Sebelum Pergi
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Hari-hari setelah rekreasi bersama sahabatku itu hanyalah berdiam diri di rumah menikmati sisa-sisa waktu bersama keluarga, meskipun sesekali keluar rumah atau pergi ke suatu tempat sendirian karena aku adalah orang yang selalu ingin pergi mencari banyak hal, bukan tipikal orang yang menikmati diam di rumah.
Gamila
adalah adikku yang selalu menjadi penghiburku ketika di rumah, rasa bosanku
hilang ketika aku bermain dengannya. Aku selalu ingin menjadi sosok yang ada di
keluarga, bukan untuk mencari perhatian, akan tetapi ingin menikmati hari-hari
ini karena aku tahu suatu saat nanti hari ini akan berakhir dan kita sulit
bertemu. Aku ingin menjadi sosok kakak yang ada bagi kedua adikku, meskipun
Ghiyas lebih suka diam di kamar sehingga aku sulit untuk bergaul dengannya.
Adapun Gamila karena dia masih kecil sehingga aku sangat mudah mendekatinya.
Sebentar lagi akan pergi untuk waktu yang lama, aku ingin Gamila mengingatku
bahwa aku adalah kakaknya yang senatiasa menemani waktu masa kecilnya. Aku
ingin menjadi sosok yang ayahku banggakan, meskipun terkadang ayahku melihat
bahwa aku mungkin memiliki keterbatasan yang tak sesuai dengan keinginannya, namun
aku selalu mampu menghadirkan diriku bahwa aku bisa menjadi yang mereka mau
dengan cara dan bakatku. Ibuku adalah cinta pertamaku, aku sangat mencintainya.
Dia adalah sosok yang selalu ada di dalam pikiranku, dia adalah rumahku. Aku
ingin menjadi sosok anak lelaki yang selalu hadir untuknya, tertawa bersamanya,
dan mencurahkan isi hatiku padanya. Aku tahu bahwa aku sering mengecewakan
mereka semua, tapi perbuatanku selalu aku sesali dan berusaha untuk tetap
menjadi sosok yang baik di mata mereka.
Di sisa-sisa
terakhir ini, seakan benar-benar aku akan pergi. Aku merasakan bahwa ini bagian
dari perpisahan yang sesungguhnya di mana mataku dan ingatanku selalu mengingat
bahwa kelak aku tak lagi di sini dan akan melihat dunia yang berbeda.
Bercengkrema tentang masa depan dengan ayahku, karena dia adalah sosok yang
sudah banyak melampaui masa dan pengalamannya haruslah dicontoh, meniti
sarannya untuk masa depanku. Aku dan ayahku sering berdiskusi ataupun berdebat
tentang banyak hal, dan tempat yang tepat untuk membahas adalah mobil dan meja
makan. Ibuku adalah tempatku mencurahkan isi hatiku, aku menceritakan banyak
hal tentang masa lalu kepadanya, atau tentang saran-saran dalam menjalani
hidup, aku suka bercerita, membuatnya tertawa. Aku selalu menjuluki diriku
sebagai Perindu Masa Lalu dan Pemikir Masa Depan. Ibuku adalah tempatku
merindukan masalalu dan ayahku adalah tempatku memikirkan masa depan.
Di antara
hari-hari ini aku diajak oleh kawanku, Altaf untuk kembali mengunjungi
pesantrenku. Kini aku benar-benar merasakan menjadi alumni tatkala aku masuk ke
pesantren dengan banyak santri di sana, aku merasa canggung dan malu seakan aku
bukanlah asli orang sini, tapi hanyalah tamu. Entah mengapa? Mungkin karena
masa lalu tidak bisa diulang sehingga seberapa pun usahaku untuk mengembalikan
hari-hari itu tidaklah bisa.
Malam
itu, aku mendatangi Ust. Munaji di kantornya sebagaimana yang aku biasa lakukan
dahulu semasa santri ataupun pengabdian. Aku meminta banyak saran, bercerita
banyak hal, saling menukar pendapat, dan nasihat sebelum aku pergi. Nasihat
yang selalu dan memang itulah inti dari nasihat seorang guru adalah untuk
menjaga ketakwaan kepada Allah di manapun kita berada, dan selalu memperbaharui
niat. Bahkan demi menekankan nasihat, aku meminta pesan wasiat sebelum hari
keberangkatanku, beliau mengatakan, “Pertama ku katakan:
زَوَّدَكَ اللَّهُ التَّقْوَى ، وَغَفَرَ ذَنْبَكَ ، وَيَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ
حَيْثُمَا كُنْتَ
Semoga Allah
membekalimu ketaqwaan , dan mengampuni dosamu , dan memudahkan kebaikan untukmu
dimanapun kamu berada....
Kubekali
kepergianmu dengan kata-kata bijak & untaian nasehat dari sang penuntut
ilmu sejati nan legendaris (Al-Imam As-Syafii -rahimuhullah ta'ala-)
Merantaulah…
Orang berilmu
dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.
Tinggalkan
negerimu dan hidup asing (di negeri
orang).
Merantaulah…
Kau akan
dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan).
Berlelah-lelahlah,
manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.
Jika matahari
di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam..
tentu manusia
bosan padanya dan enggan memandang.
Bijih emas tak
ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang).
Kayu gaharu tak
ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.
Jika gaharu itu
keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya.
Jika bijih
memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.
Selamat
menempuh perjalanan & berjuang di
adikku...
Allah
senantiasa membersamaimu, malaikat-malaikat ar-Rahman tak henti memayungimu
dengan sayap indahnya...”
Setelah banyak hal kita berbincang,
jam sudah menunjukkan larut malam dan beliau hendak pergi pulang, aku pun di
sana berpamitan dan itulah kala terakhir aku bertemu dengannya.
Hari
kunjunganku ke pesantren benar-benar kami gunakan untuk berusaha mengulang
kembali hari-hari lalu meskipun tak akan pernah bisa. Kami menonton bareng,
jalan-jalan ke kota, bercanda, makan bareng, dan lain sebagainya. Di penghujung
aku pun berpamitan dengan mereka dan meminta doa agar aku diberikan kemudahan.
Aku bersaksi bahwa mereka adalah teman-teman terbaikku, dan aku tak akan pernah
melupakan. Hari itu menjadi hari terakhirku melihat wajah para ustadz, para
santri, para kawan, bangunan pesantren, dan kota Sukabumi.
Fabian
dan Yassar kuajak mereka untuk mengunjugi rumahku sebentar saja, walaupun tak
ada kegiatan di sana, hanya sekedar makan dan tidur. Namun ya setidaknya Fabian
dan Yassar tahu rumahku dan sedikit mengurangi waktu berpisah. Mereka kembali
pulang ke Sukabumi menggunakan kereta sore itu, dan itulah perpisahan aku
dengan Fabian dan Yassar, yang sudah lama tak bertemu dan entah kapan lagi akan
bertemu. Di stasiun Cianjur yang agak sedikit padat dan diselipi orang-orang
wibu yang consplay itu, kami berpisah, melambaikan tangan dan terhalang oleh
ramainya orang.
Barulah
semenjak itu aku benar-benar diam di rumah, mempersiapkan banyak hal untuk
keberangkatan, mulai dari barang hingga mental dan ilmu bahasa. Sisanya adalah
hal lumrah yaitu bergaul baik dengan keluarga.
Waktu
berkumpul dengan keluarga adalah hal yang amat spesial bagiku, dari dulu aku
selalu mengedepankan keluarga di atas apapun, saat masa libur yang pendek dari
pesantren maka aku akan habiskan seluruhnya untuk mereka, namun bila lebih
panjang hari liburnya maka barulah aku menyempatkan untuk bermain bersama
kawan-kawan. Semenjak aku masuk SMP, aku sudah tak lagi ada sepanjang hari
untuk mereka karena aku harus belajar di pesantren. Aku tahu mereka selalu
ingin aku ada sepanjang hari di sana, akan tetapi mereka pun rela melepaskanku
untuk jauh dari mereka. Jarak hari kelulusan dengan hari keberangkatan ke Mesir
itu sekitar satu bulan lebih beberapa hari, waktu yang pendek yang tersisa
bagiku untuk menemani mereka sepanjang hari. Aku merasakan berat sangat ketika
pergi ke pesantren, bahkan aku pernah marah sekali ke salah seorang ustadz
karena melarangku izin untuk pulang ke rumah ketika masa pengabdian,
sebagaimana aku merasakan beratnya pergi maka orangtuaku pun merasakan beratnya
ditinggalkan. Tapi apalah daya, dunia ini sempit tapi perpisahan adalah hal
yang tak terelakan. Kita memanglah harus berjuang keras menghadapi dunia ini,
menghadapi rasa sedih, rasa kecewa, hawa nafsu dan menjaga ketaatan. Surga
adalah satu-satunya tempat yang bisa menyatukan semua perpisahan ini tanpa
batas waktu. Aku akan berusaha dengan semaksimal mungkin agar perpisahanku ini
terbayar kelak dengan duduk hangat bersama keluarga kembali di surga Allah,
amin.
***
Komentar
Posting Komentar