Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Gambar
Diri kita terdiri dari dua hal yaitu jasad dan ruh. Jasad harus diberi gizi yang cukup untuk tumbuh kuat dan gizinya berbentuk materi seperti makanan dan minuman. Begitu juga dengan ruh yang membutuhkan asupan gizi, namun gizinya bukan berbentuk materi melainkan maknawi yaitu hidayah. Sebagaimana Allah memudahkan kita untuk mendapatkan asupan gizi materi bagi jasad kita, Allah juga telah memudahkan kita untuk mendapatkan hidayah itu sebagai asupan gizi maknawi bagi ruh kita, dengan cara diutusnya para rasul untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar dan juga diberikan pula pada manusia akal sehat agar mudah untuk meyakini apa yang dibawakan oleh para rasul. Para rasul diutus kepada kaum yang sudah mulai melenceng dari jalan yang benar, seperti kaum Nabi Nuh yang sejak 10 abad menyembah Allah lalu kemudian mereka berpaling menuju penyembahan patung akibat perilaku mereka yang berlebihan terhadap orang saleh, maka Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan mereka menuju penyem

Ramadhan Di Mata 2 Kriteria Penyambutnya

Setiap muslim pastilah akan menunggu-nunggu bulan yang suci ini, baik dia terpaksa ataupun suka rela, baik dia mencari pahala ataupun kesenangan belaka. Yang jelas, bulan Ramadhan begitu spesial di hati umat Islam seluruhnya. Dan kini kita telah menginjakkan kaki di bulan yang penuh berkah ini. Marilah kita sejenak merenungkan sebuah perkara yang tak pernah kembali lagi, waktu. Berapakah umurmu? Belasan atau puluhan? Telah berulang kali Ramadhan datang menghampirimu bersama kita nikmati bulan itu dengan orang-orang yang kita cintai yang mungkin Ramadhan kini dia telah tiada. Saat Ramadhan pergi, kita menunggu dan tak terasa datang lagi dan pergi lagi. Apakah kita menyambut Ramadhan hanya sebatas event tahunan yang bergulir begitu saja tanpa ada bekas di diri kita? Seakan kita tak menyadari bahwa waktu berjalan secepat kilat dan setiap kali umur bertambah maka itu pun berkurang dan semakin dekat dengan kematian. Sudah menjadi hakikat bahwa Ramadhan tahun lalu hanya menjadi kenangan manis di benak kita.

Ramadhan adalah momen yang harus kita pergunakan dengan sebaik-baiknya guna mendapatkan keutamaan-keutamaan yang sudah tak asing di telinga kita dan digaungkan berkali-kali oleh para ustadz di masjid-masjid. Ramadhan itu bagaikan tamu pembawa banyak oleh-oleh yang menarik dan langka, dia memiliki syarat yang harus dipenuhi oleh penyambut bila ingin mendapatkan oleh-oleh tersebut. Dia hanya datang setahun sekali dan hanya singgah untuk satu bulan saja. Sungguh waktu yang singkat. Terdapat dua kriteria penyambut Ramadhan yang keduanya memiliki perbedaan yang sangat signifikan, mereka adalah orang fasik dan orang takwa.

1.   Sang Penyambut yang bertakwa


Definisi takwa adalah yang mengerjakan kewajiban semampunya dan menjauhi larangan dengan sungguh-sungguh. Sang Penyambut yang bertakwa akan mempersiapkan jauh-jauh hari sejak bulan Rajab atau bahkan lebih dari itu. Dia berkemas diri dan menghiasi harinya dengan berpuasa sunnah sebagai latihan untuk menghadapi tamu istimewa. Dia banyak-banyak mempelajari apa saja hal-hal yang membuat Ramadhan senang dan memberikan hadiah istimewanya. Dia selalu berdoa agar Ramadhan memeluknya erat-erat. Dia berusaha untuk tidak meninggalkan kewajibannya dan ditambah dengan sunnah-sunnah sebagai bekal tambahannya agar menjadi habit yang sudah tak lagi berat dilakukan saat berhadapan dengan Ramadhan. Dia pula meninggalkan dengan sungguh-sungguh larangan-larangan Allah yang akan mengotori hatinya dan langsung bersimpuh di hadapan Rabbnya bila berbuat salah.

            Saat tamu itu datang, dia dengan suka cita menyambutnya. Dia sucikan hati, pakaian, dan badannya dari noda-noda agar Ramadhan dengan senang hati memeluknya. Dia laksanakan segala syarat agar mendapatkan hadiah-hadiah yang diberikan olehnya. Dia melaksakan puasa tanpa paksaan dan sholat tarawih dengan khusyuk agar mendapatkan ampunan dari Allah untuk dosanya yang telah lalu. Dia membaca Al-Quran dan mentadabburinya sebagai caranya menghargai tamunya ini yang mana Al-Quran turun kepada Rasulullah saat tamu ini datang. Dia gunakan waktunya dengan sebaik-baiknya hingga tak terlewat satu menit pun kecuali terdapat kebaikan di dalamnya. Dia gunakan waktu siangnya untuk belajar, berdzikir, bersilaturahmi dengan kerabat, mencari penghidupan, dan atau tidur untuk mengembalikan tenaga menyiapkan untuk ibadah. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia saat tamu itu ada. Dia gunakan waktu malamnya untuk dihidupkan oleh lantunan Al-Quran. Saat tiba 10 malam terakhir tamu itu tinggal bersamanya, dia tingkatkan produktifitas ibadahnya karena di antara 10 malam itu, Ramadhan memberikan misteri bagi siapa yang berhasil beribadah dengan giat dengan mendapatkan pahala setara dengan 1000 bulan, yaitu malam Lailatul Qadr. Ramadhan menyembunyikan malam itu agar Sang Penyambut itu selalu semangat setiap saat. Dia tak merasa berat dengan syarat-syarat itu demi meraih segala keutamaan yang langka itu.

            Saat hari terakhir tamu itu singgah bersamanya, dia gaungkan takbir dengan mulut dan hatinya. Hatinya berat berpisah sekaligus bahagia karena Hari Raya sebentar lagi datang. Dia menangisi kepergiannya dengan senyuman kebahagiaan menyambut hari kemenangan. Dia tunaikan zakat sebagai persembahan terakhir untuk tamu itu. Dan pada akhirnya Ramadhan itu pergi dan melambaikan tangan dan mengucap, “Semoga kita bertemu kembali.” Tapi umur tak ada yang tahu, dia hanya berharap dan berdoa. Sebelum pergi, Ramadhan memberikan hadiahnya, yaitu suci kembali di hari kemenangan seperti bayi yang baru terlahir ke bumi. Dan tamu itu pun memberikan bekas yang mendalam sehingga saat tamu itu pun pergi Sang Penyambut yang bertakwa ini tetaplah menjalankan rutinitas positif yang telah dibangun selama tamu itu datang.

2.   Sang Penyambut yang fasik


Definisi fasik adalah orang yang banyak berlaku dosa, terutama dosa-dosa besar. Sang Penyambut yang fasik tak punya persiapan di hari sebelum kedatangan tamu istimewa ini. Dia hiasi hari-hari dengan foya-foya dan jarang beribadah. Al-Quran sama sekali tak tersentuh dan tulisannya itu asing baginya. Setan bersekongkol dengannya agar saat dia dibelenggu selama Ramadhan, orang ini tetap dapat melakukan maksiat, yaitu dengan menyiapkan hawa nafsunya agar menjadi bekal setan memperdaya dari balik jeruji besi. Saat Ramadhan tiba, dia bersuka cita menyambutnya karena tamu ini membawa oleh-oleh langka yang hanya ada padanya tapi dia sama sekali tak membersihkan hati, badan, dan pakaiannya. Maka, senyuman misteriusnya itu disambut dengan pelukan terpaksa dari sang tamu ini.

            Selama tamu ini berada di sisi Sang Penyambut yang fasik ini, dia tak merasa betah, dia hendak segera pergi. Ramadhan baginya akan terasa singkat, walaupun demikian Sang Penyambut tetaplah menikmati barang bawaanya. Dia menikmati malam-malam yang hidup dengan bukan beribadah, akan tetapi dengan nongkrong di kafe, tawuran, pacaran, dan maksiat lainnya. Dia nikmati siangnya dengan mengkhianati syarat dari tamu itu, yaitu puasa, dia enggan berpuasa, dia berpuasa di hadapan manusia dan berbuka di balik punggung mereka. Atau dia gunakan untuk tertidur pulas hingga sore hari agar kuat bergadang menikmati malamnya yang hidup. Atau dia gunakan untuk menonton film, mendengarkan musik, bermain game dengan alasan agar waktu itu terpangkas dengan cepat. Ramadhan jenuh melihatnya, ingin segera pergi bersama waktu yang tak terasa cepatnya. Ramadhan mungkin bisa memberikan suasana yang berbeda, akan tetapi keutamaannya tak akan pernah diberikan padanya. Sang Penyambut ini memperlakukan bulan Ramadhan seperti bulan-bulan lainnya. Dia mengistimewakannya karena sudah menjadi budaya yang sudah mengakar pada kebanyakan orang. Dia menikmati suasana tanpa ada dampak positif yang dia ambil. Dia buang waktu, jauh dari ibadah, jauh dari produktifitas positif. Dia sebenarnya membenci Ramadhan dari belakang dan mencintai dari depan. Dia merasa terkekang dengan kewajiban yang datang bersamanya dan ingin segera lepas. Tapi dia pula mencintai event-event yang hanya ada di bulan ini sebagai bahan cerita bagi dirinya saja.

            Saat Ramadhan hendak pergi, dia bersuka ria dengan bertakbir yang bukan dari hatinya, dia bertakbir hingga larut malam dan meninggalkan sholat id di esok harinya. Dia lupa pula mempersembahkan zakat karena sebenarnya dia sendiri tak paham tentang kewajiban itu. Ramadhan pergi tanpa memberikan bekas apapun, ampunan tak didapat, kesucian di Hara Raya tak dapat, kebaikan tak membekas dan kembali pada rutinitas seperti hari-hari biasa di mana dia lalai dari mengingat kewajiban terhadap Tuhannya.

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.”[1] Begitulah yang disabdakan oleh Nabi tentang orang-orang yang merugi di bulan Ramadhan.

رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ

Sungguh sangat merugi seseorang yang ia masuk kedalam bulan Ramadhan lalu tidak diampuni dosanya.[2]

Dia memasuki Ramadhan tanpa mendapatkan pahala dan keluar tanpa mendapatkan ampunan. Saat Hari Raya tiba, dia senang karena telah lepas dari kekangan dan kewajiban-kewajiban itu. Dia hanya disibukkan dengan menghitung ampau dan lupa menghitung pahala. Dia berharap tamu itu kembali padanya, namun Ramadhan hanya mengucapkan, “Semoga ku tak bertemu denganmu lagi.” Dia lewati Ramadhan seakan dia yakin bahwa umur akan memberikannya kesempatan untuknya kembali bertemu.

Kesimpulan

Sekarang, siapakah kita? Apakah kita termasuk orang pertama atau orang kedua? Atau berada di pertengahan antara keduanya? Jawaban ada di hati kita masing-masing. Tinggallah kita mengintropeksi diri kita sejauh mana kita telah mengistimewakan tamu ini dengan pengistimewaan yang didambakan oleh Ramadhan. Masih ada waktu untuk kita memperbaiki apa yang kurang sebelum datang saatnya Ramadhan itu pergi dan kita tak mampu bertemu kembali. Kita tak mampu menebak umur, tak dapat membaca Lauh Mahfudz. Yang kita bisa hanyalah memaksimalkan diri kita dalam mencapai kecintaan Allah memalui taat pada-Nya.

Bulan ini adalah bulan ampunan, maka mintalah ampunan pada Allah agar keluar dari Ramadhan kita dalam keadaan suci kembali.

Bulan ini adalah bulan rahmat, maka mintalah rahmat Allah agar kita selalu berada di bawah lindungan kasih sayang-Nya yaitu berada dalam kebaikan sepanjang hidup kita.

Bulan ini adalah bulan dibukakan lebar-lebar pintu surga, maka perbanyaklah ibadah dan doa sebagai wasilah kita mendapatkan tiket untuk memasuki surganya Allah .

Bulan ini adalah bulan ditutupnya rapat-rapat pintu neraka, maka jauhkanlah segala larangan Allah sebagai pembuktian kita terhadap-Nya bahwa kita yakin akan keberadaan neraka dan menunjukkan rasa takut akan azab-Nya dan berharap dijauhkan dari siksaan-Nya.

Bulan ini adalah bulan yang istimewa, maka istimewakan dia dengan cara yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya yaitu sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Sunnah.

Semoga di bulan Ramadhan tahun ini Allah menerima segala amalan ibadah kita dan diampuni segala dosa kita. Itulah yang selalu kita harapkan. Selamat Ramadhan.



[1] (HR. Ath Thobroniy dalam Al Kabir dan sanadnya tidak mengapa. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1084 mengatakan bahwa hadits ini shohih ligoirihi –yaitu shohih dilihat dari jalur lainnya).

[2] (H.R Tirmidzi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemilu (dari mata orang sok tahu)

Mimpi Untuk Cianjur

Penghargaan Yang Bukan Penghargaan (Mencari Hakikat Prestasi & Apresiasi)