menggunakan hati nuraninya dalam menggunakan akal dan
lisan. Bangsa ini membutuhkan karya-karya inspiratif dan motivatif. Bangsa ini seharusnya
tak membutuhkan goyangan tangan, lenggak-lenggok tubuh, baju tren compang-camping,
lawakan sia-sia, dan muka galau dan sedih. Bayangkan saja para pendahulu kita yang
memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini bila mereka melihat keadaan pemuda kini,
mungkin mereka akan berkata, “Untuk generasi seperti ini kuberjuang?!”
Hanya satu kunci untuk pintu perubahan, yang harus dimiliki oleh
setiap orang. Kunci itu adalah kesadaran. Karena manusia fitrah selalu condong
pada kebaikan. Kebiakan itu akan dirasa hanya dengan kesadaran masing-masing.
Kesadaran adalah kunci perubahan.
[1] Putrandi, Ravananta Ananda. (2021).
“Fenomena Istilah ‘Overproud Indonesians’ Sebagai Dampat dari
Post-Colonialism Melalui Budaya Film Populer di Indonesia.” Jurnal
Tranformasi Global, 1, 2.
[2] Putrandi, Ravananta Ananda. (2021).
“Fenomena Istilah ‘Overproud Indonesians’ Sebagai Dampat dari
Post-Colonialism Melalui Budaya Film Populer di Indonesia.” Jurnal
Tranformasi Global, 1, 3.
[3] Zakir, Muhammad. (2016). “Metode Mengajar
Dalam Pendidikan Islam.” Jurnal Studi Pendidikan, Riset, dan Pengembangan
Pendidikan Islam, 5, 102.
Komentar
Posting Komentar