Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Gambar
Diri kita terdiri dari dua hal yaitu jasad dan ruh. Jasad harus diberi gizi yang cukup untuk tumbuh kuat dan gizinya berbentuk materi seperti makanan dan minuman. Begitu juga dengan ruh yang membutuhkan asupan gizi, namun gizinya bukan berbentuk materi melainkan maknawi yaitu hidayah. Sebagaimana Allah memudahkan kita untuk mendapatkan asupan gizi materi bagi jasad kita, Allah juga telah memudahkan kita untuk mendapatkan hidayah itu sebagai asupan gizi maknawi bagi ruh kita, dengan cara diutusnya para rasul untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar dan juga diberikan pula pada manusia akal sehat agar mudah untuk meyakini apa yang dibawakan oleh para rasul. Para rasul diutus kepada kaum yang sudah mulai melenceng dari jalan yang benar, seperti kaum Nabi Nuh yang sejak 10 abad menyembah Allah lalu kemudian mereka berpaling menuju penyembahan patung akibat perilaku mereka yang berlebihan terhadap orang saleh, maka Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan mereka menuju penyem

Sebelum Pergi

 Hari-hari setelah rekreasi bersama sahabatku itu hanyalah berdiam diri di rumah menikmati sisa-sisa waktu bersama keluarga, meskipun sesekali keluar rumah atau pergi ke suatu tempat sendirian karena aku adalah orang yang selalu ingin pergi mencari banyak hal, bukan tipikal orang yang menikmati diam di rumah.

           Gamila adalah adikku yang selalu menjadi penghiburku ketika di rumah, rasa bosanku hilang ketika aku bermain dengannya. Aku selalu ingin menjadi sosok yang ada di keluarga, bukan untuk mencari perhatian, akan tetapi ingin menikmati hari-hari ini karena aku tahu suatu saat nanti hari ini akan berakhir dan kita sulit bertemu. Aku ingin menjadi sosok kakak yang ada bagi kedua adikku, meskipun Ghiyas lebih suka diam di kamar sehingga aku sulit untuk bergaul dengannya. Adapun Gamila karena dia masih kecil sehingga aku sangat mudah mendekatinya. Sebentar lagi akan pergi untuk waktu yang lama, aku ingin Gamila mengingatku bahwa aku adalah kakaknya yang senatiasa menemani waktu masa kecilnya. Aku ingin menjadi sosok yang ayahku banggakan, meskipun terkadang ayahku melihat bahwa aku mungkin memiliki keterbatasan yang tak sesuai dengan keinginannya, namun aku selalu mampu menghadirkan diriku bahwa aku bisa menjadi yang mereka mau dengan cara dan bakatku. Ibuku adalah cinta pertamaku, aku sangat mencintainya. Dia adalah sosok yang selalu ada di dalam pikiranku, dia adalah rumahku. Aku ingin menjadi sosok anak lelaki yang selalu hadir untuknya, tertawa bersamanya, dan mencurahkan isi hatiku padanya. Aku tahu bahwa aku sering mengecewakan mereka semua, tapi perbuatanku selalu aku sesali dan berusaha untuk tetap menjadi sosok yang baik di mata mereka.

           Di sisa-sisa terakhir ini, seakan benar-benar aku akan pergi. Aku merasakan bahwa ini bagian dari perpisahan yang sesungguhnya di mana mataku dan ingatanku selalu mengingat bahwa kelak aku tak lagi di sini dan akan melihat dunia yang berbeda. Bercengkrema tentang masa depan dengan ayahku, karena dia adalah sosok yang sudah banyak melampaui masa dan pengalamannya haruslah dicontoh, meniti sarannya untuk masa depanku. Aku dan ayahku sering berdiskusi ataupun berdebat tentang banyak hal, dan tempat yang tepat untuk membahas adalah mobil dan meja makan. Ibuku adalah tempatku mencurahkan isi hatiku, aku menceritakan banyak hal tentang masa lalu kepadanya, atau tentang saran-saran dalam menjalani hidup, aku suka bercerita, membuatnya tertawa. Aku selalu menjuluki diriku sebagai Perindu Masa Lalu dan Pemikir Masa Depan. Ibuku adalah tempatku merindukan masalalu dan ayahku adalah tempatku memikirkan masa depan.

           Di antara hari-hari ini aku diajak oleh kawanku, Altaf untuk kembali mengunjungi pesantrenku. Kini aku benar-benar merasakan menjadi alumni tatkala aku masuk ke pesantren dengan banyak santri di sana, aku merasa canggung dan malu seakan aku bukanlah asli orang sini, tapi hanyalah tamu. Entah mengapa? Mungkin karena masa lalu tidak bisa diulang sehingga seberapa pun usahaku untuk mengembalikan hari-hari itu tidaklah bisa.

           Malam itu, aku mendatangi Ust. Munaji di kantornya sebagaimana yang aku biasa lakukan dahulu semasa santri ataupun pengabdian. Aku meminta banyak saran, bercerita banyak hal, saling menukar pendapat, dan nasihat sebelum aku pergi. Nasihat yang selalu dan memang itulah inti dari nasihat seorang guru adalah untuk menjaga ketakwaan kepada Allah di manapun kita berada, dan selalu memperbaharui niat. Bahkan demi menekankan nasihat, aku meminta pesan wasiat sebelum hari keberangkatanku, beliau mengatakan, “Pertama ku katakan:

زَوَّدَكَ اللَّهُ التَّقْوَى ، وَغَفَرَ ذَنْبَكَ ، وَيَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ حَيْثُمَا كُنْتَ

Semoga Allah membekalimu ketaqwaan , dan mengampuni dosamu , dan memudahkan kebaikan untukmu dimanapun kamu berada....

Kubekali kepergianmu dengan kata-kata bijak & untaian nasehat dari sang penuntut ilmu sejati nan legendaris (Al-Imam As-Syafii -rahimuhullah ta'ala-)

Merantaulah…

Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.

Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang).

Merantaulah…

Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan).

Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam..

tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.

Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang).

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.

Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya.

Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.

Selamat menempuh perjalanan  & berjuang di adikku...

Allah senantiasa membersamaimu, malaikat-malaikat ar-Rahman tak henti memayungimu dengan sayap indahnya...”

           Setelah banyak hal kita berbincang, jam sudah menunjukkan larut malam dan beliau hendak pergi pulang, aku pun di sana berpamitan dan itulah kala terakhir aku bertemu dengannya.

           Hari kunjunganku ke pesantren benar-benar kami gunakan untuk berusaha mengulang kembali hari-hari lalu meskipun tak akan pernah bisa. Kami menonton bareng, jalan-jalan ke kota, bercanda, makan bareng, dan lain sebagainya. Di penghujung aku pun berpamitan dengan mereka dan meminta doa agar aku diberikan kemudahan. Aku bersaksi bahwa mereka adalah teman-teman terbaikku, dan aku tak akan pernah melupakan. Hari itu menjadi hari terakhirku melihat wajah para ustadz, para santri, para kawan, bangunan pesantren, dan kota Sukabumi.

           Fabian dan Yassar kuajak mereka untuk mengunjugi rumahku sebentar saja, walaupun tak ada kegiatan di sana, hanya sekedar makan dan tidur. Namun ya setidaknya Fabian dan Yassar tahu rumahku dan sedikit mengurangi waktu berpisah. Mereka kembali pulang ke Sukabumi menggunakan kereta sore itu, dan itulah perpisahan aku dengan Fabian dan Yassar, yang sudah lama tak bertemu dan entah kapan lagi akan bertemu. Di stasiun Cianjur yang agak sedikit padat dan diselipi orang-orang wibu yang consplay itu, kami berpisah, melambaikan tangan dan terhalang oleh ramainya orang.

           Barulah semenjak itu aku benar-benar diam di rumah, mempersiapkan banyak hal untuk keberangkatan, mulai dari barang hingga mental dan ilmu bahasa. Sisanya adalah hal lumrah yaitu bergaul baik dengan keluarga.

           Waktu berkumpul dengan keluarga adalah hal yang amat spesial bagiku, dari dulu aku selalu mengedepankan keluarga di atas apapun, saat masa libur yang pendek dari pesantren maka aku akan habiskan seluruhnya untuk mereka, namun bila lebih panjang hari liburnya maka barulah aku menyempatkan untuk bermain bersama kawan-kawan. Semenjak aku masuk SMP, aku sudah tak lagi ada sepanjang hari untuk mereka karena aku harus belajar di pesantren. Aku tahu mereka selalu ingin aku ada sepanjang hari di sana, akan tetapi mereka pun rela melepaskanku untuk jauh dari mereka. Jarak hari kelulusan dengan hari keberangkatan ke Mesir itu sekitar satu bulan lebih beberapa hari, waktu yang pendek yang tersisa bagiku untuk menemani mereka sepanjang hari. Aku merasakan berat sangat ketika pergi ke pesantren, bahkan aku pernah marah sekali ke salah seorang ustadz karena melarangku izin untuk pulang ke rumah ketika masa pengabdian, sebagaimana aku merasakan beratnya pergi maka orangtuaku pun merasakan beratnya ditinggalkan. Tapi apalah daya, dunia ini sempit tapi perpisahan adalah hal yang tak terelakan. Kita memanglah harus berjuang keras menghadapi dunia ini, menghadapi rasa sedih, rasa kecewa, hawa nafsu dan menjaga ketaatan. Surga adalah satu-satunya tempat yang bisa menyatukan semua perpisahan ini tanpa batas waktu. Aku akan berusaha dengan semaksimal mungkin agar perpisahanku ini terbayar kelak dengan duduk hangat bersama keluarga kembali di surga Allah, amin.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemilu (dari mata orang sok tahu)

Mimpi Untuk Cianjur

Penghargaan Yang Bukan Penghargaan (Mencari Hakikat Prestasi & Apresiasi)