Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Gambar
Diri kita terdiri dari dua hal yaitu jasad dan ruh. Jasad harus diberi gizi yang cukup untuk tumbuh kuat dan gizinya berbentuk materi seperti makanan dan minuman. Begitu juga dengan ruh yang membutuhkan asupan gizi, namun gizinya bukan berbentuk materi melainkan maknawi yaitu hidayah. Sebagaimana Allah memudahkan kita untuk mendapatkan asupan gizi materi bagi jasad kita, Allah juga telah memudahkan kita untuk mendapatkan hidayah itu sebagai asupan gizi maknawi bagi ruh kita, dengan cara diutusnya para rasul untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar dan juga diberikan pula pada manusia akal sehat agar mudah untuk meyakini apa yang dibawakan oleh para rasul. Para rasul diutus kepada kaum yang sudah mulai melenceng dari jalan yang benar, seperti kaum Nabi Nuh yang sejak 10 abad menyembah Allah lalu kemudian mereka berpaling menuju penyembahan patung akibat perilaku mereka yang berlebihan terhadap orang saleh, maka Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan mereka menuju penyem

Penghargaan Yang Bukan Penghargaan (Mencari Hakikat Prestasi & Apresiasi)

Aku pernah membaca sebuah artikel tentang pendidikan di Finlandia. Sebagaimana kita ketahui bahwa Finladia meraih peringkat teratas pendidikan terbaik di dunia dalam Literasi Membaca, Matematika, dan Ilmu Alam, setelah mendapatkan hasil uji dari Program for International Student Assessment (PISA) yang keluar pada tahun 2000, bersanding dengan Korea Selatan dan Jepang. Pendidikan berkualitas itu bergantung pada banyaknya pendidik yang diberikan keleluasaan dalam meramu kurikulum, menentukan metode, dan materi ajar.[1] Namun ada satu hal yang menarik sekali dari artikel itu, dikutip dari akupintar.id bahwa, “Sistem pendidikan di Finlandia ini percaya bahwa kunci dari kesuksesan adalah dengan kerjasama, bukan dengan berkompetisi.”[2]

Mendidik anak untuk bekerjasama dan tidak saling berlomba pastilah ada langkahnya, tak serta-merta ada pada diri anak. Lazimnya anak itu senang berlomba menjadi yang pertama dan utama di antara kawan-kawan dan di situlah sebuah paksaan sosial yang menjadi tolak ukur prestasi anak dan kebanggaannya. Di Finlandia, mereka menerapkan sistem inklusif di mana semua siswa dianggap setara dalam haknya untuk mendapatkan pendidikan. Mungkin sistem inilah yang mendasari kepercayaan bahwa sukses itu didapat dengan kerjasama dan bukan berlomba. Aku pun pernah membaca sebuah buku berjudul The Geography of Genius karya Eric Weiner, ada sebuah pembahasan menarik, dia menjelaskan tentang kejayaan Athena dan aku mendapatkan pelajaran berharga dari situ, yang kurang lebih maknanya bahwa Yunani tidak mengapresiasi karya seseorang dan begitulah cara mereka mengapresiasi karena dengan mengagungkan seseorang karena karyanya akan membuat orang berlomba untuk meraih kejayaan dirinya sendiri, mereka tak menghendaki itu karena mereka ingin semua orang setara dengan karyanya masing-masing dan karena mereka ingin semua orang tak berlomba membangun nama melainkan membangun kejayaan Athena.

Bukan berarti Finlandia menganut metode yang sama dengan Athena, tapi aku menyimpulkan dari kedua hal tersebut bahwa anak haruslah disetarakan haknya dalam pendidikan dan menunjukan pada anak bahwa prestasi yang dimilikinya adalah untuk lingkungan di sekitarnya.

Aku merasa kedua hal itu tak ada pada pendidikan Indonesia. Mungkin karena kebodohanku atau ketidaktahuanku yang tak melakukan survey. Namun, ini hanyalah sebuah opiniku dari apa yang kualami dan kulihat selama ini. Di Indonesia, kebanyakan siswa itu mendapatkan ketidaksetaraan hak di lingkungan sekolahnya, baik faktor finansialnya, faktor perilakunya, dan faktor kecerdasannya yang menjadikan lingkungan sekolah itu terbagi-bagi pada kelompok-kelompok. Faktor finansial memisahkan antara kaya dan miskin. Faktor perilaku memisahkan antara yang baik dan yang buruk (walaupun memang yang baik dan yang buruk tak akan pernah bersama). Dan faktor kecerdasaannya, dan ini yang disoroti dalam tulisan ini, memisahkan antara yang pintar dan yang kurang pintar. Pemisahan dikarenakan faktor kecerdasan ini biasanya dilakukan oleh sekolah itu sendiri, bahkan oleh orangtuanya, di mana para siswa dituntut untuk mendapatkan nilai akademik yang tinggi dan itulah takaran kecerdasan sedangkan yang tak mampu bersaing akan tersingkirkan dan tak mendapatkan perhatian. Padahal setiap siswa itu memiliki kompetensi dan bakatnya masing-masing. Nilai tak dapat dipukul rata sebagai takar kecerdasan. Hal seperti ini membuat anak yang tersingkirkan merasa bahwa dirinya gagal dan hanyalah seorang bodoh yang suram masa depannya dan pada akhirnya dia mencari cara lain untuk mendapatkan sebuah penghargaan dari lingkungannya. Dan juga membuat ketidakadaanya kerjasama antara siswa di sekolah dikarenakan anak yang kurang pintar merasa tak berharga dan semuanya diembankan pada anak yang pintar.

Kemudian, seringkali siswa itu berlomba-lomba untuk mendapatkan juara dan prestasi untuk dirinya, bukan untuk lingkungannya atau kepentingan bersama. Maksudnya bahwa gelarnya, karyanya, prestasinya, dan semua perjuangannya adalah untuk dirinya sendiri, jabatan, harta, dan popularitasnya atau untuk lembaganya sehingga lingkungan kurang mendapatkan pengaruh dari semua itu. Hal seperti ini menjadikan siswa tak memiliki sifat altruisme, yaitu mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan dirinya. Dampaknya adalah masyarakat kekurangan sosok yang dapat membantu meningkatkan kualitas mereka. Misalnya, seorang Qari international yang telah memenangkan juara, tapi dia sama sekali tak pernah menjadi imam atau mengajar mengaji di kampungnya yang mana itu lebih dibutuhkan oleh masyarakat dibandingkan hanya sebuah kejuaraan yang membanggakan dirinya. Atau seorang sarjana hukum yang seharusnya menjadi hakim yang adil, tapi malah berbuat zalim pada yang lemah dan ringan pada yang kuat. Dan contoh lainnya. Hal seperti ini terjadi dikarenakan ketidakseimbangan hak pendidikan semasa di sekolah sehingga anak harus berlomba menjadi teratas dan meninggalkan altruisme.

Apakah salah berlomba?

Tentu tidak. Berlomba adalah pacuan untuk siswa terus meningkatkan kualitas bakat dan kemampuannya. Berlomba pula menjadi sarana meninggikan nama dan menghasilkan harta. Dalam agama Islam pun kita dianjuurkan untuk berlomba dalam kebaikan. Yang salah dari berlomba bukan pada ajang perlombaannya, akan tetapi pada motivasi siswanya. Sekolah seringkali memaksakan siswa untuk memenangkan perlombaan dan bila kalah seakan itu menjadi sebuah aib karena telah memalukan kepercayaan yang diembankan sekolah, kemudian memotivasi mereka bahwa menang perlombaan adalah untuk menjunjung nama lembaganya sehingga hadiah yang didapat diambil alih oleh sekolah sebagai bahan jual untuk menarik perhatian bahwa sekolah ini adalah sekolah favorit dan unggul, dan mengunggulkan siswa yang sama untuk mengikuti perlombaan karena bakatnya terlihat dan mengabaikan siswa lain yang bakatnya masih terpendam dan tidak didorong untuk berusaha menampilkan bakatnya. Padahal seharusnya perlombaan itu diadakan agar setiap siswa terdorong untuk menampilkan bakatnya.

Kehilangan kerjasama dan tidak ratanya hak pendidikan, menurutku, dikarenakan faktor makna prestasi dan apresiasi. Karena berlomba tak dapat dipisahkan dengan apresiasi dan makna prestasi itu sendiri. Serta kerjasama dan bukan berkompetisi pun tak luput dari dua hal tersebut.

Hakikat prestasi dan apresiasi

Secara singkat, prestasi adalah hasil dari usaha dan apresiasi adalah memberikan penghargaan. Siswa berprestasi pasti mendapatkan apresiasi. Tapi, seringkali sekolah lupa tentang makna prestasi sehingga yang diapresiasi hanyalah orang yang cerdas dalam akademik. Menurutku dan menurut mungkin banyak orang, bahwa prestasi itu tak sebatas kecerdasan akademik, nilai seratus, mendapatkan mendali, atau hal-hal yang bersifat apresiasi material. Prestasi itu, sebagaiamana makna aslinya yaitu hasil dari usaha, hak setiap siswa bahkan bagi mereka yang tak pernah “berprestasi” sekalipun. Selama mereka berusaha untuk mendapatkan hasil dari sesusatu yang baik, bermanfaat, dan berguna bagi dirinya dan bagi sekitarnya maka itu telah cukup disebut prestasi. Misalnya, seorang siswa yang cenderung mendapatkan nilai yang kecil, tapi dia selalu berusaha berperilaku baik, maka itu adalah prestasi. Atau siswa yang mempelajari ilmu di luar materi yang ada padahal di kelas dia tak mampu bersaing, maka belajar ilmu di luar materi yang ada adalah prestasi karena dia mempelajari apa yang dia sukai. Akan tetapi, tak semua pun dapat disebut prestasi. Dalam definisiku bahwa prestasi adalah hasil dari usaha untuk mendapatkan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bagi lingkungan sekitarnya. Dan prestasi itu harus berbentuk ilmu, baik terpancarkan dari otaknya atau tercerminkan dari perilakunya.

Apresiasi seringkali dimaknai dengan pemberian piagam, hadiah, piala, dan sejenisnya. Memang semua itu adalah bentuk apresiasi. Akan tetapi, jika apresiasi itu ingin berbentuk materi seharusnya bentuk-bentuk apresiasi itu berupa sesuatu hal yang dapat berguna bagi siswa berprestasi ke depannya. Apresiasi itu diberikan sesuai prestasi siswa itu. Aku tak berkata bahwa piagam dan piala itu tak berguna, kukatakan “berguna” tapi hanya sebatas pajangan atau bahan untuk pendaftaran ke jenjang yang lebih tinggi sebagai bukti prestasi. Akan tetapi, lebih terkenang dan berguna bila apresiasi itu berupa, misalnya, buku bagi siswa rangking ke-1.  Namun dalam kesempatan ini, apresiasi yang kumaksudkan di tulisan ini adalah sebuah penghargaan.

            Penghargaan adalah bentuk menghargai orang. Sebernarnya ini adalah curahan hatiku, kuingin berkisah sedikit yang menjadi dasar dari opini ini. Dahulu ketika aku masih duduk di bangku SD, tak ada prestasi yang kuraih di sana. Lomba tak pernah, rangking pun entah berapa, di kelas duduk di belakang. Aku hanya menikmati masa SD untuk bermain dan bermain, bukan mengukir nama ataupun prestasi, dan dikarenakan aku pun belum menemukan diriku akan pergi ke mana. Beranjak ke jenjang SMP, aku masuk ke pesantren tahfidz yang tentunya kebanggaan di sana adalah menjadi seorang hafidz. Dengan tekad yang kuat dan ambisius yang tinggi, akhirnya aku dapat menyelesaikan hafalan 30 juz dan menjadi yang pertama selesai di pesantren itu. Tentunya atas izin Allah. Setelah itu naik ke jenjang berikutnya yaitu SMA, melanjutkan pesantren di tempat baru. Pelajaran agama menjadi passionku karena mudah dipahami menurut anggapanku. Namun, dikarenakan kurangnya perhatian dari guru, aku menjalani 3 tahun masa pembelajaran di sana secara datar. Belajar, menghafal, ujian, nilai bagus, rangking, kemudian lupa lagi, materi baru, belajar, menghafal, ujian, nilai bagus, rangkin, kemudian lupa lagi. Begitu terus siklusnya. Hingga kutersadar ketika telah menjadi pengabdian dan mencopot status santri. Pertanyaan besar dari diriku ke mana semua nilai itu? Sekarang yang tersisa hanyalah ilmu yang terlupakan, itukah yang kucari dahulu? Berlembar-lembar materi ajar yang kuhafal dan kupelajari sirna karena tak adanya bangunan kokoh yang mendasarinya. Bahkan, kumerasa menyesal bila melihat nilaiku yang bagus itu tapi tak sesuai dengan kadar keilmuanku. Aku bukan orang pintar, hanya tahu jawaban yang benar saat ujian. Untuk apa kubelajar buku-buku tebal bila pada ujungnya kudiberikan lembaran soal-soal jawaban agar nilaiku bagus dan tertera di ijazahku supaya mudah diterima di universitas. Betapa ku akan malu bila mereka mempertanyakan nilaiku tapi ilmuku tak mampu berbicara. Aku gagal. Aku harus mengulang dari awal. 30 juz yang sudah kuhafalkan nyatanya bukanlah sebuah hal istimewa, bahkan itu hanyalah beban yang kupikul selama hidupku karena ketidakmampuanku dalam mencerminkan Al-Quran. Ilmu-ilmu agama yang telah kupelajari sedikit demi sedikit terlupakan. Tinggal piagam prestasi yang berbicara bahwa diriku pernah bernilai. Dari penyesalan itu, muncullah sebuah perspektif bahwa “Penghargaan bukanlah hanya sebuah lembaran kertas yang bertuliskan nama.”

Mulai sejak itu ku tak lagi bangga dengan penghargaan semacam itu. Nilai ada di tangan guru, mereka yang meninggikan, bukan sebab kecerdasan kita. Maka, nilai bukan takaran kecerdasan. Serasa tak berguna penghargaan itu ketika pada nyatanya kumerasa tak dihargai. Bukan berarti kuingin dihargai atau dibedakan antara yang lain karena prestasiku, tapi aku ingin dihargai dengan penghargaan yang sesungguhnya. Dan semoga tulisanku kini mewakili orang-orang yang sama sepertiku yang sadar bahwa penghargaan adalah menghargai.

Menghargai adalah sentuhan perasaan yang disalurkan oleh guru kepada muridnya. Menghargai adalah dengan selalu mendekatinya, mengajaknya mengobrol, menerima pendapatnya, mendorongnya untuk terus menjadi seseorang, memotivasinya untuk semangat menggapai cita-cita, memberikan hal istimewa padanya. Dan memberikan penghargaan seperti ini berlaku pada semua murid, baik yang berprestasi ataupun yang belum berprestasi. Apa gunanya saat kau diberi sebuah penghargaan, namun kau sama sekali tak merasakan bahwa kau dihargai oleh gurumu? Maka, penghargaan terbesar menurutku adalah saat ada guru yang memotivasiku untuk terus maju hingga kelak aku menjadi sesuatu, memberikanku ilmu dengan pendekatan yang baik, walau dia tak pernah memberikanku piagam ataupun piala.

Tulisan ini bukanlah tentang metode Finlandia atau Athena. Tulisan ini pencarian solusi agar para murid itu memiliki standar yang sama dalam akhlak dan standar yang berbeda dalam keilmuan yang semuanya dihargai dengan pengharagaan yang sesungguhnya oleh guru-gurunya sehingga menciptakan kerjasama yang tumbuh dari saling menghargai dan berkarya atau berlomba untuk kepentingan bersama.

Kesimpulan

Jadi, kesimpulannya adalah bahwa setiap murid itu berhak mendapatkan kesetaran hak di sekolahnya. Kecerdasan tak dapat dipukul rata. Hanya akhlak yang harus dipukul rata. Akhlak yang buruk bukanlah hak yang ditoleransi. Akhlak yang baik haruslah ditanamkan pada setiap murid. Adapun kecerdasan, maka hal itu tentunya setiap mereka berbeda derajatnya. Oleh karena itu sekolah tak dapat memaksakan murid untuk memiliki standar yang sama. Ingatlah bahwa prestasi itu dalam segala bidang, asalkan baik bagi dirinya dan orang lain. Setiap murid pastilah memiliki prestasi, akan tetapi di antara mereka ada yang berbuah mendali dan ada pula yang tak tampak. Setiap prestasi harus diapresasi. Dan apresiasi yang sebenarnya adalah menghargai setiap murid tanpa membedakan antara yang pintar dan kurang pintar.

Saat murid tak lagi dibedakan karena prestasinya, tingkat ekonominya, dan status sosialnya. Kemudian dihargai dengan penghargaan yang sesungguhnya. Maka, budaya kerjasama akan ada karena kerjasama datang dari hasil saling menghargai setiap individu. Dan saat kerjasama telah menjadi budaya, maka berkompetisi demi kepentingan personal pun akan hilang, karena akan muncul pemikiran bahwa setiap pencapaian, karya, dan prestasi semua adalah untuk kepentingan bersama karena dikerjakan dengan kerjasama. Bila sudah tercipta budaya kerjasama dan berkarya untuk bersama, maka diharapkan para murid memiliki sensitivitas atau peka terhadap keadaan di sekitarnya dan berusaha untuk berpartisipasi membangun masyarakat yang unggul dengan prestasi dan bakat mereka masing-masing, serta sifat altruisme sehingga siswa keluar dari sekolah menjadi produk berguna, bukan limbah yang mencemari masyarakat.

Semoga tulisan ini berguna. Maaf bila terdapat kesalahan.



[1] Id.wikipedia.org. (2021, 21 Juni). Pendidikan di Finlandia. Diakses pada 28-Febuari-2023, dari Pendidikan di Finlandia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.

[2] Akupintar.id. (2021). 5 Fakta Sistem Pendidikan Finlandia yang Sangat Berbeda dengan Sistem Pendidikan Indonesia. Diakses 28-Febuari-2023, dari https://akupintar.id/info-pintar/-/blogs/yuk-belajar-dari-sistem-pendidikan-di-finlandia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemilu (dari mata orang sok tahu)

Mimpi Untuk Cianjur