Menuju Negeri Jauh
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Hari itu pun tiba, aku tak bisa tidur malam harinya karena membayangkan suatu hal yang tak terbayangkan sebelumnya: keluar negeri. Perasaanku campur aduk antara sedih dan bahagia, bahagia karena aku akan menemukan dunia baru dan sedih karena akan jauh dari rumahku. Segala persiapan sudahlah matang, koper sudah tertutup rapat. Aku pun bersiap-siap: mandi, mengenakan baju putih dengan jas, menyisir rambut, pokoknya berpenampilan rapih. Aku melihat setiap benda, sudut rumah, dan orang-orang. Sebelumnya aku pergi ke luar untuk membeli sarapan pagi, mengendarai motor aku berpikir bahwa sebentar lagi aku tak lagi di sini, tak lagi melihat orang-orang ini dan tak lagi bisa menikmati nasi uduk ini. Aku pun bersalam-salam dengan orang-orang yang datang untuk mengantarku. Setelah semua siap, barulah kita mulai perjalanan ini. Aku berpamitan dengan kakekku dan itu adalah kewajiban, jauh dari rumah tidaklah menjamin akan bertemu kembali apalagi bertemu dengan kakek yang berumur 90an, aku cium tangannya dan merasakan sedikit gundah, aku sebenarnya sedikit tak suka dengan kakekku karena perilakunya yang aneh, tapi aku mewajarkan karena beliau sudahlah tua, tapi aku pun sayang padanya. Maka saat bersalaman itu aku merasa bahwa apakah ini adalah salam terakhir padanya?
Aku membuat status di WhatsApp bertuliskan +62
> +20. Banyak guru-guru yang mendoakan, para walisantri yang dulu aku
menjadi musyrif bagi anak-anaknya, dan kawan-kawan yang selalu ada untukku.
Kami berfoto bersama satu keluarga di depan rumah, tentunya berfoto dengan
kakekku. Akhirnya kami pun berangkat, menaiki mobil dan meninggalkan rumah dan
gambarannya di belakangku dan di benakku. Yang ikut mengantarkan adalah
ayah-ibuku, kedua adikku, pamanku, dan satu supir yang masih kerabat dekat.
Perjalanan yang membawaku setiap meternya pergi dan menghilang dari apa yang
sekarang kupijak. Berusaha menangkap gambar dengan mataku untuk diingat mungkin
ini terakhir kalinya aku melihat semua ini. Banyak orang yang hendak
berpamitan, kami harus mampir ke kerabat kami kemudian ke ustadz kami yang
keduanya sama-sama ada di Cipanas. Aku merasakan berat bagaimana dari semenjak
seminggu ke belakang aku berpamitan dengan semua orang, dan sekarang sedang
menuju pamit yang sesungguhnya. Banyak yang mendoakanku dan banyak pula yang
menaruh harapan padaku. Doa ringan dipikul dan membawa berkah sedangkan harapan
sangatlah membebani tapi aku yakin bisa menjadi apa yang mereka harapkan.
Waktu
terasa sangat singkat, kami pun tiba di bandara Soekarno-Hatta, tempat terakhir
aku menginjakkan kakiku di tanah air. Kami sempat salah jalan sehingga harus
memutar jauh untuk kembali ke gerbang 3. Di jalan bandara ini, aku melihat
banyak pesawat yang terbang, membawa manusia yang pergi dengan tujuan, dan
meninggalkan banyak orang di rumahnya. Gamila senang melihat pesawat tapi ibuku
menangis akan hal itu. Aku tahu betapa beratnya ia melepaskan aku.
Sampailah di parkiran, menurunkan
barang-barang dan memasukki bandara itu, bandara yang tak begitu ramai, kami
pun pergi menuju restoran terdekat dari gerbang kami masuk. Dua kawanku katanya
akan datang dan sudah sampai, aku menelpon mereka untuk datang kemari menuju
kami, akhirnya kami pun bertemu dengan mereka setelah mereka sedikit tersesat
di bandara yang luas ini. Taqi dan Alfin pun aku suruh mereka untuk duduk dan
makan, di sana kami bercengkrema tentang banyak hal, masa lalu, masa depan, dan
cita-cita. Foto adalah bagian wajib dalam hidup modern, kami akan selalu
mengabadikan momen ini. Sesudah makan, kami pun bergegas menuju pengambilan
tiket dan memberikan koper ke dalam bagasi, koper sudah pergi dan aku pun akan
menyusulnya. Pukul 14:00 dan berangkat pukul 5:00 tersisa beberapa saat lagi.
Seakan akan ada sesuatu yang luar biasa atau bom waktu yang sedang menghitung
waktu, aku selalu melihat jam bukan untuk mengetahui waktu tapi untuk mengetahui
sisa waktu. Kami hanya menunggu, sambil mengobrol, aku bilang pada Alfin,
“Sebenarnya aku itu sangat keberatan, tapi aku harus pergi. Aku melihat ibuku
menangis di perjalanan itu adalah suatu hal yang sangat berat, tapi diam di
rumah pun tak akan menjadikanku apa-apa.”
Benar-benar berefek besar perasaan hati hingga
lidah pun hilang kemampuan mengecapnya. Aku tak nafsu makan apapun, serasa
semuanya terasa hambar. Aku tak bisa berkata-kata, aku tak bisa mengungkapkan
apa-apa pada kedua orangtuaku. Aku hanya diam dengan mereka, dan aku
mengungkapkannya hanya ke kedua kawanku itu. Dua kawan yang aku hormati
jasanya, sudah rela meluangkan waktu dan jarak yang jauh hanya untuk
mengantarkanku, aku menaruh hormat atas mereka. Dan tibalah masanya, waktu pun
habis. Aku berkata pada ibuku, “Sudah saatnya.” Ibuku seperti tak percaya, dia
seakan selalu mengalihkan pandangan untuk terlihat tak sedih, tapi saat
benar-benar aku akan pergi dia pun meneteskan air mata. Di depan gerbang
imigrasi kami berpelukkan. Entah kapan terakhir kali aku memeluk ibuku, tapi
ini adalah pelukan yang tulus, ibuku hanya mengucapkan doa dan aku tak mampu
berkata sepatah kata pun. Sebenarnya aku ingin menyampaikan sebuah kata, tapi
aku hanya mampu berkata dalam hati, setidaknya dalam tulisan ini aku katakan,
“Umi, andai umurku tak bertambah aku ingin selalu ada di pelukanmu, tangan
mungilku ingin selalu menggenggam tanganmu. Namun, tanpa lepas dari pelukanmu
pun tetap saja waktu akan memisahkan. Maka relakan bocah kecilmu ini menghadapi
dunianya sendiri. Tak perlu khawatir. Ada saatnya kita harus melepaskan.”
Berat sekali untuk melepaskan pelukan, aku
tahu dia selalu ingin kehadiranku, ingin selalu ada di hadapannya,
menghiburnya, dan membantunya. Aku pun tak kuasa menahan tangis, aku adalah
anak lelaki yang lemah yang mudah menangis saat membahas tentang ibu dari mana
pun datangnya. Bahkan sempat aku berpikir untuk durhaka saja selama di rumah
agar dia tak segan untuk melepaskanku dan tak sedih, tapi aku tak bisa
melakukan sesuatu yang buruk untuk cinta pertamaku itu. Akhirnya lepaslah
pelukan kami, berlanjut berpamitan dengan kedua adikku Ghiyas dan Gamila, lalu
ke kerabat dan dua kawan itu. Alfin berkata, “Kau kuat.” Dan Taqi berkata, “Kau
bisa.” Sambil menepuk pundakku. Gamila tak paham apa-apa, dia mengira bahwa aku
akan kembali, tapi saat dia sadar barulah dia menangis dan memanggilku, “Kakak
mana?” Aku selalu berusaha menjadi kakak yang hadir untuknya, tapi hubungan
yang erat akan sulit terpisahkan bahkan untuk anak kecil yang tak paham apa itu
rindu sekalipun. Kami pun berfoto-foto di sana, dan aku serta ayahku pun
berjalan meninggalkan mereka, melambaikan tangan, dan akhirnya kami pun
benar-benar berpisah. Mereka berbalik arah dan hilang dari pandangan, aku pun
maju ke depan dan hilang dari pandangan mereka.
***
Terisa aku dan ayahku, beliau mengantarkanku
hingga ke Mesir dan berencana akan tinggal di sana selama satu minggu
dikarenakan aku berangkat tanpa rombongan atau orang dikenal sama sekali di
sana sehingga ayahku khawatir bila aku harus berangkat seorang diri karena
negeri baru tentunya akan membawa banyak hal baru, termasuk masalah. Ayahku
punya banyak kenalan atau relasi dari kawan-kawannya di sini dan tujuan
mengantarkanku adalah untuk memperkenalkanku dengan mereka dan menitipkanku
pada mereka.
Seperti prosedur pada umumnya, kami diperiksa
oleh petugas mulai dari barang bawaan hingga apapun yang menempel dengan kita
menggunakan alat pemeriksa, setelah melewati itu kami pun langsung masuk ke
bagian pengecekan paspor yang sudah menggunakan mesin, tinggal menempelkan
paspor pada mesin itu dan pintu pun terbuka kemudian sidik jari dan wajah kami
pun direkam. Tak lama setelah itu, kami berjalan jauh menuju gerbang 9 dan
sesampainya di sana kami langsung masuk ke gerbang itu, kembali melakukan
pengecekan dan setelah itu barulah berjalan melalui lorong menuju pintu
pesawat. Kami menggunakan pesawat Emirats Airplane. Duduklah kami sesuai nomor
kursi. Menunggu agak lama sebelum akhirnya take-off dan meninggalkan tanah air
ini beserta segala hal yang berhubungan dengannya. Duduklah seorang wanita di
sampingku yang ternyata hendak ke Mesir pula namun dengan tujuan untuk liburan,
dia menanyakan tentang Mesir pada kami karena dia berangkat sendiri, kami pun
tak bisa membantu karena ini pun adalah pengalaman pertama kami, dia pun
meminta kami untuk bersama-sama agar tak tersesat nanti di bandara saat
transit.
Perjalanan yang amat lama sekali, kukira
pesawat itu berjalan sekencang angin, maksudnya saat berpindah dari satu tempat
ke tempat lain itu sangatlah cepat. Aku melihat di televisi kursi perjalanan
itu dan ternyata untuk pindah dari pulau Jawa ke pulau Sumatra aja sangatlah
lama. Kami sedikit bosan atau memang bosan. Ayahku hanya melamun karena
handphone tak bisa beroperasi, harus dalam mode pesawat, meskipun sebenarnya
ada pula jasa wifi tapi kami tidak menggunakannya. Sejujurnya, aku pun berusaha
tidur dalam perjalanan tapi tak bisa, aku terus meneteskan air mata di balik
bantal dan berpura-pura tidur, aku masih membayangkan rumah, ibu, kedua adikku,
dan banyak hal dari kampungku. Aku berusaha meyakinkan diriku, aku tak
menyangka bahwa aku benar-benar pergi sejauh ini. Aku belum pernah pergi keluar
provinsi kecuali ke Jakarta dan tak lama pula, sekitar beberapa bulan lalu, aku
pun pergi ke Semarang dan Yogyakarta, itu saja perjalanan jauh kami. Aku pun
jauh dengan keluarga hanya sampai sejauh Sukabumi, dan belum lebih dari itu.
Tapi kini aku harus menyebrangi jauh sekali jarak, menyebrangi pulau dan benua.
Aku masih membayangkan bagaimana beratnya hati ibuku saat pulang ke rumah. Dulu
saat aku masuk pesantren pertama kali saat SMP, ibuku merasa kehilangan,
seminggu pertama katanya dia masih membayangkan aku ada datang pulang dari
sekolah SD siang hari, mengucapkan salam, membuka sepatu, dan makan siang.
Padahal aku mondok saat itu masih di Cianjur. Apalagi sekarang, aku pergi
sejauh ini, mungkinkah beliau masih membayangkan di minggu pertama bahwa aku
ada di rumah? Entahlah. Tapi beliau pernah bercerita kalau beliau masih
membayangkan aku di Sukabumi. Mungkin saja masih membayangkan bila melihat
dahulu beliau pernah begitu. “Aku akan selalu menjadi anak kecil di hadapanmu,
Umi.”
Tibalah kami di Bandara Abu Dhabi pukul 10
malam atau 1 malam waktu Indonesia. Handphoneku baru berdering lagi saat
terhubung dengan wifi bandara, muncullah banyak pesan yang berisi doa dari
kawan-kawan, “Terima kasih untuk mereka yang berdoa untukku.” Kami keluar dari
pesawat dengan wanita tadi, kami pun mencari musalla untuk sholat maghrib dan
isya, saat itulah kami berpisah dengan wanita itu. Di musalla banyak sekali
orang Indonesia, pasti mereka hendak ke Mesir juga. Ayahku mengobrol
dengan seorang bapak yang ternyata masih orang Jawa Barat yang hendak pergi ke
Saudi untuk bekerja. Selepas itu, kami pun dengan lapar, tapi entah hendak membeli
apa yang tentunya harganya akan sangat mahal, pergi mencari gerbang, aku lupa
gerbang berapa itu, dan singkatnya kami tiba di sana dan bertemu dengan wanita
itu lagi. Kami transit selama 4 jam dan itu waktu yang lama untuk menunggu
tanpa melakukan apapun, tidur tak bisa karena kami hanya duduk di kursi, aku
tak terbiasa tidur di kursi. Wanita itu membelikan kami sebotol air
masing-masing dengan harga yang sangat mahal, tapi dia baik hati memberi kami.
Harganya 9 USD, itu harga di luar lumrah.
Ada hal unik saat kami menunggu di bandara
itu, duduklah tiga wanita tua yang sedang mengobrol heboh. Ayahku bilang kalau
mereka adalah istri dari para konglamerat yang kerjaanya jalan-jalan di waktu
tuanya karena anak-anak mereka pun telah sukses, dan memang benar, aku
mendengar obrolan mereka bahwa salah satu anak mereka sedang kuliah di Amerika
dan dari obrolannya itu terlihat bahwa mereka beragama kristen. Inilah hal unik
yang kudapatkan, toleransi.
“Bapak mau kemana?” Tanya salah satu di antara mereka
pada ayahku.”
“Mau ke Mesir.” Jawab ayahku. “Kalau ibu mau kemana?”
“Kami mau ke Milan kemudian ke Swiss.”
“Wow hebat, sudah jalan-jalan kemana aja ibu?” Tanya
ayahku lagi.
“Kami sudah pernah ke Amerika, ke beberapa kota di sana.
Ini anak bapak?” Menunjuk padaku.
“Iya, saya ngater anak saya belajar ke Mesir.”
“Oh begitu ya, berarti bisa bahasa Arab ya?”
“Iya sedikit-sedikit.” Jawabku.
“Untuk belajar
apa di sana?”
“Belajar
agama.”
“Berarti dulu
pesantren ya? Hafal Quran juga?”
“Iya,
alhadulillah.” Jawabku.
“Quran sama
bahasa Arab itu sama kan?”
“Quran itu
berbahasa Arab tapi tak setiap orang yang membacanya itu bisa bahasa Arab,
bahasa Arab harus dipelajari lagi untuk bisa memahaninya.”
“Quran itu
kayak gimana?” Tanya salah satu di antara mereka.
“Quran itu
kayak Al-Kitab, isinya perkataan Tuhan, mereka menghafalnya.” Jawab salah satu
di antara mereka. “Berarti kamu bakalan jadi ustadz?”
“Insya Allah.”
Jawabku singkat.
“Apa bedanya
ustadz sama habib?”
“Kalau ustadz
itu dia yang menyampaikan agama sedangkan habib itu yang mengaku dirinya
keturunan Nabi, meskipun di Indonesia kebanyakannya hanya mengaku-ngaku saja
tanpa tau nasabnya.”
“Oh begitu,
belajar apa disana nanti? Al-Quran atau apa?”
“Saya akan
belajar fiqh. Fiqh itu tatacara beribadah.”
“Semoga Tuhan memberikan
kelancaran dan kemudahan.”
“Amin.” Aku
didoakan oleh seorang kristen, salahkah? Tentu tidak. Menurutku meskipun mereka
berbeda agama, tapi doanya itu tulus dan mengharapkan kebaikan. Itu sebuah hal
yang indah menurutku, di mana seorang kristen mendoakan agar seorang muslim
untuk menjadi orang yang berguna. Aku pun berterima kasih atas doa mereka, dan
berkata, “Minta doanya saja ya..” Aku tahu bahwa mereka tak berdoa pada Allah
yang sama dengan kita, tapi ketika kita mampu saling menghargai dan saling
mendoakan maka itu menciptakan keindahan. Aku betul-betul merasa takjub saat
itu. Jikalau mereka mendoakanku kebaikan, maka aku pun mendoakan mereka lewat
tulisan ini, “Semoga Allah memberikan mereka hidayah sebelum ajal dan
menunjukkan cahaya dan keindahan Islam.”
Tibalah waktunya kami berangkat lagi, akhirnya
kami pun keluar pintu dan masuk ke dalam bis, sebelum itu datanglah seorang
wanita lagi yang menanyakan padaku terjemahan dari alamat izin tinggal
berbahasa Arab itu, karena aku belum pernah ke Mesir jadi aku tak mengerti cara
membaca alamat. Jadi katanya dia ini pernah tinggal setahun di Mesir karena
menikah dengan kekasihnya yang seorang Mesir yang dia temukan di Facebook, tapi
selama satu tahun itu dia tak pernah ke luar rumah, jadi dia tak paham Mesir
dan bahasanya. Dia berbicara dengan suaminya itu dengan google translate, akan
tetapi seiring berjalannya waktu suaminya itu bisa bahasa Indonesia, jadi
mereka berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Namun setelah setahun itu,
Istrinya pulang ke Indonesia. Entah berapa lama di Indonesia, pokoknya katanya
dia dipanggil oleh suaminya, yang katanya sedang marah itu, untuk balik lagi ke
Mesir, karena ibunya sakit akhirnya dia banyak menunda hingga akhirnya suaminya
ini memaksa untuk pergi secepatnya dengan amarah, tapi saat wanita ini di
perjalanan suaminya memblokir nomernya sehingga tak bisa menghubungi atau
menanyakan alamat, oleh karena itu wanita ini tak tahu harus ke mana nanti saat
di Kairo, untung saja wanita yang tadi duduk sejajar di pesawat punya teman
yang sudah lama di Mesir dan meminta bantuannya untuk membantu wanita malang
ini. Lika-liku bandara, kita bertemu dengan orang sepintas tapi tahu banyak
masalahnya. Problem pernikahan beda negara, pasti banyak hal yang tak selaras
karena berbeda kultur dan adat kebiasaan.
Kami naik lagi pesawat kedua ini pukul 2 malam
dengan wajah yang sudah tak lagi fit karena lelah sekali, malam itu di pesawat
kami hanya tertidur dan sedikit sekali terasa bahwa perjalanan lumayan lama.
Menu yang disediakan di pesawat ini sudah mulai terasa Mesirnya karena pada
menunya ada roti dan yogurt, tak seperti saat di pesawat pertama yang makananya
masih berhubungan dengan tanah air. Tapi di keduany kami tak merasa kenyang
ataupun puas karena tak nafsu sekali. Kami diberikan selembaran kertas yang
harus diisi berbahasa Arab, kami tak paham cara mengerjakannya, namun untung
saja ada seorang mahasiswa Al-Azhar di samping kami yang membantu memberitahu
cara mengisinya.
Sampailah kami pagi itu, dengan matahari
terbit di negeri yang baru, terbit sebagaimana aku terbit di dunia baru.
“Inilah rumahku kedua.” Meskipun entahlah akan menjadi rumah yang membuatku
nyaman atau tidak. Roda pesawat menapak di tanah dan kakiku sudah menginjak di
tanah Mesir, negeri yang tak terbayangkan aku akan pergi ke sini, negeri dari
firaun dan para nabi, negeri yang unik. Kaki sudah menginjak, tapi aku belum
resmi masuk ke negeri itu. Turunlah kami dari pesawat dan masuk mengantre di
bagian pengecekan visa dan tujuan. Aku ditanya tujuan dengan bahasa yang
seperti bukan bahasa Arab tapi aku pahan sedikit perkataanya, aku berkata,
“Al-Azhar... dirasah..” Dia menjawab, “Muhtaram... Muhtaram.. (mulia..
mulia..).” Aku dicek dengan cepat sekali sedangkan ayahku sangatlah lama, entah
ditanya perihal apa atau mungkin tak bisa menjawabnya, tapi akhirnya bisa pula
lolos di pengecekan itu dan kami resmi masuk ke negeri Mesir ini.
Alhamdulillah.
Komentar
Posting Komentar