Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Gambar
Diri kita terdiri dari dua hal yaitu jasad dan ruh. Jasad harus diberi gizi yang cukup untuk tumbuh kuat dan gizinya berbentuk materi seperti makanan dan minuman. Begitu juga dengan ruh yang membutuhkan asupan gizi, namun gizinya bukan berbentuk materi melainkan maknawi yaitu hidayah. Sebagaimana Allah memudahkan kita untuk mendapatkan asupan gizi materi bagi jasad kita, Allah juga telah memudahkan kita untuk mendapatkan hidayah itu sebagai asupan gizi maknawi bagi ruh kita, dengan cara diutusnya para rasul untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar dan juga diberikan pula pada manusia akal sehat agar mudah untuk meyakini apa yang dibawakan oleh para rasul. Para rasul diutus kepada kaum yang sudah mulai melenceng dari jalan yang benar, seperti kaum Nabi Nuh yang sejak 10 abad menyembah Allah lalu kemudian mereka berpaling menuju penyembahan patung akibat perilaku mereka yang berlebihan terhadap orang saleh, maka Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan mereka menuju penyem

Menuju Negeri Jauh

 Hari itu pun tiba, aku tak bisa tidur malam harinya karena membayangkan suatu hal yang tak terbayangkan sebelumnya: keluar negeri. Perasaanku campur aduk antara sedih dan bahagia, bahagia karena aku akan menemukan dunia baru dan sedih karena akan jauh dari rumahku. Segala persiapan sudahlah matang, koper sudah tertutup rapat. Aku pun bersiap-siap: mandi, mengenakan baju putih dengan jas, menyisir rambut, pokoknya berpenampilan rapih. Aku melihat setiap benda, sudut rumah, dan orang-orang. Sebelumnya aku pergi ke luar untuk membeli sarapan pagi, mengendarai motor aku berpikir bahwa sebentar lagi aku tak lagi di sini, tak lagi melihat orang-orang ini dan tak lagi bisa menikmati nasi uduk ini. Aku pun bersalam-salam dengan orang-orang yang datang untuk mengantarku. Setelah semua siap, barulah kita mulai perjalanan ini. Aku berpamitan dengan kakekku dan itu adalah kewajiban, jauh dari rumah tidaklah menjamin akan bertemu kembali apalagi bertemu dengan kakek yang berumur 90an, aku cium tangannya dan merasakan sedikit gundah, aku sebenarnya sedikit tak suka dengan kakekku karena perilakunya yang aneh, tapi aku mewajarkan karena beliau sudahlah tua, tapi aku pun sayang padanya. Maka saat bersalaman itu aku merasa bahwa apakah ini adalah salam terakhir padanya?

           Aku membuat status di WhatsApp bertuliskan +62 > +20. Banyak guru-guru yang mendoakan, para walisantri yang dulu aku menjadi musyrif bagi anak-anaknya, dan kawan-kawan yang selalu ada untukku. Kami berfoto bersama satu keluarga di depan rumah, tentunya berfoto dengan kakekku. Akhirnya kami pun berangkat, menaiki mobil dan meninggalkan rumah dan gambarannya di belakangku dan di benakku. Yang ikut mengantarkan adalah ayah-ibuku, kedua adikku, pamanku, dan satu supir yang masih kerabat dekat. Perjalanan yang membawaku setiap meternya pergi dan menghilang dari apa yang sekarang kupijak. Berusaha menangkap gambar dengan mataku untuk diingat mungkin ini terakhir kalinya aku melihat semua ini. Banyak orang yang hendak berpamitan, kami harus mampir ke kerabat kami kemudian ke ustadz kami yang keduanya sama-sama ada di Cipanas. Aku merasakan berat bagaimana dari semenjak seminggu ke belakang aku berpamitan dengan semua orang, dan sekarang sedang menuju pamit yang sesungguhnya. Banyak yang mendoakanku dan banyak pula yang menaruh harapan padaku. Doa ringan dipikul dan membawa berkah sedangkan harapan sangatlah membebani tapi aku yakin bisa menjadi apa yang mereka harapkan.

           Waktu terasa sangat singkat, kami pun tiba di bandara Soekarno-Hatta, tempat terakhir aku menginjakkan kakiku di tanah air. Kami sempat salah jalan sehingga harus memutar jauh untuk kembali ke gerbang 3. Di jalan bandara ini, aku melihat banyak pesawat yang terbang, membawa manusia yang pergi dengan tujuan, dan meninggalkan banyak orang di rumahnya. Gamila senang melihat pesawat tapi ibuku menangis akan hal itu. Aku tahu betapa beratnya ia melepaskan aku.

Sampailah di parkiran, menurunkan barang-barang dan memasukki bandara itu, bandara yang tak begitu ramai, kami pun pergi menuju restoran terdekat dari gerbang kami masuk. Dua kawanku katanya akan datang dan sudah sampai, aku menelpon mereka untuk datang kemari menuju kami, akhirnya kami pun bertemu dengan mereka setelah mereka sedikit tersesat di bandara yang luas ini. Taqi dan Alfin pun aku suruh mereka untuk duduk dan makan, di sana kami bercengkrema tentang banyak hal, masa lalu, masa depan, dan cita-cita. Foto adalah bagian wajib dalam hidup modern, kami akan selalu mengabadikan momen ini. Sesudah makan, kami pun bergegas menuju pengambilan tiket dan memberikan koper ke dalam bagasi, koper sudah pergi dan aku pun akan menyusulnya. Pukul 14:00 dan berangkat pukul 5:00 tersisa beberapa saat lagi. Seakan akan ada sesuatu yang luar biasa atau bom waktu yang sedang menghitung waktu, aku selalu melihat jam bukan untuk mengetahui waktu tapi untuk mengetahui sisa waktu. Kami hanya menunggu, sambil mengobrol, aku bilang pada Alfin, “Sebenarnya aku itu sangat keberatan, tapi aku harus pergi. Aku melihat ibuku menangis di perjalanan itu adalah suatu hal yang sangat berat, tapi diam di rumah pun tak akan menjadikanku apa-apa.”

Benar-benar berefek besar perasaan hati hingga lidah pun hilang kemampuan mengecapnya. Aku tak nafsu makan apapun, serasa semuanya terasa hambar. Aku tak bisa berkata-kata, aku tak bisa mengungkapkan apa-apa pada kedua orangtuaku. Aku hanya diam dengan mereka, dan aku mengungkapkannya hanya ke kedua kawanku itu. Dua kawan yang aku hormati jasanya, sudah rela meluangkan waktu dan jarak yang jauh hanya untuk mengantarkanku, aku menaruh hormat atas mereka. Dan tibalah masanya, waktu pun habis. Aku berkata pada ibuku, “Sudah saatnya.” Ibuku seperti tak percaya, dia seakan selalu mengalihkan pandangan untuk terlihat tak sedih, tapi saat benar-benar aku akan pergi dia pun meneteskan air mata. Di depan gerbang imigrasi kami berpelukkan. Entah kapan terakhir kali aku memeluk ibuku, tapi ini adalah pelukan yang tulus, ibuku hanya mengucapkan doa dan aku tak mampu berkata sepatah kata pun. Sebenarnya aku ingin menyampaikan sebuah kata, tapi aku hanya mampu berkata dalam hati, setidaknya dalam tulisan ini aku katakan, “Umi, andai umurku tak bertambah aku ingin selalu ada di pelukanmu, tangan mungilku ingin selalu menggenggam tanganmu. Namun, tanpa lepas dari pelukanmu pun tetap saja waktu akan memisahkan. Maka relakan bocah kecilmu ini menghadapi dunianya sendiri. Tak perlu khawatir. Ada saatnya kita harus melepaskan.”

Berat sekali untuk melepaskan pelukan, aku tahu dia selalu ingin kehadiranku, ingin selalu ada di hadapannya, menghiburnya, dan membantunya. Aku pun tak kuasa menahan tangis, aku adalah anak lelaki yang lemah yang mudah menangis saat membahas tentang ibu dari mana pun datangnya. Bahkan sempat aku berpikir untuk durhaka saja selama di rumah agar dia tak segan untuk melepaskanku dan tak sedih, tapi aku tak bisa melakukan sesuatu yang buruk untuk cinta pertamaku itu. Akhirnya lepaslah pelukan kami, berlanjut berpamitan dengan kedua adikku Ghiyas dan Gamila, lalu ke kerabat dan dua kawan itu. Alfin berkata, “Kau kuat.” Dan Taqi berkata, “Kau bisa.” Sambil menepuk pundakku. Gamila tak paham apa-apa, dia mengira bahwa aku akan kembali, tapi saat dia sadar barulah dia menangis dan memanggilku, “Kakak mana?” Aku selalu berusaha menjadi kakak yang hadir untuknya, tapi hubungan yang erat akan sulit terpisahkan bahkan untuk anak kecil yang tak paham apa itu rindu sekalipun. Kami pun berfoto-foto di sana, dan aku serta ayahku pun berjalan meninggalkan mereka, melambaikan tangan, dan akhirnya kami pun benar-benar berpisah. Mereka berbalik arah dan hilang dari pandangan, aku pun maju ke depan dan hilang dari pandangan mereka.

***

Terisa aku dan ayahku, beliau mengantarkanku hingga ke Mesir dan berencana akan tinggal di sana selama satu minggu dikarenakan aku berangkat tanpa rombongan atau orang dikenal sama sekali di sana sehingga ayahku khawatir bila aku harus berangkat seorang diri karena negeri baru tentunya akan membawa banyak hal baru, termasuk masalah. Ayahku punya banyak kenalan atau relasi dari kawan-kawannya di sini dan tujuan mengantarkanku adalah untuk memperkenalkanku dengan mereka dan menitipkanku pada mereka.

Seperti prosedur pada umumnya, kami diperiksa oleh petugas mulai dari barang bawaan hingga apapun yang menempel dengan kita menggunakan alat pemeriksa, setelah melewati itu kami pun langsung masuk ke bagian pengecekan paspor yang sudah menggunakan mesin, tinggal menempelkan paspor pada mesin itu dan pintu pun terbuka kemudian sidik jari dan wajah kami pun direkam. Tak lama setelah itu, kami berjalan jauh menuju gerbang 9 dan sesampainya di sana kami langsung masuk ke gerbang itu, kembali melakukan pengecekan dan setelah itu barulah berjalan melalui lorong menuju pintu pesawat. Kami menggunakan pesawat Emirats Airplane. Duduklah kami sesuai nomor kursi. Menunggu agak lama sebelum akhirnya take-off dan meninggalkan tanah air ini beserta segala hal yang berhubungan dengannya. Duduklah seorang wanita di sampingku yang ternyata hendak ke Mesir pula namun dengan tujuan untuk liburan, dia menanyakan tentang Mesir pada kami karena dia berangkat sendiri, kami pun tak bisa membantu karena ini pun adalah pengalaman pertama kami, dia pun meminta kami untuk bersama-sama agar tak tersesat nanti di bandara saat transit.

Perjalanan yang amat lama sekali, kukira pesawat itu berjalan sekencang angin, maksudnya saat berpindah dari satu tempat ke tempat lain itu sangatlah cepat. Aku melihat di televisi kursi perjalanan itu dan ternyata untuk pindah dari pulau Jawa ke pulau Sumatra aja sangatlah lama. Kami sedikit bosan atau memang bosan. Ayahku hanya melamun karena handphone tak bisa beroperasi, harus dalam mode pesawat, meskipun sebenarnya ada pula jasa wifi tapi kami tidak menggunakannya. Sejujurnya, aku pun berusaha tidur dalam perjalanan tapi tak bisa, aku terus meneteskan air mata di balik bantal dan berpura-pura tidur, aku masih membayangkan rumah, ibu, kedua adikku, dan banyak hal dari kampungku. Aku berusaha meyakinkan diriku, aku tak menyangka bahwa aku benar-benar pergi sejauh ini. Aku belum pernah pergi keluar provinsi kecuali ke Jakarta dan tak lama pula, sekitar beberapa bulan lalu, aku pun pergi ke Semarang dan Yogyakarta, itu saja perjalanan jauh kami. Aku pun jauh dengan keluarga hanya sampai sejauh Sukabumi, dan belum lebih dari itu. Tapi kini aku harus menyebrangi jauh sekali jarak, menyebrangi pulau dan benua. Aku masih membayangkan bagaimana beratnya hati ibuku saat pulang ke rumah. Dulu saat aku masuk pesantren pertama kali saat SMP, ibuku merasa kehilangan, seminggu pertama katanya dia masih membayangkan aku ada datang pulang dari sekolah SD siang hari, mengucapkan salam, membuka sepatu, dan makan siang. Padahal aku mondok saat itu masih di Cianjur. Apalagi sekarang, aku pergi sejauh ini, mungkinkah beliau masih membayangkan di minggu pertama bahwa aku ada di rumah? Entahlah. Tapi beliau pernah bercerita kalau beliau masih membayangkan aku di Sukabumi. Mungkin saja masih membayangkan bila melihat dahulu beliau pernah begitu. “Aku akan selalu menjadi anak kecil di hadapanmu, Umi.”

Tibalah kami di Bandara Abu Dhabi pukul 10 malam atau 1 malam waktu Indonesia. Handphoneku baru berdering lagi saat terhubung dengan wifi bandara, muncullah banyak pesan yang berisi doa dari kawan-kawan, “Terima kasih untuk mereka yang berdoa untukku.” Kami keluar dari pesawat dengan wanita tadi, kami pun mencari musalla untuk sholat maghrib dan isya, saat itulah kami berpisah dengan wanita itu. Di musalla banyak sekali orang Indonesia, pasti mereka hendak ke Mesir juga. Ayahku mengobrol dengan seorang bapak yang ternyata masih orang Jawa Barat yang hendak pergi ke Saudi untuk bekerja. Selepas itu, kami pun dengan lapar, tapi entah hendak membeli apa yang tentunya harganya akan sangat mahal, pergi mencari gerbang, aku lupa gerbang berapa itu, dan singkatnya kami tiba di sana dan bertemu dengan wanita itu lagi. Kami transit selama 4 jam dan itu waktu yang lama untuk menunggu tanpa melakukan apapun, tidur tak bisa karena kami hanya duduk di kursi, aku tak terbiasa tidur di kursi. Wanita itu membelikan kami sebotol air masing-masing dengan harga yang sangat mahal, tapi dia baik hati memberi kami. Harganya 9 USD, itu harga di luar lumrah.

Ada hal unik saat kami menunggu di bandara itu, duduklah tiga wanita tua yang sedang mengobrol heboh. Ayahku bilang kalau mereka adalah istri dari para konglamerat yang kerjaanya jalan-jalan di waktu tuanya karena anak-anak mereka pun telah sukses, dan memang benar, aku mendengar obrolan mereka bahwa salah satu anak mereka sedang kuliah di Amerika dan dari obrolannya itu terlihat bahwa mereka beragama kristen. Inilah hal unik yang kudapatkan, toleransi.

“Bapak mau kemana?” Tanya salah satu di antara mereka pada ayahku.”

“Mau ke Mesir.” Jawab ayahku. “Kalau ibu mau kemana?”

“Kami mau ke Milan kemudian ke Swiss.”

“Wow hebat, sudah jalan-jalan kemana aja ibu?” Tanya ayahku lagi.

“Kami sudah pernah ke Amerika, ke beberapa kota di sana. Ini anak bapak?” Menunjuk padaku.

“Iya, saya ngater anak saya belajar ke Mesir.”

“Oh begitu ya, berarti bisa bahasa Arab ya?”

“Iya sedikit-sedikit.” Jawabku.

“Untuk belajar apa di sana?”

“Belajar agama.”

“Berarti dulu pesantren ya? Hafal Quran juga?”

“Iya, alhadulillah.” Jawabku.

“Quran sama bahasa Arab itu sama kan?”

“Quran itu berbahasa Arab tapi tak setiap orang yang membacanya itu bisa bahasa Arab, bahasa Arab harus dipelajari lagi untuk bisa memahaninya.”

“Quran itu kayak gimana?” Tanya salah satu di antara mereka.

“Quran itu kayak Al-Kitab, isinya perkataan Tuhan, mereka menghafalnya.” Jawab salah satu di antara mereka. “Berarti kamu bakalan jadi ustadz?”

“Insya Allah.” Jawabku singkat.

“Apa bedanya ustadz sama habib?”

“Kalau ustadz itu dia yang menyampaikan agama sedangkan habib itu yang mengaku dirinya keturunan Nabi, meskipun di Indonesia kebanyakannya hanya mengaku-ngaku saja tanpa tau nasabnya.”

“Oh begitu, belajar apa disana nanti? Al-Quran atau apa?”

“Saya akan belajar fiqh. Fiqh itu tatacara beribadah.”

“Semoga Tuhan memberikan kelancaran dan kemudahan.”

“Amin.” Aku didoakan oleh seorang kristen, salahkah? Tentu tidak. Menurutku meskipun mereka berbeda agama, tapi doanya itu tulus dan mengharapkan kebaikan. Itu sebuah hal yang indah menurutku, di mana seorang kristen mendoakan agar seorang muslim untuk menjadi orang yang berguna. Aku pun berterima kasih atas doa mereka, dan berkata, “Minta doanya saja ya..” Aku tahu bahwa mereka tak berdoa pada Allah yang sama dengan kita, tapi ketika kita mampu saling menghargai dan saling mendoakan maka itu menciptakan keindahan. Aku betul-betul merasa takjub saat itu. Jikalau mereka mendoakanku kebaikan, maka aku pun mendoakan mereka lewat tulisan ini, “Semoga Allah memberikan mereka hidayah sebelum ajal dan menunjukkan cahaya dan keindahan Islam.”

Tibalah waktunya kami berangkat lagi, akhirnya kami pun keluar pintu dan masuk ke dalam bis, sebelum itu datanglah seorang wanita lagi yang menanyakan padaku terjemahan dari alamat izin tinggal berbahasa Arab itu, karena aku belum pernah ke Mesir jadi aku tak mengerti cara membaca alamat. Jadi katanya dia ini pernah tinggal setahun di Mesir karena menikah dengan kekasihnya yang seorang Mesir yang dia temukan di Facebook, tapi selama satu tahun itu dia tak pernah ke luar rumah, jadi dia tak paham Mesir dan bahasanya. Dia berbicara dengan suaminya itu dengan google translate, akan tetapi seiring berjalannya waktu suaminya itu bisa bahasa Indonesia, jadi mereka berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Namun setelah setahun itu, Istrinya pulang ke Indonesia. Entah berapa lama di Indonesia, pokoknya katanya dia dipanggil oleh suaminya, yang katanya sedang marah itu, untuk balik lagi ke Mesir, karena ibunya sakit akhirnya dia banyak menunda hingga akhirnya suaminya ini memaksa untuk pergi secepatnya dengan amarah, tapi saat wanita ini di perjalanan suaminya memblokir nomernya sehingga tak bisa menghubungi atau menanyakan alamat, oleh karena itu wanita ini tak tahu harus ke mana nanti saat di Kairo, untung saja wanita yang tadi duduk sejajar di pesawat punya teman yang sudah lama di Mesir dan meminta bantuannya untuk membantu wanita malang ini. Lika-liku bandara, kita bertemu dengan orang sepintas tapi tahu banyak masalahnya. Problem pernikahan beda negara, pasti banyak hal yang tak selaras karena berbeda kultur dan adat kebiasaan.

Kami naik lagi pesawat kedua ini pukul 2 malam dengan wajah yang sudah tak lagi fit karena lelah sekali, malam itu di pesawat kami hanya tertidur dan sedikit sekali terasa bahwa perjalanan lumayan lama. Menu yang disediakan di pesawat ini sudah mulai terasa Mesirnya karena pada menunya ada roti dan yogurt, tak seperti saat di pesawat pertama yang makananya masih berhubungan dengan tanah air. Tapi di keduany kami tak merasa kenyang ataupun puas karena tak nafsu sekali. Kami diberikan selembaran kertas yang harus diisi berbahasa Arab, kami tak paham cara mengerjakannya, namun untung saja ada seorang mahasiswa Al-Azhar di samping kami yang membantu memberitahu cara mengisinya.

Sampailah kami pagi itu, dengan matahari terbit di negeri yang baru, terbit sebagaimana aku terbit di dunia baru. “Inilah rumahku kedua.” Meskipun entahlah akan menjadi rumah yang membuatku nyaman atau tidak. Roda pesawat menapak di tanah dan kakiku sudah menginjak di tanah Mesir, negeri yang tak terbayangkan aku akan pergi ke sini, negeri dari firaun dan para nabi, negeri yang unik. Kaki sudah menginjak, tapi aku belum resmi masuk ke negeri itu. Turunlah kami dari pesawat dan masuk mengantre di bagian pengecekan visa dan tujuan. Aku ditanya tujuan dengan bahasa yang seperti bukan bahasa Arab tapi aku pahan sedikit perkataanya, aku berkata, “Al-Azhar... dirasah..” Dia menjawab, “Muhtaram... Muhtaram.. (mulia.. mulia..).” Aku dicek dengan cepat sekali sedangkan ayahku sangatlah lama, entah ditanya perihal apa atau mungkin tak bisa menjawabnya, tapi akhirnya bisa pula lolos di pengecekan itu dan kami resmi masuk ke negeri Mesir ini. Alhamdulillah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemilu (dari mata orang sok tahu)

Mimpi Untuk Cianjur

Penghargaan Yang Bukan Penghargaan (Mencari Hakikat Prestasi & Apresiasi)