Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Gambar
Diri kita terdiri dari dua hal yaitu jasad dan ruh. Jasad harus diberi gizi yang cukup untuk tumbuh kuat dan gizinya berbentuk materi seperti makanan dan minuman. Begitu juga dengan ruh yang membutuhkan asupan gizi, namun gizinya bukan berbentuk materi melainkan maknawi yaitu hidayah. Sebagaimana Allah memudahkan kita untuk mendapatkan asupan gizi materi bagi jasad kita, Allah juga telah memudahkan kita untuk mendapatkan hidayah itu sebagai asupan gizi maknawi bagi ruh kita, dengan cara diutusnya para rasul untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar dan juga diberikan pula pada manusia akal sehat agar mudah untuk meyakini apa yang dibawakan oleh para rasul. Para rasul diutus kepada kaum yang sudah mulai melenceng dari jalan yang benar, seperti kaum Nabi Nuh yang sejak 10 abad menyembah Allah lalu kemudian mereka berpaling menuju penyembahan patung akibat perilaku mereka yang berlebihan terhadap orang saleh, maka Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan mereka menuju penyem

"Hampir-hampir Peluit Adalah 'Tuhan' Mereka" (Problematika Pesantren dalam Opiniku)

 "Sungguh, bumi tidak mampu menyucikan seseorang." Kata Salman Al-Farisi.

        Ya, memang tempat yang kita tinggali tak menjamin diri kita baik atau buruk. Nyatanya, itu semua kembali pada diri masing-masing. Memanglah lingkungan adalah bagian terpenting dalam pembentukan karakter seseorang, tapi lingkungan yang baik pun tak menjamin perubahan. Bahkan yang dipikirkan itu adalah tempat sakral dan sangat kondusif untuk penghambaan, seperti Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha pun tak terelakan dari perbuatan kotor. Contohnya, kasus yang sempat viral terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh WNI di Masjidil Haram. Sungguh perbuatan yang memalukan dan telah mengotori tanah suci. Tapi, ya "tanah tidaklah menyucikan seseorang."

***

        Pesantren menjadi daya tarik baru bagi sebagian umat Islam akhir-akhir ini karena para orang tua mulai sadar akan pentingnya pendidikan Islam. Bila dahulu pesantren selalu dipandang kuno dan ortodoks sehingga yang minat hanyalah dikalangan keluarga yang paham agama. Tapi kini pesantren digandrungi oleh para orang tua karena yakin akan kebutuhan ilmu agama bagi kehidupan mereka. 

        Namun, amat disayangkan banyak sekali hal negatif yang muncul di pesantren. Contoh yang paling membuat hati geram adalah pelecehan terhadap santriwati di pesantren. Kasus yang membuat nilai luhur pesantren hilang. Atau kasus kematian santri karena kekerasan staf pesantren, dan kasus lainnya. Entah mengapa saat kasus itu terjadi di pesantren, booming sangat. Padahal kasus-kasus serupa banyak terjadi di sekolah-sekolah umum. Mungkin salah satu sebabnya adalah citra pesantren yang baik, sehingga saat ada satu titik noda hitam langsung terlihat jelas.

        Tapi walaupun demikian, ini adalah fakta. Aku hidup di lingkungan pesantren, maka aku pun tahu bagaimana keadaannya. Santri-santri sekarang mungkin tak seperti santri tempo dulu yang berbudi luhur. Disebabkan oleh modernisasi dan perkembangan teknologi informasi, maka informasi buruk itu pun mudah masuk ke dalam pesantren yang seharusnya terisolasi dari dunia luar. Kita tak bisa tutup mata dari ini semua, tapi kesadaranlah yang harus dibangun.

        Seharusnya santri adalah orang terdepan ketika pergi ke masjid, tapi kebanyakan pergi karena tiupan peluit dan hukuman. Hampir-hampir peluit itu menjadi "tuhan" mereka. Mengabaikan panggilan Tuhan dan menjawab siulan peluit. Karena paksaan pergi ke masjid di pesantren, maka saat waktu luang ketika liburan, mereka tak pergi ke masjid dan lebih lalai.

        Seharusnya santri menjadi orang yang berani mengajarkan ilmu setelah mereka lulus, tapi saat mereka keluar layaknya tak pernah belajar agama, bahkan agamanya pun dibuang begitu saja. Ilmu yang telah dipelajarinya bertahun-tahun tak berguna. Ke luar gerbang layaknya preman dan tampangnya bagai seorang tak karuan.

        Seharusnya santri tahu batasan, tapi garis. Tuhan mereka lampaui dengan enteng. Yang lebih parah lagi, mereka lebih membenci agama daripada orang yang tak paham agama. Benci dalam artian bosan dengan nilai-nilai agama. "Islam, tapi tak suka yang Islami." Begitulah istilahnya.

        Aku tak sedang menjelekkan sebuah pesantren. Aku adalah santri dan geram bagi yang menghina pesantren. Tulisan ini ditujukan untuk pencarian solusi agar santri keluar dengan agamanya, bukan selembaran kertas tanda kelulusan. "Nama baik pesantren harus dikembalikan."

        Memang pesantren bukanlah tempat suci dan menyucikan. Kenakalan remaja adalah hal yang wajar karena mereka—atau aku sendiri—dalam fase gejolak. Tapi, rasanya sangat kecewa saat aku pernah mendengar perkataan Ust. Abdul Samad bercerita tentang kenakalan masa lalu dan masa kini, "Nakalnya kita dulu tak seperti nakalnya anak sekarang. Kalau kita baca (berita) yang mana anak SD itu—mohon maaf—memperkosa anak TK. Itu kan karena faktor eksteren yang luar biasa dari media sosial, seperti tontonan dan macam-macam. Kalau kita dulu nakal paling tidak hanya terlambat pulang karena ikut nguras kolam ikan, nanti juga minta maaf sama orang tua. Atau main layangan terus menginjak tanaman orang. Jadi, nakalnya itu masih ada batasan-batasan." Rasanya amat rindu masa lalu. Aku merasa terpukul dan ingin melihat kenakalan yang wajar, tak seperti sekarang yang sudah luar biasa liar. Dan memang dahulu pun guruku pernah berkata, "kalian boleh nakal, asalkan jangan ganggu orang lain." Apakah aku salah zaman? Tak bisa menyesali waktu. Waktu tak salah, tapi kitanya yang merusak kata waktu. Sebagaimana Imam Syafi'i rahimahullah berkata,

نعيب زماننا والعيب فينا | وما لزماننا عيب سوانا
ونهجو ذا الزمان بغير ذنب | ولو نطق الزمان لنا هجانا
Kita menyalahkan masa, sedangkan kesalahan itu pada kita
Tidaklah masa itu bersalah melainkan kita sendiri
kita mencela masa sedangkan ia tiada berdosa 
Kalau masa itu mampu bertutur niscaya kita dicelanya

        Karena kita haruslah tidak mencela zaman ini—walau sering dikata zaman edan, zaman yang penuh fitnah dan gonjang-ganjing. Memang faktanya demikian. Tapi, kitalah yang membuat zaman ini disebut seperti itu—, maka kitalah yang perlu membenahi diri dan mencari jalan keluar atas masalah ini. Tangan demi tangan akan membuahkan hasil yang maksimal—Insya Allah.

Aku pandang dari beberapa sisi:

• Sisi orang tua

        Menurut opiniku, faktor mengapa banyak santri yang lalai dan justru jauh dari harapan adalah dikarenakan keyakinan orang tua yang menitipkan sepenuhnya pendidikan kepada pesantren dan menjadikan pesantren sebagai "pabrik" yang mampu menghasilkan barang bermutu sama dengan yang dipaparkan dalam brosur atau sebagai "pencucian mobil" yang mampu membersihkan noda sehingga tampak lebih suci. Ingatlah bahwa pabrik tak selalu menghasilkan barang bermutu, pasti ada limbah yang terbuang. Bahan baku yang tak bermutu hanya akan menjadi serpihan limbah terbuang. Maka, anak haruslah dididik sejak di rumah dan menjadikan rumah sebagai sekolah pertama sehingga anak menjadi bahan baku yang unggul dan tatkala masuk ke pesantren pun dia akan menjadi anak yang unggul. Ingatlah bahwa orang tua tidaklah boleh mengembankan keseluruhan pendidikan di pesantren. Jangan titipkan anak di pesantren seperti menitipkan mobil di pencucian mobil. Anak memliki perasaan, maka orang tua pun haruslah menampakkan rasa empati dan pendekatan agar anak bisa merasakan keberadaan dan tak merasa dibuang. Tentunya, dengan tak memanjakan. Merawat anak itu sesuai dengan umurnya. Orang tua pun haruslah menjaga anak agar tetap bersih dari pemikiran-pemikiran salah dan gaya hidup yang tak sehat, bukanlah anak dicuci di pesantren dan pulang ke rumah lalu dikotori lagi dengan membiarkan mereka terbang bebas atau mencekoki mereka dengan pemikiran yang tak didasarkan oleh ilmu yang membuat anak bingung "di mana letak kebenaran?" Anak selalu memandang orang tua itu benar, maka orang tua harus lebih dulu memperbaiki cara pandang hidup yang baik dan menjadi suri tauladan yang baik. Terutama agama yang mencakup askep segala kehidupan, bila orang tua menggantungkan agama pada anaknya dengan harapan anaknya lebih saleh sedangkan orang tuanya pun sama sekali tak belajar agama, maka sulit sekali mencari keselarasan, dan hasilnya anak kehilangan sosok teladan yang harusnya lebih dulu menerapkan agama itu. Orang tua pastilah tak ingin dihakimi anaknya, dan itulah alasan orang tua harus paham pula agama.

        Dari pandanganku, banyak santri yang tak betah dan melanggar di pesantren rata-rata karena dia merasa terpaksa ada di sana. Istilah "penjara suci" amatlah populer. Mereka melakukan hal demikian karena merasa terbuang dari rumahnya dan dikekang kebebasannya. Mereka merasa tak disayangi dan orang tua menyimpan mereka di pesantren adalah langkah pengurangan "beban rumah", menurut anggapan mereka. Maka, orang tua berperan penting menanamkan tujuan-tujuan dan maksud yang tepat ketika memasukkan anak ke pesantren. Tanamkan pada diri mereka bahwa masuk pesantren adalah kebanggaan bagi keluarga, tunjukkan rasa cinta dan kasih sayang bahwa masuknya anak ke pesantren adalah untuk menjaganya dari pergaulan bebas. Tanyakan perkembangan anak. Tanyakan masalah dan jangan buat masalah itu pembelaan untuk anak terhadap pesantren, tapi jadikan masalah itu pencarian solusi untuk anak agar terus kuat menghadapi kekurangan yang ada di pesantren.
Pesantren itu pasti banyak kekurangan, baik dari fasilitas, sistem pendidikan, admistrasi, dan sisi-sisi lainnya. Karena tak ada yang sempurna. Maka, jangan kita tuduh pesantren atas ketidakmampuan santri, tapi tanyakan pada dirinya dan niatnya. Bila niat orang tua memasukkan anak ke pesantren adalah untuk menuntut ilmu, maka bagaimanapun kekurangan di sana haruslah diterima, bukan dituntut dengan uang.

• Sisi guru

        Nyatanya, aku sendiri bukanlah seorang guru dan tak pandai mengajar. Tapi, aku memiliki opini untuk "bagaimana cara seorang guru itu mendidik anak dengan baik."

        Tantangan seorang guru itu lebih berat dari orang tua. Bila orang tua hanya mengurus beberapa anak dan tahu karakteristik anak sejak lahir, sedangkan guru harus menghadapi banyak anak dengan latar belakang keluarga yang berbeda dan karakteristik yang berbeda yang baru diketahui sejak dia masuk sekolah. Maka, kekurangan guru dalam memahami cara mendidik anak itu wajar.

        Guru haruslah menjadi sesosok yang dipandang kuat oleh santri-santri sehingga mereka segan untuk membantahnya. Guru pun, di samping harus berwibawa, harus memiliki pendekatan yang intensif terhadap psikologis dan mentalitas santri agar santri merasa dihargai dan dicintai. Guru yang baik adalah dia yang menghargai pendapat santrinya, mengapresiasinya, memaklumi kesalahannya, memahami cara berperilakunya, dan menahan dari amarah terhadapnya.

        Amarah tidak akan membuahkan hasil apapun. Memang, butuh ketegasan, tapi tanpa wibawa pun amarah hanya menjadi bentakan yang masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Amarah hanya menanamkan benci pada santri itu dan menghilangkan rasa hormatnya pada guru. Bedakan antara amarah dan tegas, tegas adalah sifat kuat dengan menuturkan kata yang lugas tanpa caci maki atau mata merah dan menyampaikannya dengan kasih sayang bersamaan dengan wibawa yang dimilikinya. Sedangkan amarah adalah menunjukkan rasa ingin dihormati, berusaha menciptakan wibawa sendiri, bersamaan dengan bentakan dan muka masam disertai rasa benci dan hawa nafsu. Keduanya bisa menggunakan pukulan, tapi berbeda efek jera yang ditimbulkan; pertama akan menumbuhkan rasa segan dan hormat, kedua akan menumbuhkan benci dan pembangkangan.

        Santri biasanya melanggar sebagai cara untuk menunjukkan pemberontakan dari ketidaksukaan terhadap pesantren, baik karena paksaan orang tuanya ataupun gaya dari gurunya. Maka, guru harus meredam pelanggaran itu dengan bukan banyak menciptakan aturan yang semakin mengekang, tapi dengan melonggarkan aktivitas dan banyak-banyak bergaul dengan para santrinya.

        Peran guru tak sebatas menyampaikan materi ajar di kelas dan membiarkan kehendak bebas santri di luar kelas. Tapi, selama dalam lingkungan pesantren, guru bertanggungjawab atas segala kegiatan di sana. Terlepas dari apa yang diajarkan atau bagian apa yang diperaninya. Guru yang baik tidak akan saling menyandarkan tanggung jawab pada bagian yang "lebih berhak" dalam mengurus santri.

Menurut buku The Tipping Point karya Malcolm Gladwell, "Mengajar yang baik adalah mengajar dengan cara interaktif. Mengajar yang baik melibatkan anak secara individu. Mengajar yang baik memanfaatkan indra yang ada. Mengajar yang baik memberikan tanggapan langsung kepada anak."

        Guru pun harus membedakan cara memperlakukan setiap santri. Setiap santri memiliki karakteristik yang berbeda, maka cara pendekatannya pun tak bisa dipukul rata. Jauhnya guru terhadap santrinya akan membuat ia merasa tak dipandang dan tak dianggap serta merasa bahwa "dia bukanlah guruku." Bila, sudah ada kata seperti itu dalam lubuk hatinya. Maka, guru harus langsung mendekatinya, minimal dengan mengucapkan salam selalu padanya walau dia berusaha palingkan wajah.

        Dan paling utama adalah doa. Aku tahu bahwa guru-guru selalu mendoakan para muridnya. Tapi, tak salah kusampaikan bahwa hati anak-anak ada digenggaman Allah, maka mintalah pada Allah agar melunakkan hatinya, memudahkan pemahamannya, meninggikan budi pekertinya, rasa hormatnya pada gurunya, dan capaikanlah cita-citanya.

• Sisi santri

        Aku sebagai santri tahu betul bagaimana perkembangan sosial yang terjadi. Dikatakan bahwa gen Z memiliki moral dan sifat yang buruk, maka begitu pula yang terjadi di pesantren. Pesantren kini tak lagi terisolasi dari dunia, bahkan dunia pun masuk dengan mudahnya.

        Asal mula perilaku buruk adalah disebabkan pergaulannya selama di rumah lalu dia bawa ke pesantren dan menjadikan itu sebuah tren baru. Nyatanya, senioritas itu ada dan mungkin sulit sekali diubah. Senioritas muncul dari generasi ke generasi, dan saat hal itu muncul di awal berdirinya sebuah pesantren, maka sulitnya bukan main. Ada sebuah siklus balas dendam dari adik kelas yang merasa terhakimi oleh kakak kelasnya. Dan terus diwarisi sifat buruk itu hingga menjadi tradisi dan adat lumrah.

        Masa remaja adalah masa peniruan yang cermat. Bila bayi meniru sebuah momen, dia tak mungkin banyak bertindak karena ketidakmampuan tapi akan berujung panjang dan menjadi kebiasaan. Remaja mungkin saja tak akan menjadi sifat yang melekat saat meniru andaikata dia sadar di suatu saat, namun remaja mampu bertindak semaunya dan punya kekuatan untuk melakukannya sehingga tontonan, teladan buruk, dan tren yang sedang viral saat itu akan memengaruhi gayanya dan menganggap bahwa itulah jati dirinya. Remaja sekarang banyak yang tak punya pendirian, mereka cenderung mengikuti, bahkan pada titik perasaan pun mereka berusaha menyamakan dengan perasaan orang lain. Semisal A bersedih karena masalah keluarga, lalu B merasakan kesedihan dengan masalah yang berbeda, maka dia melihat bagaimana A berperilaku atas kesediaannya dan dia ikuti. Bila saja peniruan rasa itu baik, maka Alhamdulillah. Tapi bila yang dia tiru itu cara merasakan yang salah, maka yang timbul hanyalah galau dan pemberontakan. Apalagi sekarang banyak film tentang konflik remaja yang menampilkan cara pelampiasan pada kebebasan. Itulah masalahnya.

        Menurutku, untuk mengubah masalah ini adalah dengan dua jalur; guru dan orang tua. Remaja sekarang kemungkinan belum bisa menetapkan dirinya secara kokoh, atau mematangkan akalnya untuk kausalitas dari apa yang dia perbuat. Maka, peran guru dan orang tualah yang harus ditunjukkan.

        Saat santri punya pendirian, dia akan kuat menghadapi keterasingan akibat menjaga pergaulan atau bergaul dan membatasi arah jalannya.

        Pesantren tak selamanya menjadi lingkungan orang-orang saleh, di segala tempat yang buruk selalu ada. Maka, pesantren bukanlah "pencucian mobil" yang mampu menjamin kebersihan diri santri. Kadang kala, santri yang di rumah dididik dengan cara yang baik dan sudah berbudi luhur dapat dihancurkan oleh lingkungan di pesantren! Begitu pun sebaliknya. 

***

    Kesimpulan 

        "Sungguh, bumi tidak mampu menyucikan seseorang." Maka, jangan pukul rata apa yang terjadi di pesantren. Tak semua pesantren itu baik dan begitu pula, tak semua pesantren itu buruk. Carilah pesantren yang mengajarkan agama sesuai pemahaman salaf dan mengajarkan budi yang luhur. Lihatlah pesantren dari kualitas guru-gurunya, bukan pada kualitas bangunan dan kuantitas santrinya.

        Santri adalah kebanggaan. Rasa bangga menjadi santri harus ditanamkan pada setiap santri. Pesantren haruslah menjadi area pembangun generasi unggul dan menjadi arena perjuangan untuk membentuk kemandirian, ketakwaan, dan kecerdasan. Memang, tantangan berat bagi guru-guru yang harus mengatur anak-anak dengan latar belakang yang sulit. Tapi mencari metode terbaik—Insya Allah—dapat membantu perkembangan dunia pesantren. Nama baik pesantren harus kembali lagi. Hormatku pada guru-guru yang tak lelah mengikis masanya demi santri-santrinya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemilu (dari mata orang sok tahu)

Mimpi Untuk Cianjur

Penghargaan Yang Bukan Penghargaan (Mencari Hakikat Prestasi & Apresiasi)