Hari Pertama di Mesir
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Matahari terlihat sangat bulat, karena muncul dari dataran luas dengan langit tanpa awan, tak seperti di negeriku yang matahari pagi banyak terhalang oleh pepohonan, bangunan, dan awan. Kami masuk ke lobby selamat dari pengecekan tanpa pembongkaran. Aku merasakan sesuatu yang berbeda sekali, rasa takjub pada diri yang masih tak menyangka bisa pergi ke luar negeri. Di ruang lobby itu kami bingung mencari toilet ataupun musalla untuk sholat subuh, perasaan sangat tak nyaman kami belum melaksanakan sholat sedangkan matahari sudah terbit tinggi. Tapi apa boleh buat, kami tak menemukan toilet di lobby, mungkin karena kami tak paham bagaimana mereka menjelaskan tempat saat kami bertanya. Cairo International Airport tidak semegah dan sebesar bandara Soekarno-Hatta, lebih tepatnya seperti stasiun kereta atau terminal bis. Sudahlah kami menyerah, ayahku bilang, “Udah keluar dulu dari bandara, cari akh Hafidz.” Akh Hafidz adalah anak dari kawan ayahku yang sedang belajar di Mesir dan dia yang akan menjemput kami di bandara.
“Tapi kaka pengen beli kartu SIM dulu.”
Aku ingin membeli kartu SIM supaya handphoneku
berfungsi dan bisa mengabarkan ibuku bahwa aku sudah sampai. Tapi saat aku
menghampiri kios Vodofone, salah satu kartu SIM di Mesir, namun saat aku
bertanya dia hanya berkata, “The system is down!” dengan logat Arab. Ya
sudahlah, pundakku berat oleh beban tas dan tanganku lelah mendorong koper yang
berat sekali. Ayahku menyuruh untuk keluar saja. Ayahku keluar bandara dan
mencari akh Hafidz, dia pun tak tahu ayahku yang mana, dia tanyakan pada
ayahnya tapi belum menjawab, namun entah mengapa seperti ada hubungan tiba-tiba
ayahku dan akh Hafidz saling melambaikan tangan dan saling mengenal, akhirnya
kami pun keluar bandara dan bertemu dengan akh Hafidz. Kami duduk di kursi yang
tersedia sambil menunggu akh Hafidz memesan taksi dan mengobrol dengan supir
taksi lewat telepon dengan bahasa Amiyah yang lancar. Aku melihat sekeliling,
ada segerombolan orang Indonesia yang mungkin sedang menjemput kawan mereka
dengan tampilan yang gaul sambil tertawa terbahak-bahak dan merokok, aku
melihat pula banyak mobil sedan yang lalu-lalang di jalan bandara. Ayahku
disapa oleh seorang ibu orang Mesir yang menyambutnya dengan bahasa Amiyah,
ayahku yang tak punya basic bahasa Arab hanya menjawab salam dan sisanya
berbahasa isyarat, aku membantunya berkata-kata dengan Fusha tapi dia
sepertinya tak paham apa yang kukatakan. Intinya dia bilang, “Selamat datang di
Mesir,” karena aku mengatakan, “Ini adalah kali pertama aku di Mesir.”
Kami mengikuti akh Hafidz mencari taksi,
berjalan kaki menyusuri jalan dengan hawa pagi yang sejuk, tak sepanas yang
kukira, karena masih pagi. Menurun lewat lift jalanan, dan menuju parkiran yang
tak beraturan yang dipenuhi oleh mobil-mobil sedan dari zaman lampau hingga
zaman kini. Kami pun menemukan taksi itu dan masuk ke mobil dengan salam.
Supirnya orang yang ramah dan itu adalah gambaran pertama bagiku terhadap orang
Mesir: mereka orang baik dan welcoming. Di perjalanan ayahku dihadiahkan
Al-Quran dan aku dihadiahkan alat dzikir, dia menceritakan sedikit tentang
Mesir seperti sebab kenapa di Mesir semua rumah berwarna pasir, katanya karena
sudah menjadi peraturan daerah untuk menyamakan warna bangunan. Aku kaget
dengan cara dia berkendara, memang jalanan di sini sangatlah mulus dan luas,
nyaman sekali untuk ugal-ugalan, tapi tetap saja bagi kami ini adalah sebuah
hal yang mengagetkan seakan mobil berjalan sesuka dan semau mereka saja.
Akhirnya kami pun sampai di tujuan, di depan
sebuah gedang yang lantai dasarnya ada sebuah toko sewalayan bernama Khair
Zaman. Jalanan yang sedikit kotor dengan sampah berserakan, tak ada gedung
megah, mobil berjalan kencang dengan klakson yang berisik. Kami menurunkan
barang-barang kami, ayahku meminta tanda tangan supir itu di Al-Quran yang dia
hadiahkan. Kami pun masuk ke gedung yang tak megah sama sekali itu, seperti tak
terawat, kemudian masuk ke lift sempit yang membawa kami ke lantai dua dengan
doa berkendara yang keluar dari radio. Keluar lift, kami hanya menemukan lorong
sempit, tak dicat, ada sebuah jendela yang tak berkaca yang terbuka menuju
sebuah ruangan yang penuh dengan sampah, gambaran buruk bagi kami. Ayahku
merasa tak betah dan berkata ingin pindah ke hotel, tapi saat dibuka pinta
penginapan milik KPMJB (Kekeluargaan Paguyuban Masyarakat Jawa Barat) ternyata
tak seburuk luarnya. Memang katanya bangunan di sini itu jelek di luar tapi
bagus di dalam. Kamar yang rapih dengan dapur dan ruang tamu yang tertata,
ayahku sedikit kaget ternyata tak seperti yang dibayangkannya, ayahku betah di
sana, kami istirahat dan sholat subuh yang sudah telat sekali. Aku sudah sangat
lelah, aku ingin tidur. Ayahku mengobrol sedikit dengan akh Hafidz lalu setelah
itu memintanya untuk menukarkan uang dan membelikan kartu SIM. Setelah itu
barulah ayahku pun istirahat dan tidur.
***
Seharusnya cerita tentang hidupku di negeri ini berlanjut
hingga tujuh hari kedepan saat ayahku kembali pulang dan aku berjuang sendiri
menghadapi berbagai cerita dan derita, telah sampai pada kisahku mengenai
perjalanan kami di Piramida, tapi segalanya lenyap karena kebodohanku terhadap
perkomputeran hingga aku melakukan kesalahan yang fatal yang mengakibatkan
laptopku ini terkena virus dan hilangnya sebagian besar tulisanku ini dan
seluruh isi laptop ini. Sejenak aku merasa down karena kehilangan banyak
tulisanku, tapi hari ini aku ingin memulai lagi. Meskipun cerita tujuh hari
kedepan telah lenyap, tapi tak mengapa, biarkan lisanku yang bercerita, dan di
sini aku hanya ingin berterus terang secara singkat tentang hidup ini dan semua
yang kualami di sini.
Komentar
Posting Komentar