Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Takdir itu ternyata selalu disalahartikan,
semasa menjalani hari-hari sebagai santri. Banyak hal pahit yang kami rasakan,
rasanya seperti madu pahit yang menyehatkan, tapi kami lupa bahwa madu itu
dapat menyehatkan sehingga kami membenci madu itu. Singkat kilas balik semasa
santri, kami membenci ahwal pesantren yang dirasa mungkin kebijakan atau
perarturannya itu amat memberatkan kami sama halnya seperti pelarangan
penggunaan gawai atau kekangan untuk tak pergi luar batas dinding asrama. Kita
hanya fokus pada hal-hal seperti itu. Penuh keluh kesah, bahkan berpikir untuk
pergi saja dari penjara suci yang indah itu. Apalagi saat masa-masa Latihan
Dasar Kepemimpinan di mana kita dibanting keras-keras untuk menjadi “pemimpim”
dengan latihan yang sedikit tidak masuk akal saat kami harus memimun telur
rebus yang dijus. Tentu menjijikan. Dan masa itu berlari (kita terus-menerus
berkata bahwa waktu terus berlari sampai kita lupa bahwa dalam proses membaca
ini pun kita ditarik paksa oleh waktu untuk pergi berlari jauh). Kami lupa
bahwa di balik kekangan perintah itu ada hikmah agung yang mana kebersamaan itu
terbentuk rapih dan kokoh sehingga utuh dalam jangka panjang. Ya, adakalanya
kami bertikai, saling adu mulut, tak sejalan, berkelompok, atau mungkin saling
mengkhianati, tapi semua kisah itu nyatanya menyehatkan. Kisah itu memanglah
madu pahit. Kita tertawa pulas menceritakan itu semua dan bahkan seringkali
momen tawa itu berubah menjadi tangis haru saat kau membiarkan foto yang
mengisahkan kita.
Sekali lagi bahwa takdir dirasa pahit saat
dijalani. Seragam santri dilucuti, diubah menjadi baju putih hitam tanda sudah
selevel lebih tinggi dari santri dan selevel lebih bawah dari para guru. Kami
menjadi pengabdi, satu tahun lagi kami lulus. Sekali lagi kami membenci ahwal
pesantren dari perspektif seorang guru yang berusaha membawa santri ke jalan
yang lebih terbuka dan tak terbentur oleh tangan paksa. Kami memandang banyak
hal dan mendapatkan banyak pelajaran. Disebabkan pertemenan yang sudah kokoh
dibumbui kedewasaan yang menjadikan kami satu tubuh yang ingin saling bantu
untuk tiada yang pergi berpisah sebagaimana sebelumnya walaupun kami pun tetap
saja harus kehilangan beberapa kawan yang gagal kami obati penyakitnya dan
harus direlakan diamputasi dari tubuh kami. Meskipun mereka hengkang dari
pesantren tapi dalam hati kami mereka tetaplah dalam satu jiwa yang terikat.
Meskipun telah dilongarkan penggunaan gawai dan melebarkan batas teritori zona
luar yang diidamkan oleh seluruh santri; kebebasan, kami tetap tidak tercerai
dan kami tetap menikmati hari bersama tanpa sepenuhnya disibuki oleh
gawai-gawai pribadi yang menjadikan manusia privatly. Dalam beberapa
kesempatan justru masa satu tahun terakhir itu lebih manis rasanya, tak sepahit
madu pahit sebelumnya. Kami benar-benar ingin menikmati setiap senja yang akan
menjadi akhir pada saatnya, atau malam yang akan menjadi tempat akhir kami tidur
di atas kasur yang selama ini menemani istirahat kami, atau kantor tempat kami
bersama-sama menjalani tugas yang diselangi senda gurau sehingga kantor tak
terasa sepi dan selalu hidup. Bahkan bersama Altaf, kawan dekatku, suatu masa
di beberapa saat sebelum hari kelulusan itu sempat duduk di depan kantor untuk
sejenak mencermati betapa waktu tak kuasa menahan dirinya untuk berhenti. Senja
itu kami melihat para santri yang sibuk berangkat ke masjid sambil membayangkan
dahulu kami berada di posisi tersebut. Senja itu kami menikamti matahari
terakhir yang akan menyinari soreku di hari itu.
“Sore terakhir kita. Dulu kita pernah
lari-lari ke mesjid takut dihukum JT[1]
kayak mereka.”
“Santri mah kalau udah lewat JT yang berdiri
itu mah kagak lari lagi, tuh liat malah keliling-keliling dulu padahal masjid
di sebelah sana.”
“Biasalah, pasti mereka merasa keren..”
“Gak keresa kita udah lalui semua yang mereka
rasakan dan sekarang kita bakalan pergi dari sini..”
“Padahal dulu kita pengen cepet-cepet lulus,
tapi di hari terakhir ini rasanya tak ingin hari ini pergi.” Ujar Altaf
melanjutkan ungkapan yang kuucapkan.
“Ya mau bagaimana lagi, sudah kepastian,
semuanya harus berakhir.”
Andai kumampu menceritakan semua kisah itu
mungkin butuh waktu yang sangat panjang untuk menuliskannya dan butuh waktu
yang lama untuk membacanya karena akan setebal tembok bahkan lebih bukunya.
***
Pagi itu, aku bersiap-siap untuk menemui
hajatku selama ini. Bergegas menuju kamar mandi yang agak sedikit sempit
dan kotor di ujung kamar untuk mandi bersiap diri. Air dingin yang sudah biasa
membanjiri tubuh ini tak terasa menggigil. Kubawa baju batik hitam itu yang
tergantung di dalam lemari dan memakaikannya pada badanku, celana hitam pun
melengkapai dan sepatu pantofel dan peci songkok menambahkan kesan formal demi
acaran ini. Namun terpenting dari itu semua adalah mengemas pakaian dan
barang-barang karena itu adalah hari pulangku. Menyapa kawan seperjuangan yang
sudah sama-sama siap mendatangi acara kami. Bersuka cita, mengambil gambar
selfie sambil berucap, “Siap?!” Meskipun keadaan kami kala itu banyak yang
jatuh sakit karena kegiatan yang padat menjelang acara itu berupa latihan dan
sebagainya ditambah lagi dilaksakan di bulan puasa menjadikan kami semakin
rentan untuk sakit, akan tetapi kami tetap memaksakan diri, menguatkan dan
berpura-pura tak sakit sama sekali demi agar tak tertinggal momen langka ini.
Suara degub dari sepatu pantofel menuruni tangga dengan semangat sedikit
berlari agar cepat sampai ke dasar. Oh iya, kamarku berada di lantai 4 asrama
santri karena aku diamanahkan untuk menjadi musyrif di kamar tersebut.
Mobil-mobil dari para orangtua sudah mulai
berdatangan untuk melihat anaknya lulus. Suasana begitu asik dan kompak,
melihat kami yang berseragam, begitu pula para orangtua. Aku menemui
kawan-kawan lain yang sudah mulai siap dan berjalan menuju gedung pertemuan.
“Gimana nih rasanya mau lulus?” Tanyaku pada beberapa
kawan.
“Campur aduk antara seneng dan sedih.” Jawab Chayyis.
“Tapi gue mah yang penting cepet balik.” Ditimpal oleh
jawabannya Daffa yang tak sabar.
“Santailah cuy, nanti mah susah lagi kalau mau ketemu.”
Jawaban intsan oleh Fabian.
Berjalan
menuju gedung dan kulihat segalanya telah siap dalam satu malam saja! Rapi,
mewah, dan yang kuharapkan selanjutnya adalah acara yang berlangsung lancur. Gedung
itu adalah gedung serba guna yang baru saja selesai dibagun oleh pihak yayasan
dan kamilah angkatan yang pertama menggunakan gedung itu. Gedung itu dihiasi
oleh bunga-bunga hiasan, sound system yang terpasang di sudut-sudut panggung,
dan tak lupa logo angkatan kami terpampang di atas panggung dengan bangganya. Singkatnya,
acara dimulai dan kami menunggu di luar berbaris rapih agar saat masuk menjadi
pertunjukan tersendiri dari seremonial formal ini. Pemandu acara memanggil,
“Kepada angkatan 13 dipersilahkan masuk ke gedung pertemuan.” Dimulai oleh
pasukan khusus kepramukaan sebagai pembuka jalan dan aksi formalitas yang
mengagumkan terkadang. Kulihat para orangtua sudah mulai mengeluarkan gawai
mereka untuk merekam detik-detik anak-anak mereka masuk ke dalam gedung. Kami
berjalan berbaris menaiki tangga dan masuk ke gedung dengan suara sepatu yang
memecahkan sedikit sunyi. Dan ya, setelah itu kami duduk di tempat
masing-masing. Acara dimulai dengan pembacaan Al-Quran dan tafsirannya, saat
itu dirasa masih asik menghadapi acara ini. Namun setelah itu kami harus
menghadapi satu masalah yang mungkin jadi yang terakhir di pesantren ini yaitu
sambutan yang berkali lipat panjangnya dengan disampaikan oleh empat tokoh yang
semuanya menyampaikan hal-hal yang tak jauh beda satu dengan yang lainnya yaitu
“Untuk tetap belajar, menjadi alumni yang baik, dan menjadi kebanggaan.”
Jenuh sekali rasanya mendengarkan itu sampai sudah hilanglah rasa bahagia itu
menjadi penat dan ingin segera rebahkan badan. Hingga pada akhirnya ada pula
sedikit hiburan dari kawan kami, Iqmal, yang membacakan puisi dengan lantangnya
di atas panggung.
Tidakkah kau
tahu
Di manakah kuberdiri
kini?
Aku berdiri
Di ujung
panjang penantian
Tujuh tahun di
atas bahtera bersama
Kini berlabuh
di pelabuhan monumental
Waktu bagaikan
pedang
Menebas waktu,
menggores cerita
Aku berdiri
Di penutup bab
dari ringkasan hidupku di pesantren ini
Di lembaran
terakhir sebelum kata “tamat”
Di samping
sampul belakang yang berisikan tanda kelulusan
Tidakkah kau
tahu
Di manakah
kuberdiri?
Aku berdiri
Di hamparan
para penaruh harapan
Yang menantikan
anaknya menjadi seseorang
Yang sedang
merindukan pelukan
Yang sedang
membendung air mata
Aku berdiri
Di atas jerih
payah para guru
Yang menjadi
anak tangga untukku maju
Yang
mencurahkan air tubuh untukku tumbuh
Berdiri di atas
akal yang dipupuki ilmu
Tidakkah kau
tahu
Di manakah
kuberdiri?
Aku berdiri
Di hadapan
kawan-kawan
Yang habiskan
masa bersama
Lihatlah kerut
wajahku, kering keringatku, bekas lukaku, masihkah kau ingat di mana kita
menggambar hari?
Kawan, tak
kusangka kau sudah mekar
Kita dahulu
bermajelis di pelataran pohon langit
Sambil mengepak
mimpi tuk digantung di ranting-ranting gemintang
Sambil mencipta
tawa tanpa peduli jarum jam telah menunjukkan dini hari
Kawan, ingatkah
saat kita hampir mati terbunuh oleh putus asa?
Kita besarkan
tangan, merangkul, dan saling menguatkan
Kawan, ingatkah
saat kita menangisi satu guguran daun?
Kita bergadang
semalaman menunggu kabar
Berharap daun
itu tetaplah berkibar
Dan tak
berbaring di tanah
Walau takdir
haruslah menetapkan titah
Kawan, ingatkah
saat kita tak kuasa mencari arah lalu guru kita ajarkan cara?
Sepantasnya
kita berterimakasih atas jasanya
Kawan, aku suka
melihat saat kita memutar lampu untuk menerangi seluruh hari kita
Aku suka
melihat saat percikan api itu padam oleh salju yang gugur dari angkasa
Biarlah sedikit
luka menghiasi kanvas kita
Sebagai bentuk
abstrak dari masa-masa indah
Kenangan
tinggal hanya kenangan
Kisah-kisah itu
hanya akan menjadi kisah
Yang akan kita
kisahkan suatu hari nanti
Saat kita telah
menepi di atas mimpi
Kawan, silahkan
kau pergi
Biarlah aku
berdiri
Menantimu,
melihatmu
Aku hadir di
sisimu
Puisi
yang menyentuh itu sedikit mengubah suasana kembali ke bahagia dan haru.
Tibalah acara inti yaitu pengumuman kelulusan. Satu persatu dari kami dipanggil
ke atas panggung untuk menerima mendali dan sertifikat kelulusan. Berjalan
dengan sedikit rasa bangga yang hadir di dalam hati bahwa tibalah masa kami
benar-benar menjadi alumni dan benar-benar akan lepas tangan dari tempat yang
selama ini membentuk kami untuk menjadi seseorang. Setiap nama dipanggil dan
perwakilan orangtua harus ikut naik ke panggung untuk menemani anaknya digelari
mendali. Langkah berputar mengelilingi panggung dari arah kanan menuju kiri
dengan tata cara yang sudah ditentukan. Giliran aku yang dipanggil. Aku berdiri
dan melangkah maju ke sebelah kanan panggung, di depan sebuah photo booth untuk
menunggu ayahku tiba. Tak seperti kawan yang lain, mereka berpelukan haru
dengan ayah mereka, sedangkan aku hanya salam kaku dan tak banyak berekspresi.
Aku mempersilahkan ayahku jalan duluan dan mulailah mendali dan sertifikat
memberatkan beban lengan dan leherku. Di atas panggung kulihat wajah para guru
yang terlihat berat sekali melepaskan kami dari pantauan mereka.
Acara pengumuman itu telah usai singkatnya dan
beralih ke sesi perfotoan. Seluruh angkatan kami yang berjumlah 64 orang itu hampir
tak mencukupi ruang panggung. Namun, terpaksalah kami dengan mendempetkan
barisan dan pada akhirnya foto pun diambil dengan badan tegak kami yang berdiri
rapih tanpa terlihat wajahnya karena buram dan terlalu jauh pemotretannya.
Hingga pemandu acara mengucapkan, “Telah
sampailah kita di penghujung acara.” Tiga pemandu itu ucapkan doa sesuai teks
yang mungkin tak benar-benar mendoakan. Tak masalah. Dan setelah itu ditutuplah
acara dengan doa kafaratul majlis. Acara formal telah usai, tapi acara
haru barulah bermula. Kami mendatangi para guru yang duduk di depan, berpelukan
dengan haru dan penuh tangisan. Mengucapkan, “Terima kasih atas segala jasa dan
bimbingan yang tak akan pernah terlupakan sepanjang masa. Terima kasih sudah
memberikan ilmu yang berguna. Maafkan kami atas segala kenakalan dan ucapan
atau sikap yang mungkin melukai hati. Doakan kami ya ustadz, semoga kami sukses
ke depannya.”
“Maafkan ustadz juga kalau dalam mendidik ada kata yang
tak enak di hati kalian. Ustadz doakan semoga kalian mendapatkan universitas
yang diimpikan, dan cita-cita kalian tercapai.”
Aku pun tak kuasa menahan tangisan saat berada
di pelukan Ust. Irwansyah yang sebelumnya tak pernah aku dekat dengannya
apalagi berpelukan. Dan ucapan terima kasih inilah yang benar-benar tulus, tak
seperti sebelumnya atau tak pernah terpikir untuk mengucapkan terima kasih. Beliau
tak dekat denganku, tapi beliau memiliki jasa yang terasa olehku. Seakan aku
tak bisa melepaskan dekapannya. Dan mungkin tak ingin beliau merasa kehilangan.
Tapi apa daya, semua harus pergi.
Setelah puas berpisahan dengan para guru,
giliran kepada kawan kita ucapkan selamat tinggal. Tak terbayang waktu yang
diharapkan ini, yaitu kelulusan, justru menghapuskan episode selanjutnya
tentang pertemanan. Kami meninggalkan semua kenangan di belakang kami dan
berjalan menuju jalan baru dengan orang baru. Kami saling mengucapkan selamat,
permintaan maaf, dan doa. Dengan senyuman, atau tangisan, atau haru di mata
yang sudah kering air matanya.
Aku menghampiri keluargaku yang menunggu di
belakang.
“Sedih ya.” Ibuku mengomentari suasana dengan ikut
terharu.
Aku
mengajak mereka untuk pergi keluar dari gedung dan bergegas menuju asrama untuk
mengangkut barang-barangku. Jam menunjukan waktu dzuhur. Hari saat itu begitu
panas sekali. Kedua orangtuaku menunggu di masjid, sedangkan aku memilih untuk
sholat di kamar karena memang sholat berjamaah sudah selesai. Seusai sholat,
aku berpamitan dengan anggota kamarku yang selama ini aku diberikan
tanggungjawab untuk memimpin mereka, tapi sebenarnya aku gagal dalam membimbing
mereka, aku lebih banyak di luar kamar, dan jarang bercengkrama, hanya sebatas
memberikan fasilitas WhatsApp itu pun sudah menjadi sedikit jasa mungkin bagi
mereka walaupun tetap saja jasa seperti itu mudah dilupakan di benak mereka.
Tapi tak masalah bagiku untuk dilupakan saat ini, namun kuyakin saat ku menjadi
besar nanti, mereka pun akan kembali mengingatku. Kami berfoto ria untuk
kenang-kenangan, dan meminta bantuan mereka untuk menurunkan barang-barang ke
lantai dasar. Itulah saat terakhir aku berpisah dengan para santri. Dan satu
guru yang belum kudatangi lagi sebelum aku pergi pulang, beliau ada di kantor.
Beliau berpesan, “Tetaplah jaga agama yang telah kau pelajari selama di
pesantren ini, dan jangan lupakan jasa-jasa para guru di sini. Kembangkan terus
bakatmu dalam menulis, jangan berhenti sampai di sini. Jadilah pemuda yang
tangguh yang menjadi orang besar di mata masyarakat. Ustadz yakin kau akan
menjadi orang yang berguna kelak. Ustadz tak bisa memberikan banyak untukmu,
hanya doa yang selalu menyertaimu.” Beliau adalah Ust. Munaji, guru yang paling
dekat denganku semenjak aku masih bergelar santri. Beliau banyak memberikan
nasihat dan bahkan makanan atau menemani jalan-jalan.
Usai
semua urusan, perpisahan sudahlah sempurna. Tinggallah aku pergi pulang menuju
rumah, tepatnya menuju dunia yang jauh lebih luas bila ku kelak harus kembali
pergi dari rumah. Memasukkan barang-barangku ke dalam mobil di bagasi belakang.
Ayahku terlihat lelah sekali dan aku disuruh untuk menjadi sopir, padahal fisik
sedang demam dan lelah luar biasa. Bukanlah masalah, ayahku tentu lebih lelah.
Di jalan keluar gerbang, aku memandangi pesantren ini, inilah kali
terakhirku melihat pesantren ini, sudah selesai ceritaku di sini, aku sekarang
sudah menjadi alumni. Saatnya aku benar-benar terjun ke dunia nyata.
“Umi, buku cerita kaka di sini sudah tamat.”
“Ya, gak kerasa dulu ke sini nganter sekolah, sekarang
nganter pulang buat gak balik lagi.”
Di
perjalanan, khayalku masih terbang di masa lalu dengan cerita-cerita uniknya,
seakan aku tak bisa move on dari masa-masa itu. Aku tenggelam dalam
kenangan. Aku pergi pulang tapi jiwaku masih ada di sana. Di sela perjalanan
saat berhenti sejenak untuk membeli sesuatu yang ayahku inginkan, di mobil aku
melihat-lihat foto-foto yang bercerita dengan sendirinya. Aku tunjukkan
foto-foto itu pada ibuku yang duduk di belakang, dia mengekspresikan wajah
rindu seperti dapat merasakan apa yang kurindukan. Ibu memang memiliki ikatan
frekuensi yang kuat dengan anak, apalagi bagi anak lelaki. Karena ibu bagi anak
lelaki adalah cinta pertamanya, maka tak heran ibu dapat merasakan apa yang
kurasakan.
[1] Jamiyyah
Thalabah, semacam OSIS yang mengurus segala kegiatan santri, biasanya dilakoni
oleh santri kelas XI Madrasah Aliyah.
Komentar
Posting Komentar