Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Gambar
Diri kita terdiri dari dua hal yaitu jasad dan ruh. Jasad harus diberi gizi yang cukup untuk tumbuh kuat dan gizinya berbentuk materi seperti makanan dan minuman. Begitu juga dengan ruh yang membutuhkan asupan gizi, namun gizinya bukan berbentuk materi melainkan maknawi yaitu hidayah. Sebagaimana Allah memudahkan kita untuk mendapatkan asupan gizi materi bagi jasad kita, Allah juga telah memudahkan kita untuk mendapatkan hidayah itu sebagai asupan gizi maknawi bagi ruh kita, dengan cara diutusnya para rasul untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar dan juga diberikan pula pada manusia akal sehat agar mudah untuk meyakini apa yang dibawakan oleh para rasul. Para rasul diutus kepada kaum yang sudah mulai melenceng dari jalan yang benar, seperti kaum Nabi Nuh yang sejak 10 abad menyembah Allah lalu kemudian mereka berpaling menuju penyembahan patung akibat perilaku mereka yang berlebihan terhadap orang saleh, maka Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan mereka menuju penyem...

Akhir Cerita di Pesantren

 


Pagi itu hawa terasa berbeda, dihimpun dari dua rasa yang berlawanan. Pagi yang cerah sekali seperti ikut menyertai kebahagiaan kami. Namun pagi itu tak tahu bahwa dalam lubuk hati kami terasa rasa yang berat, satu rasa yang selalu dibenci oleh manusia saat kebersamaan itu harus lenyap dalam waktu yang hampir dekat. Perpisahan, itulah nama lain dari kelulusan. 6 April 2023 adalah saat hari yang ditunggu-tunggu dalam penantian panjang selama lebih dari 3 atau mungkin bagi kebanyakan kami adalah 7 tahun penantian. Di masa yang panjang itu tentulah banyak cerita yang tak akan pernah kembali dan sekalipun masa itu dapat diduplikat di masa kini akan terasa berbeda dan tak akan pernah sama sejauh apapun kita berusaha. Kami mendambakan hari itu adalah karena ingin menikmati bagaimana rasanya menjadi seorang alumni yang lepas tangan dari jabatan pengabdian dan angkat kaki dari tanah pesantren.

Takdir itu ternyata selalu disalahartikan, semasa menjalani hari-hari sebagai santri. Banyak hal pahit yang kami rasakan, rasanya seperti madu pahit yang menyehatkan, tapi kami lupa bahwa madu itu dapat menyehatkan sehingga kami membenci madu itu. Singkat kilas balik semasa santri, kami membenci ahwal pesantren yang dirasa mungkin kebijakan atau perarturannya itu amat memberatkan kami sama halnya seperti pelarangan penggunaan gawai atau kekangan untuk tak pergi luar batas dinding asrama. Kita hanya fokus pada hal-hal seperti itu. Penuh keluh kesah, bahkan berpikir untuk pergi saja dari penjara suci yang indah itu. Apalagi saat masa-masa Latihan Dasar Kepemimpinan di mana kita dibanting keras-keras untuk menjadi “pemimpim” dengan latihan yang sedikit tidak masuk akal saat kami harus memimun telur rebus yang dijus. Tentu menjijikan. Dan masa itu berlari (kita terus-menerus berkata bahwa waktu terus berlari sampai kita lupa bahwa dalam proses membaca ini pun kita ditarik paksa oleh waktu untuk pergi berlari jauh). Kami lupa bahwa di balik kekangan perintah itu ada hikmah agung yang mana kebersamaan itu terbentuk rapih dan kokoh sehingga utuh dalam jangka panjang. Ya, adakalanya kami bertikai, saling adu mulut, tak sejalan, berkelompok, atau mungkin saling mengkhianati, tapi semua kisah itu nyatanya menyehatkan. Kisah itu memanglah madu pahit. Kita tertawa pulas menceritakan itu semua dan bahkan seringkali momen tawa itu berubah menjadi tangis haru saat kau membiarkan foto yang mengisahkan kita.

Sekali lagi bahwa takdir dirasa pahit saat dijalani. Seragam santri dilucuti, diubah menjadi baju putih hitam tanda sudah selevel lebih tinggi dari santri dan selevel lebih bawah dari para guru. Kami menjadi pengabdi, satu tahun lagi kami lulus. Sekali lagi kami membenci ahwal pesantren dari perspektif seorang guru yang berusaha membawa santri ke jalan yang lebih terbuka dan tak terbentur oleh tangan paksa. Kami memandang banyak hal dan mendapatkan banyak pelajaran. Disebabkan pertemenan yang sudah kokoh dibumbui kedewasaan yang menjadikan kami satu tubuh yang ingin saling bantu untuk tiada yang pergi berpisah sebagaimana sebelumnya walaupun kami pun tetap saja harus kehilangan beberapa kawan yang gagal kami obati penyakitnya dan harus direlakan diamputasi dari tubuh kami. Meskipun mereka hengkang dari pesantren tapi dalam hati kami mereka tetaplah dalam satu jiwa yang terikat. Meskipun telah dilongarkan penggunaan gawai dan melebarkan batas teritori zona luar yang diidamkan oleh seluruh santri; kebebasan, kami tetap tidak tercerai dan kami tetap menikmati hari bersama tanpa sepenuhnya disibuki oleh gawai-gawai pribadi yang menjadikan manusia privatly. Dalam beberapa kesempatan justru masa satu tahun terakhir itu lebih manis rasanya, tak sepahit madu pahit sebelumnya. Kami benar-benar ingin menikmati setiap senja yang akan menjadi akhir pada saatnya, atau malam yang akan menjadi tempat akhir kami tidur di atas kasur yang selama ini menemani istirahat kami, atau kantor tempat kami bersama-sama menjalani tugas yang diselangi senda gurau sehingga kantor tak terasa sepi dan selalu hidup. Bahkan bersama Altaf, kawan dekatku, suatu masa di beberapa saat sebelum hari kelulusan itu sempat duduk di depan kantor untuk sejenak mencermati betapa waktu tak kuasa menahan dirinya untuk berhenti. Senja itu kami melihat para santri yang sibuk berangkat ke masjid sambil membayangkan dahulu kami berada di posisi tersebut. Senja itu kami menikamti matahari terakhir yang akan menyinari soreku di hari itu.

“Sore terakhir kita. Dulu kita pernah lari-lari ke mesjid takut dihukum JT[1] kayak mereka.”

“Santri mah kalau udah lewat JT yang berdiri itu mah kagak lari lagi, tuh liat malah keliling-keliling dulu padahal masjid di sebelah sana.”

“Biasalah, pasti mereka merasa keren..”

“Gak keresa kita udah lalui semua yang mereka rasakan dan sekarang kita bakalan pergi dari sini..”

“Padahal dulu kita pengen cepet-cepet lulus, tapi di hari terakhir ini rasanya tak ingin hari ini pergi.” Ujar Altaf melanjutkan ungkapan yang kuucapkan.

“Ya mau bagaimana lagi, sudah kepastian, semuanya harus berakhir.”

Andai kumampu menceritakan semua kisah itu mungkin butuh waktu yang sangat panjang untuk menuliskannya dan butuh waktu yang lama untuk membacanya karena akan setebal tembok bahkan lebih bukunya.

***

Pagi itu, aku bersiap-siap untuk menemui hajatku selama ini. Bergegas menuju kamar mandi yang agak sedikit sempit dan kotor di ujung kamar untuk mandi bersiap diri. Air dingin yang sudah biasa membanjiri tubuh ini tak terasa menggigil. Kubawa baju batik hitam itu yang tergantung di dalam lemari dan memakaikannya pada badanku, celana hitam pun melengkapai dan sepatu pantofel dan peci songkok menambahkan kesan formal demi acaran ini. Namun terpenting dari itu semua adalah mengemas pakaian dan barang-barang karena itu adalah hari pulangku. Menyapa kawan seperjuangan yang sudah sama-sama siap mendatangi acara kami. Bersuka cita, mengambil gambar selfie sambil berucap, “Siap?!” Meskipun keadaan kami kala itu banyak yang jatuh sakit karena kegiatan yang padat menjelang acara itu berupa latihan dan sebagainya ditambah lagi dilaksakan di bulan puasa menjadikan kami semakin rentan untuk sakit, akan tetapi kami tetap memaksakan diri, menguatkan dan berpura-pura tak sakit sama sekali demi agar tak tertinggal momen langka ini. Suara degub dari sepatu pantofel menuruni tangga dengan semangat sedikit berlari agar cepat sampai ke dasar. Oh iya, kamarku berada di lantai 4 asrama santri karena aku diamanahkan untuk menjadi musyrif di kamar tersebut.

Mobil-mobil dari para orangtua sudah mulai berdatangan untuk melihat anaknya lulus. Suasana begitu asik dan kompak, melihat kami yang berseragam, begitu pula para orangtua. Aku menemui kawan-kawan lain yang sudah mulai siap dan berjalan menuju gedung pertemuan.

“Gimana nih rasanya mau lulus?” Tanyaku pada beberapa kawan.

“Campur aduk antara seneng dan sedih.” Jawab Chayyis.

“Tapi gue mah yang penting cepet balik.” Ditimpal oleh jawabannya Daffa yang tak sabar.

“Santailah cuy, nanti mah susah lagi kalau mau ketemu.” Jawaban intsan oleh Fabian.

           Berjalan menuju gedung dan kulihat segalanya telah siap dalam satu malam saja! Rapi, mewah, dan yang kuharapkan selanjutnya adalah acara yang berlangsung lancur. Gedung itu adalah gedung serba guna yang baru saja selesai dibagun oleh pihak yayasan dan kamilah angkatan yang pertama menggunakan gedung itu. Gedung itu dihiasi oleh bunga-bunga hiasan, sound system yang terpasang di sudut-sudut panggung, dan tak lupa logo angkatan kami terpampang di atas panggung dengan bangganya. Singkatnya, acara dimulai dan kami menunggu di luar berbaris rapih agar saat masuk menjadi pertunjukan tersendiri dari seremonial formal ini. Pemandu acara memanggil, “Kepada angkatan 13 dipersilahkan masuk ke gedung pertemuan.” Dimulai oleh pasukan khusus kepramukaan sebagai pembuka jalan dan aksi formalitas yang mengagumkan terkadang. Kulihat para orangtua sudah mulai mengeluarkan gawai mereka untuk merekam detik-detik anak-anak mereka masuk ke dalam gedung. Kami berjalan berbaris menaiki tangga dan masuk ke gedung dengan suara sepatu yang memecahkan sedikit sunyi. Dan ya, setelah itu kami duduk di tempat masing-masing. Acara dimulai dengan pembacaan Al-Quran dan tafsirannya, saat itu dirasa masih asik menghadapi acara ini. Namun setelah itu kami harus menghadapi satu masalah yang mungkin jadi yang terakhir di pesantren ini yaitu sambutan yang berkali lipat panjangnya dengan disampaikan oleh empat tokoh yang semuanya menyampaikan hal-hal yang tak jauh beda satu dengan yang lainnya yaitu “Untuk tetap belajar, menjadi alumni yang baik, dan menjadi kebanggaan.” Jenuh sekali rasanya mendengarkan itu sampai sudah hilanglah rasa bahagia itu menjadi penat dan ingin segera rebahkan badan. Hingga pada akhirnya ada pula sedikit hiburan dari kawan kami, Iqmal, yang membacakan puisi dengan lantangnya di atas panggung.

Tidakkah kau tahu

Di manakah kuberdiri kini?

Aku berdiri

Di ujung panjang penantian

Tujuh tahun di atas bahtera bersama

Kini berlabuh di pelabuhan monumental

Waktu bagaikan pedang

Menebas waktu, menggores cerita

Aku berdiri

Di penutup bab dari ringkasan hidupku di pesantren ini

Di lembaran terakhir sebelum kata “tamat”

Di samping sampul belakang yang berisikan tanda kelulusan

Tidakkah kau tahu

Di manakah kuberdiri?

Aku berdiri

Di hamparan para penaruh harapan

Yang menantikan anaknya menjadi seseorang

Yang sedang merindukan pelukan

Yang sedang membendung air mata

Aku berdiri

Di atas jerih payah para guru

Yang menjadi anak tangga untukku maju

Yang mencurahkan air tubuh untukku tumbuh

Berdiri di atas akal yang dipupuki ilmu

Tidakkah kau tahu

Di manakah kuberdiri?

Aku berdiri

Di hadapan kawan-kawan

Yang habiskan masa bersama

Lihatlah kerut wajahku, kering keringatku, bekas lukaku, masihkah kau ingat di mana kita menggambar hari?

Kawan, tak kusangka kau sudah mekar

Kita dahulu bermajelis di pelataran pohon langit

Sambil mengepak mimpi tuk digantung di ranting-ranting gemintang

Sambil mencipta tawa tanpa peduli jarum jam telah menunjukkan dini hari

Kawan, ingatkah saat kita hampir mati terbunuh oleh putus asa?

Kita besarkan tangan, merangkul, dan saling menguatkan

Kawan, ingatkah saat kita menangisi satu guguran daun?

Kita bergadang semalaman menunggu kabar

Berharap daun itu tetaplah berkibar

Dan tak berbaring di tanah

Walau takdir haruslah menetapkan titah

Kawan, ingatkah saat kita tak kuasa mencari arah lalu guru kita ajarkan cara?

Sepantasnya kita berterimakasih atas jasanya

Kawan, aku suka melihat saat kita memutar lampu untuk menerangi seluruh hari kita

Aku suka melihat saat percikan api itu padam oleh salju yang gugur dari angkasa

Biarlah sedikit luka menghiasi kanvas kita

Sebagai bentuk abstrak dari masa-masa indah

Kenangan tinggal hanya kenangan

Kisah-kisah itu hanya akan menjadi kisah

Yang akan kita kisahkan suatu hari nanti

Saat kita telah menepi di atas mimpi

Kawan, silahkan kau pergi

Biarlah aku berdiri

Menantimu, melihatmu

Aku hadir di sisimu

           Puisi yang menyentuh itu sedikit mengubah suasana kembali ke bahagia dan haru. Tibalah acara inti yaitu pengumuman kelulusan. Satu persatu dari kami dipanggil ke atas panggung untuk menerima mendali dan sertifikat kelulusan. Berjalan dengan sedikit rasa bangga yang hadir di dalam hati bahwa tibalah masa kami benar-benar menjadi alumni dan benar-benar akan lepas tangan dari tempat yang selama ini membentuk kami untuk menjadi seseorang. Setiap nama dipanggil dan perwakilan orangtua harus ikut naik ke panggung untuk menemani anaknya digelari mendali. Langkah berputar mengelilingi panggung dari arah kanan menuju kiri dengan tata cara yang sudah ditentukan. Giliran aku yang dipanggil. Aku berdiri dan melangkah maju ke sebelah kanan panggung, di depan sebuah photo booth untuk menunggu ayahku tiba. Tak seperti kawan yang lain, mereka berpelukan haru dengan ayah mereka, sedangkan aku hanya salam kaku dan tak banyak berekspresi. Aku mempersilahkan ayahku jalan duluan dan mulailah mendali dan sertifikat memberatkan beban lengan dan leherku. Di atas panggung kulihat wajah para guru yang terlihat berat sekali melepaskan kami dari pantauan mereka.

Acara pengumuman itu telah usai singkatnya dan beralih ke sesi perfotoan. Seluruh angkatan kami yang berjumlah 64 orang itu hampir tak mencukupi ruang panggung. Namun, terpaksalah kami dengan mendempetkan barisan dan pada akhirnya foto pun diambil dengan badan tegak kami yang berdiri rapih tanpa terlihat wajahnya karena buram dan terlalu jauh pemotretannya.

Hingga pemandu acara mengucapkan, “Telah sampailah kita di penghujung acara.” Tiga pemandu itu ucapkan doa sesuai teks yang mungkin tak benar-benar mendoakan. Tak masalah. Dan setelah itu ditutuplah acara dengan doa kafaratul majlis. Acara formal telah usai, tapi acara haru barulah bermula. Kami mendatangi para guru yang duduk di depan, berpelukan dengan haru dan penuh tangisan. Mengucapkan, “Terima kasih atas segala jasa dan bimbingan yang tak akan pernah terlupakan sepanjang masa. Terima kasih sudah memberikan ilmu yang berguna. Maafkan kami atas segala kenakalan dan ucapan atau sikap yang mungkin melukai hati. Doakan kami ya ustadz, semoga kami sukses ke depannya.”

“Maafkan ustadz juga kalau dalam mendidik ada kata yang tak enak di hati kalian. Ustadz doakan semoga kalian mendapatkan universitas yang diimpikan, dan cita-cita kalian tercapai.”

Aku pun tak kuasa menahan tangisan saat berada di pelukan Ust. Irwansyah yang sebelumnya tak pernah aku dekat dengannya apalagi berpelukan. Dan ucapan terima kasih inilah yang benar-benar tulus, tak seperti sebelumnya atau tak pernah terpikir untuk mengucapkan terima kasih. Beliau tak dekat denganku, tapi beliau memiliki jasa yang terasa olehku. Seakan aku tak bisa melepaskan dekapannya. Dan mungkin tak ingin beliau merasa kehilangan. Tapi apa daya, semua harus pergi.

Setelah puas berpisahan dengan para guru, giliran kepada kawan kita ucapkan selamat tinggal. Tak terbayang waktu yang diharapkan ini, yaitu kelulusan, justru menghapuskan episode selanjutnya tentang pertemanan. Kami meninggalkan semua kenangan di belakang kami dan berjalan menuju jalan baru dengan orang baru. Kami saling mengucapkan selamat, permintaan maaf, dan doa. Dengan senyuman, atau tangisan, atau haru di mata yang sudah kering air matanya.

Aku menghampiri keluargaku yang menunggu di belakang.

“Sedih ya.” Ibuku mengomentari suasana dengan ikut terharu.

           Aku mengajak mereka untuk pergi keluar dari gedung dan bergegas menuju asrama untuk mengangkut barang-barangku. Jam menunjukan waktu dzuhur. Hari saat itu begitu panas sekali. Kedua orangtuaku menunggu di masjid, sedangkan aku memilih untuk sholat di kamar karena memang sholat berjamaah sudah selesai. Seusai sholat, aku berpamitan dengan anggota kamarku yang selama ini aku diberikan tanggungjawab untuk memimpin mereka, tapi sebenarnya aku gagal dalam membimbing mereka, aku lebih banyak di luar kamar, dan jarang bercengkrama, hanya sebatas memberikan fasilitas WhatsApp itu pun sudah menjadi sedikit jasa mungkin bagi mereka walaupun tetap saja jasa seperti itu mudah dilupakan di benak mereka. Tapi tak masalah bagiku untuk dilupakan saat ini, namun kuyakin saat ku menjadi besar nanti, mereka pun akan kembali mengingatku. Kami berfoto ria untuk kenang-kenangan, dan meminta bantuan mereka untuk menurunkan barang-barang ke lantai dasar. Itulah saat terakhir aku berpisah dengan para santri. Dan satu guru yang belum kudatangi lagi sebelum aku pergi pulang, beliau ada di kantor. Beliau berpesan, “Tetaplah jaga agama yang telah kau pelajari selama di pesantren ini, dan jangan lupakan jasa-jasa para guru di sini. Kembangkan terus bakatmu dalam menulis, jangan berhenti sampai di sini. Jadilah pemuda yang tangguh yang menjadi orang besar di mata masyarakat. Ustadz yakin kau akan menjadi orang yang berguna kelak. Ustadz tak bisa memberikan banyak untukmu, hanya doa yang selalu menyertaimu.” Beliau adalah Ust. Munaji, guru yang paling dekat denganku semenjak aku masih bergelar santri. Beliau banyak memberikan nasihat dan bahkan makanan atau menemani jalan-jalan.

           Usai semua urusan, perpisahan sudahlah sempurna. Tinggallah aku pergi pulang menuju rumah, tepatnya menuju dunia yang jauh lebih luas bila ku kelak harus kembali pergi dari rumah. Memasukkan barang-barangku ke dalam mobil di bagasi belakang. Ayahku terlihat lelah sekali dan aku disuruh untuk menjadi sopir, padahal fisik sedang demam dan lelah luar biasa. Bukanlah masalah, ayahku tentu lebih lelah. Di jalan keluar gerbang, aku memandangi pesantren ini, inilah kali terakhirku melihat pesantren ini, sudah selesai ceritaku di sini, aku sekarang sudah menjadi alumni. Saatnya aku benar-benar terjun ke dunia nyata.

“Umi, buku cerita kaka di sini sudah tamat.”

“Ya, gak kerasa dulu ke sini nganter sekolah, sekarang nganter pulang buat gak balik lagi.”

           Di perjalanan, khayalku masih terbang di masa lalu dengan cerita-cerita uniknya, seakan aku tak bisa move on dari masa-masa itu. Aku tenggelam dalam kenangan. Aku pergi pulang tapi jiwaku masih ada di sana. Di sela perjalanan saat berhenti sejenak untuk membeli sesuatu yang ayahku inginkan, di mobil aku melihat-lihat foto-foto yang bercerita dengan sendirinya. Aku tunjukkan foto-foto itu pada ibuku yang duduk di belakang, dia mengekspresikan wajah rindu seperti dapat merasakan apa yang kurindukan. Ibu memang memiliki ikatan frekuensi yang kuat dengan anak, apalagi bagi anak lelaki. Karena ibu bagi anak lelaki adalah cinta pertamanya, maka tak heran ibu dapat merasakan apa yang kurasakan.



[1] Jamiyyah Thalabah, semacam OSIS yang mengurus segala kegiatan santri, biasanya dilakoni oleh santri kelas XI Madrasah Aliyah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemilu (dari mata orang sok tahu)

Mengoreksi Tuhan

Mimpi Untuk Cianjur