Penghargaan Yang Bukan Penghargaan (Mencari Hakikat Prestasi & Apresiasi)
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Aku pernah membaca sebuah artikel tentang pendidikan di Finlandia. Sebagaimana kita
ketahui bahwa Finladia meraih peringkat teratas pendidikan terbaik di dunia dalam
Literasi Membaca, Matematika, dan Ilmu Alam, setelah mendapatkan hasil uji dari
Program for International Student Assessment (PISA) yang keluar pada tahun 2000, bersanding dengan Korea
Selatan dan Jepang. Pendidikan berkualitas itu bergantung pada banyaknya
pendidik yang diberikan keleluasaan dalam meramu kurikulum, menentukan metode,
dan materi ajar.[1] Namun ada satu hal yang menarik sekali dari artikel
itu, dikutip dari akupintar.id bahwa, “Sistem pendidikan di Finlandia ini
percaya bahwa kunci dari kesuksesan adalah dengan kerjasama, bukan dengan
berkompetisi.”[2]
Bukan berarti Finlandia menganut metode yang
sama dengan Athena, tapi aku menyimpulkan dari kedua hal tersebut bahwa anak
haruslah disetarakan haknya dalam pendidikan dan menunjukan pada anak bahwa
prestasi yang dimilikinya adalah untuk lingkungan di sekitarnya.
Aku merasa kedua hal itu tak ada pada
pendidikan Indonesia. Mungkin karena kebodohanku atau ketidaktahuanku yang tak
melakukan survey. Namun, ini hanyalah sebuah opiniku dari apa yang kualami dan
kulihat selama ini. Di Indonesia, kebanyakan siswa itu mendapatkan
ketidaksetaraan hak di lingkungan sekolahnya, baik faktor finansialnya, faktor
perilakunya, dan faktor kecerdasannya yang menjadikan lingkungan sekolah itu
terbagi-bagi pada kelompok-kelompok. Faktor finansial memisahkan antara kaya
dan miskin. Faktor perilaku memisahkan antara yang baik dan yang buruk
(walaupun memang yang baik dan yang buruk tak akan pernah bersama). Dan faktor
kecerdasaannya, dan ini yang disoroti dalam tulisan ini, memisahkan antara yang
pintar dan yang kurang pintar. Pemisahan dikarenakan faktor kecerdasan ini
biasanya dilakukan oleh sekolah itu sendiri, bahkan oleh orangtuanya, di mana para
siswa dituntut untuk mendapatkan nilai akademik yang tinggi dan itulah takaran
kecerdasan sedangkan yang tak mampu bersaing akan tersingkirkan dan tak
mendapatkan perhatian. Padahal setiap siswa itu memiliki kompetensi dan
bakatnya masing-masing. Nilai tak dapat dipukul rata sebagai takar kecerdasan.
Hal seperti ini membuat anak yang tersingkirkan merasa bahwa dirinya gagal dan
hanyalah seorang bodoh yang suram masa depannya dan pada akhirnya dia mencari
cara lain untuk mendapatkan sebuah penghargaan dari lingkungannya. Dan juga
membuat ketidakadaanya kerjasama antara siswa di sekolah dikarenakan anak yang
kurang pintar merasa tak berharga dan semuanya diembankan pada anak yang
pintar.
Kemudian, seringkali siswa itu berlomba-lomba
untuk mendapatkan juara dan prestasi untuk dirinya, bukan untuk lingkungannya
atau kepentingan bersama. Maksudnya bahwa gelarnya, karyanya, prestasinya, dan
semua perjuangannya adalah untuk dirinya sendiri, jabatan, harta, dan
popularitasnya atau untuk lembaganya sehingga lingkungan kurang mendapatkan
pengaruh dari semua itu. Hal seperti ini menjadikan siswa tak memiliki sifat altruisme,
yaitu mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan dirinya. Dampaknya
adalah masyarakat kekurangan sosok yang dapat membantu meningkatkan kualitas
mereka. Misalnya, seorang Qari international yang telah memenangkan juara, tapi
dia sama sekali tak pernah menjadi imam atau mengajar mengaji di kampungnya
yang mana itu lebih dibutuhkan oleh masyarakat dibandingkan hanya sebuah
kejuaraan yang membanggakan dirinya. Atau seorang sarjana hukum yang seharusnya
menjadi hakim yang adil, tapi malah berbuat zalim pada yang lemah dan ringan
pada yang kuat. Dan contoh lainnya. Hal seperti ini terjadi dikarenakan
ketidakseimbangan hak pendidikan semasa di sekolah sehingga anak harus berlomba
menjadi teratas dan meninggalkan altruisme.
Apakah salah berlomba?
Tentu tidak. Berlomba adalah pacuan untuk
siswa terus meningkatkan kualitas bakat dan kemampuannya. Berlomba pula menjadi
sarana meninggikan nama dan menghasilkan harta. Dalam agama Islam pun kita dianjuurkan
untuk berlomba dalam kebaikan. Yang salah dari berlomba bukan pada ajang
perlombaannya, akan tetapi pada motivasi siswanya. Sekolah seringkali
memaksakan siswa untuk memenangkan perlombaan dan bila kalah seakan itu menjadi
sebuah aib karena telah memalukan kepercayaan yang diembankan sekolah, kemudian
memotivasi mereka bahwa menang perlombaan adalah untuk menjunjung nama
lembaganya sehingga hadiah yang didapat diambil alih oleh sekolah sebagai bahan
jual untuk menarik perhatian bahwa sekolah ini adalah sekolah favorit dan
unggul, dan mengunggulkan siswa yang sama untuk mengikuti perlombaan karena
bakatnya terlihat dan mengabaikan siswa lain yang bakatnya masih terpendam dan tidak
didorong untuk berusaha menampilkan bakatnya. Padahal seharusnya perlombaan itu
diadakan agar setiap siswa terdorong untuk menampilkan bakatnya.
Kehilangan kerjasama dan tidak ratanya hak
pendidikan, menurutku, dikarenakan faktor makna prestasi dan apresiasi. Karena
berlomba tak dapat dipisahkan dengan apresiasi dan makna prestasi itu sendiri.
Serta kerjasama dan bukan berkompetisi pun tak luput dari dua hal tersebut.
Hakikat prestasi dan apresiasi
Secara singkat, prestasi adalah hasil dari
usaha dan apresiasi adalah memberikan penghargaan. Siswa berprestasi pasti mendapatkan
apresiasi. Tapi, seringkali sekolah lupa tentang makna prestasi sehingga yang
diapresiasi hanyalah orang yang cerdas dalam akademik. Menurutku dan menurut
mungkin banyak orang, bahwa prestasi itu tak sebatas kecerdasan akademik, nilai
seratus, mendapatkan mendali, atau hal-hal yang bersifat apresiasi material.
Prestasi itu, sebagaiamana makna aslinya yaitu hasil dari usaha, hak setiap
siswa bahkan bagi mereka yang tak pernah “berprestasi” sekalipun. Selama mereka
berusaha untuk mendapatkan hasil dari sesusatu yang baik, bermanfaat, dan
berguna bagi dirinya dan bagi sekitarnya maka itu telah cukup disebut prestasi.
Misalnya, seorang siswa yang cenderung mendapatkan nilai yang kecil, tapi dia
selalu berusaha berperilaku baik, maka itu adalah prestasi. Atau siswa yang
mempelajari ilmu di luar materi yang ada padahal di kelas dia tak mampu
bersaing, maka belajar ilmu di luar materi yang ada adalah prestasi karena dia
mempelajari apa yang dia sukai. Akan tetapi, tak semua pun dapat disebut
prestasi. Dalam definisiku bahwa prestasi adalah hasil dari usaha untuk
mendapatkan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bagi lingkungan sekitarnya.
Dan prestasi itu harus berbentuk ilmu, baik terpancarkan dari otaknya atau
tercerminkan dari perilakunya.
Apresiasi seringkali dimaknai dengan pemberian
piagam, hadiah, piala, dan sejenisnya. Memang semua itu adalah bentuk
apresiasi. Akan tetapi, jika apresiasi itu ingin berbentuk materi seharusnya
bentuk-bentuk apresiasi itu berupa sesuatu hal yang dapat berguna bagi siswa
berprestasi ke depannya. Apresiasi itu diberikan sesuai prestasi siswa itu. Aku
tak berkata bahwa piagam dan piala itu tak berguna, kukatakan “berguna” tapi
hanya sebatas pajangan atau bahan untuk pendaftaran ke jenjang yang lebih
tinggi sebagai bukti prestasi. Akan tetapi, lebih terkenang dan berguna bila
apresiasi itu berupa, misalnya, buku bagi siswa rangking ke-1. Namun dalam kesempatan ini, apresiasi yang
kumaksudkan di tulisan ini adalah sebuah penghargaan.
Penghargaan
adalah bentuk menghargai orang. Sebernarnya ini adalah curahan hatiku, kuingin
berkisah sedikit yang menjadi dasar dari opini ini. Dahulu ketika aku masih
duduk di bangku SD, tak ada prestasi yang kuraih di sana. Lomba tak pernah,
rangking pun entah berapa, di kelas duduk di belakang. Aku hanya menikmati masa
SD untuk bermain dan bermain, bukan mengukir nama ataupun prestasi, dan
dikarenakan aku pun belum menemukan diriku akan pergi ke mana. Beranjak ke
jenjang SMP, aku masuk ke pesantren tahfidz yang tentunya kebanggaan di sana
adalah menjadi seorang hafidz. Dengan tekad yang kuat dan ambisius yang tinggi,
akhirnya aku dapat menyelesaikan hafalan 30 juz dan menjadi yang pertama
selesai di pesantren itu. Tentunya atas izin Allah. Setelah itu naik ke jenjang
berikutnya yaitu SMA, melanjutkan pesantren di tempat baru. Pelajaran agama
menjadi passionku karena mudah dipahami menurut anggapanku. Namun,
dikarenakan kurangnya perhatian dari guru, aku menjalani 3 tahun masa
pembelajaran di sana secara datar. Belajar, menghafal, ujian, nilai bagus,
rangking, kemudian lupa lagi, materi baru, belajar, menghafal, ujian, nilai
bagus, rangkin, kemudian lupa lagi. Begitu terus siklusnya. Hingga kutersadar
ketika telah menjadi pengabdian dan mencopot status santri. Pertanyaan besar
dari diriku ke mana semua nilai itu? Sekarang yang tersisa hanyalah ilmu
yang terlupakan, itukah yang kucari dahulu? Berlembar-lembar materi ajar yang
kuhafal dan kupelajari sirna karena tak adanya bangunan kokoh yang
mendasarinya. Bahkan, kumerasa menyesal bila melihat nilaiku yang bagus itu
tapi tak sesuai dengan kadar keilmuanku. Aku bukan orang pintar, hanya tahu
jawaban yang benar saat ujian. Untuk apa kubelajar buku-buku tebal bila pada
ujungnya kudiberikan lembaran soal-soal jawaban agar nilaiku bagus dan tertera
di ijazahku supaya mudah diterima di universitas. Betapa ku akan malu bila
mereka mempertanyakan nilaiku tapi ilmuku tak mampu berbicara. Aku gagal. Aku
harus mengulang dari awal. 30 juz yang sudah kuhafalkan nyatanya bukanlah
sebuah hal istimewa, bahkan itu hanyalah beban yang kupikul selama hidupku
karena ketidakmampuanku dalam mencerminkan Al-Quran. Ilmu-ilmu agama yang telah
kupelajari sedikit demi sedikit terlupakan. Tinggal piagam prestasi yang
berbicara bahwa diriku pernah bernilai. Dari penyesalan itu, muncullah sebuah
perspektif bahwa “Penghargaan bukanlah hanya sebuah lembaran kertas yang
bertuliskan nama.”
Mulai sejak itu ku tak lagi bangga dengan
penghargaan semacam itu. Nilai ada di tangan guru, mereka yang meninggikan,
bukan sebab kecerdasan kita. Maka, nilai bukan takaran kecerdasan. Serasa tak
berguna penghargaan itu ketika pada nyatanya kumerasa tak dihargai. Bukan
berarti kuingin dihargai atau dibedakan antara yang lain karena prestasiku,
tapi aku ingin dihargai dengan penghargaan yang sesungguhnya. Dan semoga
tulisanku kini mewakili orang-orang yang sama sepertiku yang sadar bahwa
penghargaan adalah menghargai.
Menghargai adalah sentuhan perasaan yang
disalurkan oleh guru kepada muridnya. Menghargai adalah dengan selalu
mendekatinya, mengajaknya mengobrol, menerima pendapatnya, mendorongnya untuk
terus menjadi seseorang, memotivasinya untuk semangat menggapai cita-cita,
memberikan hal istimewa padanya. Dan memberikan penghargaan seperti ini berlaku
pada semua murid, baik yang berprestasi ataupun yang belum berprestasi. Apa
gunanya saat kau diberi sebuah penghargaan, namun kau sama sekali tak merasakan
bahwa kau dihargai oleh gurumu? Maka, penghargaan terbesar menurutku adalah
saat ada guru yang memotivasiku untuk terus maju hingga kelak aku menjadi
sesuatu, memberikanku ilmu dengan pendekatan yang baik, walau dia tak pernah
memberikanku piagam ataupun piala.
Tulisan ini bukanlah tentang metode Finlandia atau Athena. Tulisan ini pencarian solusi agar para murid itu memiliki standar yang sama dalam akhlak dan standar yang berbeda dalam keilmuan yang semuanya dihargai dengan pengharagaan yang sesungguhnya oleh guru-gurunya sehingga menciptakan kerjasama yang tumbuh dari saling menghargai dan berkarya atau berlomba untuk kepentingan bersama.
Kesimpulan
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa setiap murid
itu berhak mendapatkan kesetaran hak di sekolahnya. Kecerdasan tak dapat
dipukul rata. Hanya akhlak yang harus dipukul rata. Akhlak yang buruk bukanlah
hak yang ditoleransi. Akhlak yang baik haruslah ditanamkan pada setiap murid.
Adapun kecerdasan, maka hal itu tentunya setiap mereka berbeda derajatnya. Oleh
karena itu sekolah tak dapat memaksakan murid untuk memiliki standar yang sama.
Ingatlah bahwa prestasi itu dalam segala bidang, asalkan baik bagi dirinya dan
orang lain. Setiap murid pastilah memiliki prestasi, akan tetapi di antara
mereka ada yang berbuah mendali dan ada pula yang tak tampak. Setiap prestasi
harus diapresasi. Dan apresiasi yang sebenarnya adalah menghargai setiap murid
tanpa membedakan antara yang pintar dan kurang pintar.
Saat murid tak lagi dibedakan karena
prestasinya, tingkat ekonominya, dan status sosialnya. Kemudian dihargai dengan
penghargaan yang sesungguhnya. Maka, budaya kerjasama akan ada karena kerjasama
datang dari hasil saling menghargai setiap individu. Dan saat kerjasama telah
menjadi budaya, maka berkompetisi demi kepentingan personal pun akan hilang,
karena akan muncul pemikiran bahwa setiap pencapaian, karya, dan prestasi semua
adalah untuk kepentingan bersama karena dikerjakan dengan kerjasama. Bila sudah
tercipta budaya kerjasama dan berkarya untuk bersama, maka diharapkan para
murid memiliki sensitivitas atau peka terhadap keadaan di sekitarnya dan
berusaha untuk berpartisipasi membangun masyarakat yang unggul dengan prestasi
dan bakat mereka masing-masing, serta sifat altruisme sehingga siswa keluar
dari sekolah menjadi produk berguna, bukan limbah yang mencemari masyarakat.
Semoga tulisan ini berguna. Maaf bila terdapat
kesalahan.
[1] Id.wikipedia.org. (2021, 21 Juni).
Pendidikan di Finlandia. Diakses pada 28-Febuari-2023, dari Pendidikan
di Finlandia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.
[2] Akupintar.id. (2021). 5 Fakta Sistem
Pendidikan Finlandia yang Sangat Berbeda dengan Sistem Pendidikan Indonesia.
Diakses 28-Febuari-2023, dari https://akupintar.id/info-pintar/-/blogs/yuk-belajar-dari-sistem-pendidikan-di-finlandia.
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar