Mencermati Arti Mukjizat Al-Quran dari Segi Bahasa

Gambar
Diri kita terdiri dari dua hal yaitu jasad dan ruh. Jasad harus diberi gizi yang cukup untuk tumbuh kuat dan gizinya berbentuk materi seperti makanan dan minuman. Begitu juga dengan ruh yang membutuhkan asupan gizi, namun gizinya bukan berbentuk materi melainkan maknawi yaitu hidayah. Sebagaimana Allah memudahkan kita untuk mendapatkan asupan gizi materi bagi jasad kita, Allah juga telah memudahkan kita untuk mendapatkan hidayah itu sebagai asupan gizi maknawi bagi ruh kita, dengan cara diutusnya para rasul untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar dan juga diberikan pula pada manusia akal sehat agar mudah untuk meyakini apa yang dibawakan oleh para rasul. Para rasul diutus kepada kaum yang sudah mulai melenceng dari jalan yang benar, seperti kaum Nabi Nuh yang sejak 10 abad menyembah Allah lalu kemudian mereka berpaling menuju penyembahan patung akibat perilaku mereka yang berlebihan terhadap orang saleh, maka Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan mereka menuju penyem

Ujung Genteng

Empat bulan perencanaan pun tiba, kami sudahlah sepakat untuk mengeksekusi rencana kami menjadi realitas yang kelak tak terlupakan. 28 April adalah harinya. Sebelum hari itu, kami bersiap-siap banyak hal dan membagi tugas apa saja yang harus dibawa selama perjalanan yang cukup jauh ini. Aku sebagai supir mobil dan bisa dibilang leader dari rencana ini mendapatkan bagian untuk membawa tenda dan tikar serta rice cooker, Ihsan kutunjuk dia untuk membawa bumbu masak, Altaf disuruh untuk membawa kompor dan nasi, Abdullah harus membawa galon dan panci, Kiki membawa alat masak, Albara membawa makanan pelengkap, Rafi anggota baru dari perjalanan ini dan Dustin harus membawa bola.

           Hari Jumat, aku mulai bersiap-siap memasukkan barang-barang yang kubutuhkan selama perjalanan ke dalam mobil, dengan hati yang tak sabar aku ingin segera berangkat untuk bertemu kawan-kawan lain. Sebelum Jumatan, aku sudah berjanji untuk ada di rumah Altaf. Setelah siap semua, dicek kembali barang-barang itu; rice cooker ada, tikar ada, tenda ada, tas ada, dan kamera ada. Ok siap. Paginya sebelum ayahku pergi kerja aku izin dulu untuk meminjam mobilnya selama 4 hari, setelah beberapa saat percakapan akhirnya beliau mengizinkan walaupun sepertinya terlihat agak sedikit berat, berat karena mobilnya selalu dipakai untuk kerja dan ayahku sedang sibuk-sibuknya lalu berat karena masih ragu dengan keahlianku menyupir, tapi beliau yakin, “Asalkan hati-hati. Jalan ke sana lumayan ekstrim.” Sebelum berangkat, haruslah berpamitan dulu dengan ibuku, “Umi, kaka berangkat dulu ya, doain semoga bisa pulang kembali dengan selamat.”

Ada hal tertinggal, ibuku memberikan sesuatu di dalam kantong, “Jangan lupa, ini baju buat Ust. Irwansyah pemberian dari Umi-Abi, sampaikan juga salam buat beliau.”

Aku mencium tangannya dan ibuku membalas dengan mencium keningku. Menyalakan mesin mobil, mengeluarkannya dari bagasi dan membuka jendela seraya melambaikan tangan kepada ibuku dan berucap, “Assalamualaikum.” Kemudian tancap gas dan berangkat.

Rencana kami akan berkumpul di pesantren kami dahulu, Al-Matuq Sukabumi, karena momen masih lebaran, maka kami jadikan tempat itu sebagai lokasi kumpul sekaligus bersilaturahmi dengan guru-guru di sana terkhusus bertemu dengan Ust. Irwansyah.

Sebentar lagi waktu Jumat, aku harus cepat. Jarak rumahku dengan rumah Altaf cukup jauh dengan jarak sekitar 30 menit perjalanan, tapi aku bisa lebih cepat dari itu. Altaf adalah teman satu pesantrenku yang juga tinggal di kota Cianjur sehingga kami sepakat untuk berangkat bersama selepas sholat Jumat.

Akhirnya aku bisa sampai sebelum sholat Jumat, karena waktu yang mepet jadi aku tak datang ke rumahnya, tapi lansung datang ke masjid di komplek perumahannya. Namun ternyata ketika ku masuk ke dalam masjid, aku melihatnya sudah duduk di saf depan sedang mengaji, aku pun menghampirinya dan menyapanya, “Altaf, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, eh udah datang ternyata.. cepat juga, tadi bilang masih di rumah.”

“Emang gak jauh-jauh amat kan.”

“Gimana dah siap?”

“Insya Allah, harus siapin mental buat nyupir jauh pertama kali.”

           Sholat Jumat diteggakkan, kami memutuskan percakapan karena adab dan syarat sah sholat Jumat adalah tidak berbicara satu sama lain bahkan memberikan isyarat pun tak boleh, kita harus fokus dengan apa yang diucapkan khatib. Hari Jumat adalah hari raya mingguan umat Islam yang diperuntukkan agar dalam seminggu minimal kita mendapatkan satu nasihat yang bagus untuk kita perbaiki diri atau menambah wawasan tentang agama kita, maka sangat tidak pantas bila kita tak berusaha untuk fokus mendengarkan apa yang dikatakan khatib padahal dalam seminggu kita sudah banyak berbuat hal yang jauh dari agama dan kekurangan nasihat yang mampu mengingatkan kita untuk kembali. Seenggan apakah kita sampai dalam seminggu kita tak mau mendengarkan satu nasihat yang lamanya paling tidak hanya 20 menit?

           Selepas sholat, Altaf menyuruhku untuk datang ke rumahnya karena memang barang-barangnya ada di rumahnya sekaligus bersilaturahmi dengan keluarganya.

“Gip, lapar gak?”

“Hmm, lapar sih tapi malu. Hehe.”

“Gak apa-apa, makan dulu aja. Gak buru-buru kan?”

“Enggak, santai aja.”

           Aku datang ke rumahnya, ibunya menyapaku dengan hangat. Aku mengucapkan salam dan ucapan hari raya. Ibunya mempersilahkanku untuk duduk di ruang tamu dan menawarkanku makan siang, aku tak bisa menolak pemberian sekaligus memang sedang lapar juga. Ibunya mempersiapkan makanan di dapur sedangkan aku dan Altaf duduk di ruang tamu dengan beberapa cengkrama soal kuliah. Altaf adalah orang yang giat dan cerdas, dari pertama ku mengenalnya sudah terlihat dia memang juara di kelasnya, ranking satunya bukanlah hanya sekedar angka melainkan ilmu yang masih kuat melekat pada dirinya, dia pandai sekali mengajar dan menarik perhatian adik kelasnya, dia memiliki cita-cita menjadi seorang dokter tapi dia punya masalah yakni karena dia lulusan pesantren dan jurusannya adalah agama sedangkan kuliah kedokteran mensyaratkan harus lulusan dari jurusan IPA, dia berjuang keras untuk bisa masuk di kuliah impiannya tapi masih belum mendapatkan hasil memuaskan padahal persiapan sebelum tes aku lihat dia sudah sangat matang dan bahkan aku optimis dia seharusnya lulus tapi qadarullah saat itu dia masih belum mendapatkan hasilnya. Tapi kuyakin di lain masa, di waktu mendatang, kisah sulitnya menjadi dokter akan menjadikannya dokter yang mengabdi pada masyarakat dan ilmu agama yang dimilikinya menjadi pelengkap sebagai media dakwah melalui ilmu kedokterannya.

           Hidangan sudah siap dan kami menikmatinya. “Makasih bu, maaf ngerepotin, diterima ya makanannya.”

“Silahkan.”

Seusai makan, kami pun bersiap-siap. Altaf memasukkan barang miliknya ke dalam mobil dan berpamitan dengan ibunya. Ibunya berpesan padaku untuk selalu hati-hati di perjalanan dan jangan terlalu gegabah ketika main di pantai. Aku mengiyakan pesannya dan kami pun berangkat dengan bismillah.

Jujur, aku sedikit gugup dan khawatir, ini perjalanan jauh pertamaku dengan menggunakan mobil yang aku bawa sendiri tanpa bimbingan orangtua sedangkan aku belum lama bisa mengendarai mobil, ditambah gambaran orangtua soal jalan yang berbahaya dan berliku yang membuatku sedikit tak yakin. Tapi aku tetap memaksakan, karena aku yakin perjalanan ini bagian dari takdir kami dan Allah pun rela dengan perjalanan ini, Insya Allah.

Belum sampai di pesantren, langit sudah terlihat gelap sekali, dan benar saja hujan yang deras mengguyur bumi, padahal kami berencana untuk bermain bola di lapangan pesantren sore harinya untuk bernostalgia rutinitas kami dahulu, tapi qadarullah hujannnya deras dan tak memungkinkan kami untuk bermain bola. Memang saat itu adalah bulan-bulan yang dibasahi oleh musim hujan yang deras, dan sebenarnya kami pun sedikit ragu, dikhawatirkan saat kami di pantai turun hujan deras dan gelombang tinggi. Dan jujur, satu hal yang lebih aku takutkan adalah isu Megatrust yang diprediksi akan mengguncang laut selatan pulau Jawa, aku yang sering mengikuti berita seputar gempa sering merasa khawatir akan hal itu, takutnya saat kami di sana, bencana itu terjadi dan mengakibatkan tsunami dan kami tak tahu nasib kami. Tapi semoga saja apa yang kami dan aku khawatirkan tak terjadi. Harap-harap esok cuaca mendukung kami untuk bahagia.

Akhirnya kami sampai di pesantren dengan aman meskipun di perjalan kami diguyur oleh hujan deras. Kondisi pesantren sangatlah sepi, bukan karena hujan, tapi karena memang para santri masih dalam masa liburan. Kami turun dari mobil berlari takut kehujanan dan pergi ke asrama. Seluruh asrama terkunci, tapi sudah ada dua temanku yang sudah sampai duluan, yaitu Kiki dan Rafi, mereka sedang nongkrong di kamar yang masuknya melalui jendela terbuka. Kami pun ikut masuk dan saling bertukar sapa dan kabar, becerita sedikit tentang masa kemarin, dan membahas rencana besok.

Adzan Asar berkumandang dengan nada khas pesantren namun entah oleh siapa dilantunkannya, agak sedikit kurang nyaman didengar. Kami keluar dari persembunyian dan turun untuk pergi ke masjid. Aku pergi ke tempat wudhu yang mana di sana ada sebuah mading besar tempat karya-karya santri ditempelkan, aku melihat beberapa tulisanku masih terpampang memenuhi sebagian mading itu, aku sangat bahagia dengan karyaku yang dapat dibaca oleh para santri, aku berharap kelak ada seorang santri yang termotivasi untuk melanjutkan jalanku menjadi seorang penulis karena karya-karyaku. Sebuah fakta dengan tidak bermaksud menyombongkan diri, aku menjadi penulis pertama yang berhasil menerbitkan buku selama mengabdi di pesantren. Aku menjadi yang pertama bukan berarti ingin menjadi yang dikenang, tapi aku ingin menjadi yang diikuti kebaikannya sebagai bekal pahala untuk hari kelak.

Selepas sholat, aku melihat Ust. Irwansyah ada di saf sebelah kiri. Aku menyuruh kawan-kawanku untuk menghampirinya hanya sekedar untuk menyapa dan bila beliau mengajak kami bercengkrema maka kami pun bersedia. Sesudah berdzikir, kami pun menghampirinya, beliau terlihat sangat senang melihat kami kembali.

“Assalamualaikum ustadz.” Sapa kami dengan senyuman dan bungkuk hormat.

“Waalaikumsalam. Masya Allah, gimana kabar antum semua?”

“Alhamdulillah baik.” Jawab kami.

“Ada apa antum ke sini.”

“Kami mau jalan-jalan ke Ujung Genteng ustadz.”

“Kami ngumpul dulu di sini sekalian silaturahmi dengan ustadz.” Jawab Altaf menyempurnakan.

“Oh jauh, naik apa antum?”

“Ada yang pake motor, ada yang pake mobil.” Jawab kiki.

“Siapa yang pake mobil?”

“Ana ustadz.” Jawabku dengan malu-malu.

“Masya Allah, Ujung Genteng mah Masya Allah indah, tapi jalannya lumayan ekstrem, harus hati-hati apalagi yang pake motor.”

“Bukanlah ustadz, yang pake mobil lebih mengerikan, ana pertama kali pake mobil jauh apalagi jalannya seperti itu.” Jawabku memotong pernyataanya.

“Oh gitu, ya ustadz mendoakan antum semua selamat sampai tujuan, selamat berlibur.”

           Kami membahas banyak dengan beliau seputar pendidikan di pesantren, agenda ke depannya, kemudian bertanya perkara jenjang kami selanjutnya, dan memberikan semangat untuk terus belajar dan meraih cita-cita. Ciri khas beliau dalam pembicaraan.

“Ustadz, ada titipan buat ustadz dari orangtua ana.” Aku pun memberikan baju yang tadi ibuku berikan sebagai hadiah atas jasanya mendidikku selama di pesantren. Begitu pula Altaf memberikan titipannya berupa parsel buah dan kue lebaran, serta mengucapkan salam dari orangtua kami padanya. Beliau terima dengan senang hati.

           Sisa dari teman kami sudah mulai datang, Albara, Dustin, dan Abdullah datang sore itu. Ihsan entah kemana, tak ada kabar, dia hanya bilang di grup bahwa dia masih di Bandung. Kapan dia akan sampai. Ihsan emang agar random orangnya, kebiasaanya tak bisa menebak atau dengan kata lain menebak kebiasaanya yang tak bisa ditebak. Sudahlah biarkan dia menjalani jalannya sendiri. Sore itu kami hanya menghabiskan waktu dengan beberapa percakapan di halaman teras asrama sambil diselingi oleh jalan kaki mengelilingi pondok atau dengan memakan sisa-sisa kue lebaran.

           Malamnya, barulah kami mulai bersiap-siap untuk hari esok. Memasukkan barang-barang ke dalam mobil, menata bagasi mobil agar cukup mengisi seluruh barang. Membuat rencana ulang untuk memastikan dari keberangkatan, destinasi, hingga pulang kembali. Sambil menyantap nasi goreng, kami berdiskusi dengan candaan hangat dan penuh tawa. Aku bahagia sekali wacana yang hanya sebatas omongan belaka menjadi nyata dan berbuah episode yang dapat diceritakan, meskipun hari esok belum tentu kondisi sesuai ekspektasi, tapi aku berharap banyak pada Allah dan mengucap, “Insya Allah.” Aku memilih untuk tidru terlebih dahulu sebelum terlalu larut malam, karena malam kemarin aku kekurangan tidur, seperti biasa apabila hari esok ada sesuatu yang spesial, maka aku akan kesulitan tidur di malamnya. Tidur duluan dengan harapan besok aku fit menyupir mobil dan tak ngantuk saat berkendara, tapi apa boleh buat, tetap saja aku tak bisa tidur sepanjang malam, ya minimal aku bisa memejamkan mata dan membaringkan badan, itu pun sudah cukup untuk disebut istirahat walaupun kurang fit juga. Tapi kenyataanya bahagia bisa melepaskan lelah, maka dari itu bila kita merasakan lelah dan tak bisa beristirahat, carilah sesuatu yang dapat membuat kita bahagia, setidaknya itu dapat menghilangkan lelah dengan sementara. Sedangkan kawan-kawanku yang lain sibuk membahas hari esok dan mempersiapkan segala halnya.

           Ihsan datang tepat tengah malam dengan wajah yang sangat lelah sekali. Konon dia tadi siang berangkat dari Bandung menggunakan motor bukan jalan ke Sukabumi, tapi ke rumah keduanya yang ada di Bogor, dia baru sampai di sana sore tadi, lalu setelah itu dia menunggu malam untuk berangkat menggunakan bis agar tak terjebak macet, berangkat jam 9 dan sampai jam 12. Aku tak terbayang bagaimana lelahnya, siang menggunakan motor dari Bandung ke Bogor, malam dari Bogor ke Sukabumi, sampai jam 12 malam dan harus berangkat lagi jam setengah 4 pagi karena begitulah rencananya. Dia hanya istirahat sebentar saja dan tentu besok pasti akan melelahkan. Dia emang random kelakuannya.

***

Jam 3 pagi, langit masih gelap dan hawa masih dingin, aku yang tak bisa tidur bangun duluan karena mendengar alarm yang aku tahu sendiri bahwa suara itu akan berdering sebelum aku membuka mata. Beranjak dari ranjang atas, meloncat ke bawah sambil kepala yang masih kebelinger karena kurang tidur, membasuh muka demi menyegarkan badan tanpa mandi. Kawan-kawanku belum bangun saat itu dan akulah yang membangunkan mereka satu-persatu, “Hey, bangun-bangun, udah jam 3 nih.” Tak seperti membangunkan sholat subuh yang susahnya minta ampun bila membangunkan teman saat masih santri atau khidmah, tapi saat membangunkan kawan yang mau liburan bagaikan membangunkan bayi yang susah tidur, sekali tepak langsung bangun dan bergegas, ada yang mandi, ada yang menghangatkan air untuk minum pagi itu, ada yang memasukkan barang tersisa ke mobil, dan aku mempersiapkan diri menyupir mobil dengan jarak yang lumayan jauh. Aku meminum air putih hangat dengan Tolak Angin agar tidak masuk angin. Tak mungkin kita sarapan saat itu, maka kita sepakat untuk sarapan di perjalanan saja.

           Setelah semua siap, kami berfoto bersama di belakang mobil tanda kenang langkah awal. Abdullah, Albara dan Kiki mengendarai motor dan tentunya pakaian mereka sudah siap dengan jaket, masker, helm, sepatu, dan sarung tangan untuk menghindari resiko yang ada. Sedangkan aku, Ihsan, Altaf, Dustin, dan Rafi menaiki mobil. Aku suruh Ihsan untuk duduk di depan menemaniku agar aku tak mengantuk saat menyupir walaupun aku tahu dia baru datang tengah malam tadi dan kurang tidur. Tapi nyatanya dia sama sekali tak terlihat mengantuk, mungkin karena semangat sehingga dia melawan kantuknya.

           Kami pun berangkat dengan Bismillah, dengan wajah yang memaksakan untuk semangat demi liburan yang entah kapan lagi akan terjadi seperti ini lagi. Meninggalkan pesantren pagi itu yang terlihat belum ada kehidupan alias masih dalam lelap tidur kecuali satpam yang mungkin saja dia sudah tidur akan tetapi melihat ada mobil dan motor yang akan keluar jadinya dia bangun dan membukakan gerbang untuk kami. Kami ucapkan salam dan menginjak gas.

           Pengendara motor sudah jalan duluan sedangkan mobil mengekor di belakang. Kami benar-benar ingin sesegera mungkin sampai di tujuan sehingga mengusahakan untuk tidak berhenti di tengah jalan. Kami kuat dan tak perlu banyak istirahat. Kami berhenti di jalan hanya sekedar untuk mengisi bensin dan atau sholat subuh kemudian makan sedikit cemilan untuk pengganjal perut kami. Saat istirahat sholat subuh itu sebenarnya aku terlihat mual sekali, mungkin karena perut kosong sehingga aku muntah air di samping mobil, untung saja tak ada yang melihat dan aku pura-pura tegar kembali. Aku sangat menikmati perjalanan ini apalagi medan yang berliku membuatku fokus berkendara dan seakan aku merasa hidup sebenarnya.

           Tak terasa, kami berangkat pukul 3:30 dan sekarang matahari sudah memunculkan sinarnya di ufuk timur, tapi alhamdulillah kami sudah memasukki daerah Pelabuhan Ratu yang katanya kalau telat sebentar kami bisa terjebak macet apalagi di momen yang masih lebaran ini. Tapi ternyata jalan lancar jaya, kami berbelok ke arah Ciletuh dan matahari sudah terang pagi dengan sempurna, perjalanan yang panjang tapi dilalui dengan bahagai membuatnya terasa pendek, aku dan kawan-kawanku di mobil banyak sekali berbicara sehingga tak begitu fokus dengan jarak yang jauh, yang penting kami bersama.

           Jalan Loji adalah jalan yang terkenal curam tapi sangatlah indah, kami membuka kaca dan menikmati pagi yang indah dengan angin pantai yang sudah terasa ditambah pemandangan pantai yang terlihat sangat dekat dengan jalan yang mulus dan naik-turun itu. Dengan teriakan bahagia, kami senang, menikmati alam yang indah dari wacana yang saat itu dikhawatirkan tak jadi ternyata terealisasi dengan baik. Jalan menaik, kami tegang, jalan menurun, kami teriak, seakan kami sedang menaiki RollerCoaster.

           Karena yang di motor kelelahan dan yang di dalam mobil pusing kepala, akhirnya kami istirahat di atas puncak Darma yang pemandangannya langsung ke arah laut lepas. Aku yang merasa tangguh tak merasa pusing sama sekali turun dari mobil, tapi ternyata saat menginjakkan kaki ke tanah, barulah rasa pusing itu terasa sangat sampai-sampai aku tak memiliki nafsu makan. Kami duduk di kursi-kursi kayu yang disediakan di sana, sambil menikmati pantai dari kejauhan dibumbui oleh beberapa gorengan dan buras, sambil canda tawa dan takjub dengan keindahan.

           Selepas penat dan pusing pergi, kami pun kembali menaiki kendaraan menuju destinasi pertama kami. Sebetulnya rencana pertama kami ingin berkunjung ke Curug Larangan, namun disebabkan jalan yang sempit yang tak memungkinkan mobil masuk ditambah tidak adanya tempat parkir di lokasi, akhirnya kami pun memilih untuk turun dari bukit jalan Loji menuju pantai Ciletuh. Pantai ini aku pernah kunjungi beberapa tahun lalu saat pantai ini pertama kali diperkenalkan sebagai tempat wisata oleh pemerintahan saat itu, kondisi masih kosong dengan beberapa warung dan penginapan yang masih dibangun serta sepi pengunjung, namun sekarang saat kami ke sana, kondisi sangatlah berbeda, semua sudah tertata, penginapan ada di mana-mana dan warung pun sudah berserakan, ada pula tempat parkir yang luas. Pantai Ciletuh ini berada di bawah antara dua tebing besar yang melengkung berbentuk tapal kuda mengelilingi sekitaran pantai disertai air terjun yang lumayan banyak yang muncul dari celah-celah di tebing itu.

           Ada usulan kalau ingin menikmati pantai Ciletuh jangan di pantai Ciletuh, tapi ke seberang pantai itu. Datang seorang bapak yang seakan tahu kalau kami membutuhkannya, dia menawarkan perahu untuk menyeberang menuju pulau Kunti yang berpasir putih. Setelah beberapa saat saling menawarkan harga, akhirnya kami sepakat dengan harga yang pas, kami pun iuran dan mengeluarkan tas-tas kami serta tikar untuk dibawa ke pulau itu.

           Perahu dengan sayap kayu berwarna biru di bawah langit yang cerah, tadi pagi langit ditutupi oleh kabut tapi seakan menerima kami bahagia akhirnya langit pun menghapuskan kabut dan mengubahnya menjadi biru cerah. Berlayar di air yang berwarna coklat, itulah sebabnya disebut Ciletuh yang artinya air keruh, namun saat sudah sampai di tengah laut, air pun membelah dua menjadi terlihat batasan antara warna air yang coklat dan warna biru gelap. Di atas perahu, kami takjub dengan keindahan dan tak menyangka untuk yang kesekian kalinya kami bisa menikmati ini. Angin laut yang menyegarkan dengan pemandangan karang-karang besar dan penangkaran ikan serta nelayan. Allah begitu indah menciptakan dunia.

           Sampailah kita di pulau itu setelah berlayar kurang lebih 20 menit, pantai yang cukup bersih, air yang biru, tak begitu ramai, dan dikelilingi hutan. Kami turun dari perahu meloncat takut terkena air. Ada naungan dari pohon besar di ujung sana, kami pun bernaung di sana dan menghamparkan tikar, menyimpan barang kami, dan berganti baju. Setelah baju diubah, kami tak peduli dengan masuk angin, walaupun belum sarapan, air laut terlihat lebih menggiurkan. Langsung saja badan kami basah dengan segarnya air laut yang asin, dengan tawa kami bermain air seperti anak kecil yang kegirangan, kami tak peduli sebesar apapun umur kami, lepaskan saja bahagia walaupun terlihat seperti kanak-kanak. Air sudah membasahi tubuh, giliran kita bereksplorasi. Ada gua yang kami lihat saat kami di perahu tadi, mungkin kami ingin melihat isinya, kami pun ingin pergi ke sana tapi tak semuanya. Rafi dan Altaf menjaga barang kami di atas tikar, sedangkan aku, Albara, Kiki, Ihsan, Dustin, dan Abdullah pergi mencari gua itu. Awalnya kami berjalan tanpa alas kaki, ternyata batu karang tajam tak seperti yang kami kira, akhirnya Albara kembali ke tikar mengambilkan sandal buat kami. Sampailah di muka gua yang seperti dibuat manusia namun sebenarnya alam yang menciptakan, seperti ada sungai yang menjorok ke dalam muka gua sebagai jalan masuk dari arah laut, gua itu sangat besar tapi tak dalam, ada sebuah jalan kecil untuk ke dalam tadi harus memanjat sedikit ke atas, lagipula kami tak tertarik masuk ke sana dikhawatirkan kami tak keluar kembali.

           Kami lelah, tapi kami belum sampai. Kami bersiap-siap kembali ke pantai Ciletuh dan naik perahu yang sama kembali ke sana, belayar dengan wajah kantuk tak seperti saat berangkat, sesampainya kami di pantai Ciletuh, kami pun sedikit beristirahat sambil jajan dan mandi, mereka lelah tapi aku tetap harus menyupir mobil. Siap semua, kami melanjutkan perjalanan, yang menggunakan motor sudah berjalan duluan dan kami pun berpisah, mungkin mereka akan sampai lebih cepat. Sedangkan kami yang di mobil harus menggunakan Google Maps untuk pergi ke Ujung Genteng. Jarak dari Ciletuh ke sana masihlah jauh dengan estimasi satu jam perjalanan lagi. Namun seperti biasa bahwa Google Maps selalu membawa kami ke jalan yang benar dengan jalan yang salah, seharusnya kami kembali ke jalan utama Ujung Genteng tapi Google Maps membawa kami ke jalan yang sangat ekstrem, jalan yang sempit dengan jurang di samping kanan ditambah ada jalan yang hancur karena longsor, setelah itu kami memasuki perkampungan yang jalannya sangatlah jelek. Aku sangat kelelahan tapi harus memaksakan agar segera sampai, yang estimasinya satu jam perjalanan jadi lebih lama lagi karena jalan yang rusak tak bisa digunakan dengan kecepatan tinggi. Kami bersabar dengan goyangan dan guncangan, kawan-kawanku tertidur sedang aku tetap terjaga. Setelah beberapa lama, akhirnya kami pun sampai di Ujung Genteng lewat jalur yang jarang orang lalui, kami pun mencari hotel yang sudah dipesan dan menanyakan kawan-kawan kami yang menggunakan motor yang tentunya sudah sampai duluan. Sampailah kami di penginapan dan aku langsung terbaring lemas, sholat jama Dzuhur dan Asar dulu barulah aku terlelap tidur. Sedangkan kawanku yang masih kuat menyiapkan makan untuk sarapan sekaligus makan siang. Bangunlah aku dengan hidangan yang sudah tersedia dan kami pun menikmati makanan sederhana itu bersama-sama di halaman penginapan. “Siap-siap, jam 4 kita jalan lagi.”

***

Ada sebuah destinasi pantai di kawasan Ujung Genteng yang dinamai Pantai Tenda Biru yang katanya disebut-sebut angker dan memiliki sejarah mistis yang berhubungan dengan tenda berwarna biru. Mana aku peduli. Mitos tak perlu diyakini. Yang jelas aku melihat sebelumnya rekomendasi wisata Ujung Genteng di Instagram dan di antaranya adalah Pantai itu, katanya suasana masih asri dan sepi karena tak ada orang yang tahu betul (Waktu itu). Pantai ini benar-benar berada di ujung daratan, bila kita melihat pada peta maka akan terlihat betapa lokasinya memang benar-benar di ujung Sukabumi.

           Kami bersiap-siap menuju ke sana, jarak tempuh menuju ke sana dari penginapan kami sekitar estimasi 15 menit menggunakan mobil. Sore itu kami ingin menikmati senja di sana dengan mungkin sambil bermain bola atau bersantai-santai tanpa bermain air.

           Di gerbang, ada orang yang menghadang kami untuk membayar tiket masuk, aku berfikir, “Kalau bayar berarti tempat ini memang sudah dijadikan destinasi dan semua orang tahu.” Ya iyalah, kalau viral di internet mana mungkin orang tak ingin pergi ke sana dan masyarakat setempat akan memanfaatkan itu sebagai lahan uang bagi mereka. Kami pun membayar uang parkir saja sekitar Rp. 20.000,00 saja dan kami pun memasuki area tersebut. Suasana jalan yang gelap karena dinaungi dan dikelilingi oleh pohon-pohon mangrove karena kita memasuki hutan mangrove, meskipun demikian hutan tersebut tak begitu lebat, di sela-sela pepohonan terlihat pantai. Di ujung hutan inilah lokasinya, aku memarkirkan mobil di tempat yang sangat gelap dan mengerikan, kukira tak bisa parkir ke dalam, tapi ternyata orang-orang memasukkan mobilnya ke dekat pantai. Tapi tak apa, semoga saja aman. Pantai ini memang tak begitu ramai, tapi sudah banyak dijadikan oleh masyarakat tempat berusaha seperti warung-warung yang dibuat dari tenda-tenda dan juga banyak yang berkemah di sini, tak seperti yang kulihat di Instagram yang terlihat benar-benar kosong. Wajar saja.

           Pemandangan begitu menakjubkan tapi matahari belum menampilkan aksinya, kami pun menghamparkan tikar untuk bersantai tapi nyatanya kami penasaran untuk pergi ke ujung sana, membasahi kaki dengan air laut yang tidak dalam hingga ke tengah itu. Memang ciri khas dari pantai di Ujung Genteng adalah pantai yang tak berombak dan tidak dalam hingga ke tengah laut sehingga kita bisa menikmati pantai tidak hanya di pinggiran saja, tapi bisa pergi ke tengah laut dengan berjalan kaki.

           Kami kira pantai ini ada di sebelah barat sehingga kami tinggal duduk di tikar dengan menghadap ke arah senja, tapi ternyata kami ada di timur sehingga kami mencari posisi yang sedap untuk menikmati senja dan didapatlah tempat itu setelah berkeliling dengan kaki yang basah sambil mengambil beberapa gambar untuk diabadikan. Spektakuler, sebuah pemandangan yang tak pernah aku lihat sebelumnya, indah tak terhingga, senja yang sangat cerah dengan warnanya yang oranye kekuningan ditambah lagi pantulan sinar yang menerpa air laut di bawah kaki kami seakan kami berdiri di atas langit dan menyatu dengan indahnya lukisan Tuhan ini. Kami pun mengambil gambar bersama, aku menyalakan kamera dan mengaktifkan timer, momen sementara yang hanya bisa diabadikan oleh foto. Senja selalu disandingkan dengan kenangan, dan memang karena senja tanda akhirnya sebuah hari, dan itulah hari pertama kami di sini yang berakhir atau momen terakhir kami sebelum entah kapan lagi kami bisa saling merangkulkan tangan di atas pundak, berbaris rapi menghadap senja sambil tertawa dan takjub. Itulah senja kenangan bagiku yang benar-benar berkesan. Melihat sebuah perahu berlayar seperti bendera putih berbentuk segitiga yang muncul dari arah senja menciptakan sebuah makna bahwa harapan itu datang tatkala waktu yang tepat dan indah selepas kita menjalani proses perjalanan dengan sukacita dan bahagia. Indahnya senja seperti indahnya persahabatan, di dalam persahabatan pastilah ada luka dan saling menyakiti tapi kita akan merasakan kenikmatan dan rasa rindu akan mereka saat hendak berpisah karena itulah momen terbaik dalam persahabatan yaitu perpisahan, sama halnya dengan matahari yang sepanjang hari seringkali menyebalkan karena panasnya tapi saat hendak berpisah ia menyejukkan pandangan dan menyusun bagi manusia untaian kata-kata yang hati pun meleleh karena sang pujangga bertata. Matahari tenggelam dan sudah. Kami kembali berkemas. Bola yang kami bawa tak jadi kami mainkan karena sibuk dengan foto dan menikmati alam, tikar pun tak sempat kami hinggapi, kami pun pulang kembali ke penginapan. Jalan hutan mangrove itu benar-benar gelap sekarang dan sangat mengerikan andai tak menyalakan lampu mobil, kawanku yang menggunakan motor melihat biawak seukuran buaya yang berlari di depannya dan merengsek masuk ke semak-semak. Kami sepakat untuk membeli beberapa ikan laut untuk dibakar malam ini, ikan yang tak tahu apa namanya.

           Malam ini kami habiskan dengan bakar-bakar ikan yang baru saja kami beli. Kata seorang bapak-bapak menyarankan bahwa bila ingin ikan yang dibakar itu lezat maka jangan terlalu gosong, kami pun mengikuti arahannya. Di atas tikar di halaman kamar, kami menyantap ikan laut yang rasanya sangatlah mantap, empuk, gurih, padahal tanpa bumbu dari para ahli masak. Bagi kami, sebagai mantan santri, tak peduli bagaimana rasanya, yang penting cukup gurih dan mengenyangkan. Rafi saat itu tak tahu pergi ke mana, dia tak ikut kami makan-makan di halaman kamar, katanya dia menemui temannya yang kebetulan ada di sana juga. Ya sudahlah, itu urusannya, dia kehabisan makan. Aku dan Kiki mencoba mendirikan tenda dan berkemah malam itu di halaman kamar. Hari pertama yang tak terlupakan. Tersisa dua hari lagi, semoga esok berjalan sesuai rencana.

***

Hari baru pun tiba, bersiap untuk destinasi berikutnya. Sejak awal, kami punya rencana untuk mengunjungi minimal 4 destinasi. Sudah 2 destinasi yang kami kunjungi; Pulau Kunti dan Pantai Tenda Biru. Untuk hari ini kami baru punya satu tujuan. Aku dan Kiki terbangun untuk sholat subuh dengan air yang menetes di dalam tenda yang datang mungkin karena embun. Sedangkan yang lain ada yang sudah bangun duluan dan menyiapkan sarapan sederhana. Aku lupa apa itu. Kami datang ke depan, menepi di hadapan pantai yang jaraknya tak jauh dari penginapan, sejenak menikmati hawa pagi.

           Hari pun mulai siang, matahari sudah mulai menampakkan panasnya. Aku menyuruh mereka untuk bersiap-siap jalan, “Jangan di kamar terus, kalau main hp, ngapain jauh-jauh ke sini?!” Sedikit memaksa, dan agak melelahkan, tapi memang harus begitu, sangat sayang kalau jauh-jauh berkelana hanya duduk di dalam kamar dengan apa yang mampu dilakukan di rumah saja. Aku mengajak mereka ke Bukit Teletubbies, sebuah perbukitan kecil yang dihampari rumput, sederhana. Kami memulai beranjak. Pengguna motor sudah sampai duluan, Abdullah dan Rafi melihat kondisi, katanya tempatnya bagus hanya saja sulit dijangkau oleh mobil. Aku menggunakan Google Maps, dia mengarahkan kami ke jalan yang curam dan tak mungkin bisa dilalui mobil, akhirnya kami berjalan terus dan menemukan jalan yang lebih baik dari sebelumnya. Aku memasukkan mobil ke dalam sana dan jalan itu sangatlah sempit, di sisi kiri ada pagar pohon dan di sisi kanan ada kolam dan sawah. Aku tak yakin ini jalan yang benar. Aku masuk dan menemukan jalan lain di sana yang tertutupi oleh rerumputan, karena aku tak yakin akhirnya aku memarkirkan dulu di tanah kosong dekat situ. Ihsan menelpon Abdullah dan menanyakan apakah benar jalannya. Mereka datang menghampiri kami dari jalan yang ditumbuhi rerumputan tinggi itu. Aku pun terpaksa memasukkan mobil ke jalan itu. Kiri-kanan dipenuhi oleh pagar tumbuhan dan di bawahnya ditumbuhi oleh rerumputan, suara berdenyit dan geduk dari dahan-dahan rerumputan itu. Aku khawatir dahan dan ranting itu merusak cat mobil. Tapi harus bagaimana lagi, akhirnya kami keluar dari jalan itu dan menemukan lapangan untuk memarkirkan mobil. Sebenarnya bukit ini bukanlah tempat wisata, hanya perbukitan rumput saja, dan hanya aku yang membawa mobil ke sini. Mobilku diparkirkan jauh dari lokasi itu, jadi kami harus berjalan lumayan jauh. Suasana yang asri, indah, hamparan rumput yang dihiasi sapi-sapi ternak yang dibiarkan begitu saja. Dari sana, pantai dan laut terlihat jelas. Kami meneduh di sebuah saung karena hawa yang panas, kami datang di waktu yang kurang tepat, seharusnya ke tempat ini pagi-pagi, kami datang pukul 9 pagi sehingga matahari sangat menyengat sekali. Tapi aku dan Ihsan tidak menyianyiakan kesempatan, kami berkeliling, berfoto, membuat video, menghampiri sapi, meskipun hawa panas dan matahari yang menyengat sedangkan kawan-kawanku yang lain hanya duduk di saung itu sambil mengobrol. Setelah puas dengan semuanya, aku dan Ihsan pun menuju ke saung itu ikut mengobrol.

“Abis dari sini mau kemana?” Tanya Abdullah.

“Balik aja ke penginapan, nanti sore baru ke pantai lagi.” Jawab Rafi.

“Jangan, sayang kalau seharian diam di penginapan.” Ihsan menimpali.

“Oh, ane tau! Kita ke curug, tapi ane lupa namanya apa.” Jawabku, kemudian aku pun mencari nama air terjun yang aku pernah temukan dari YouTube. Dan aku pun menemukannya, yaitu Curug Cikaso, jaraknya lumayan jauh sekitar 15 menit dari sini. Curug itu berbeda kecamatan, bukan di wilayah Ujung Genteng, tapi kami setuju. Kami pun berangkat ke sana, sedangkan aku dengan baju ganti seadanya. Aku tak membawa baju ganti kecuali celana, untung ada jaket.

***

Hari mulai siang, hawa semakin panas apalagi di daerah yang jauh dari pengunungan, akhirnya kami sampai di lokasi curug setelah perjalanan sekitar 15 menit dari Bukit Teletubbies. Jalan masuknya kecil, masuk ke dalam pemukiman warga, di depan gang ada seorang anak muda yang menyuruh kami membayar tiket masuk dan menjelaskan beberapa hal, “Pak, silahkan bayar tiket di sini, perorang 15 ribu belum ditambah perahu. Tiket perahu ada di dalam. Parkiran tersedia.” Masuklah kami ke dalam jalan yang kiri-kanannya adalah rumah-rumah warga setempat, di depan ada sebuah lahan yang cukup luas yang digunakan untuk parkir, terlihat ramai juga pendatang.

           Turunlah kami dan jalan memasuki kawasan, ada sebuah sungai besar yang berwarna coklat tanah, di pinggirannya ada sebuah pelabuhan kecil dari kayu dengan perahu-perahu wisata yang berdiam menunggu para pelancong, kami turun ke bawah dan diseru oleh seorang bapak tukang kayuh perahu, “Mana tiket!”

“Tak ada.” Jawab seorang dari kami.

“Beli dulu di bapak yang duduk di atas.”

           Kami menghampiri bapak yang berbadan kekar besar dengan jaket jeans dan rokok yang menempel di bibirnya, pasti seorang penguasa wilayah, bos para pendayung. Kami bilag padanya hendak membeli tiket yang harganya lumayan mahal, Abdullah sedikit bernegosiasi untuk mengurangi harga, selepas cekcok sedikit kami pun mendapatkan sedikit pula keringanan, tapi apa boleh buat. Kami turun ke bawah, menuju perahu milik bapak yang tadi menyuruh kami membeli tiket. Naiklah kami ke atas perahu panjang itu dan berlayarlah di sungai berwarna coklat yang seketika di tengan jalan berubah menjadi warna biru kehijauan. Kami melihat sekeliling berupa hutan lebat tapi ada seseorang berjalan di sana, ternyata ada jalan untuk pergi ke curug tanpa perahu, dan ternyata pula curugnya tak begitu jauh dari gerbang awal, merasa kenapa harus pakai perahu kalau bisa jalan dan dekat saja?

           Turun dari perahu dan penampakan curug itu sudahlah terlihat, memang ini air terjun yang indah sekali, ada tiga dalam satu tempat, airnya biru bersih ditambah cuaca yang cerah mendukung kami. Sesampainya di sana kami langsung melakukan hal wajib, yaitu foto. Kami berdiri berjajar membelakangi air terjun itu dan berfoto ria. Tapi sangat disayangkan seindah apapun tempat ini tetap saja ada sampah yang tersembunyi di balik batu besar yang kami naiki, sampah yang begitu banyak. Kekurangan negeri ini adalah kurangnya melestarikan alam dengan tidak membuang sampah ke sungai, kurang kesadaran dan kurangnya budaya bersih meskipun negeri kita tetap lebih baik dibandingkan negeri India. Tapi sayang saja saat melihat indahnya alam ada hal yang mengusik berupa sampah.

           Foto sudah abadi, sekarang marilah menikmati. Kami pun berganti baju dan menceburkan diri ke dalam air yang segar sekali, hawa yang panas seketika hilang dibasahi air sungai yang biru itu, kami benar-benar merasa fresh seperti tubuh ini benar-benar hidup. Dingin bagai menjiwai rasa bahagia sehingga hangat tak lagi digunakan untuk mengungkapkan kata bahagia. Ihsan dan Abdullah yang pandai berenang meloncat ke kolam yang agak dalam, sedangkan kami hanya berendam di kolam yang dangkal setinggi leher kami. Penat benar-benar terbayar tuntas, dan aku masih tak menyangka bahwa aku mampu membawa mereka ke keindahan ini. Aku sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari perjalanan mereka, bahkan menjadi seseorang yang mengajak mereka untuk keluar menikmati indahnya dunia. Wacana itu benar-benar terencana dan merekalah orang-orang yang merealisasikannya. Mungkin kelak ke dapat mendatangi tempat ini lagi tapi entah apakah akan seindah ini.

           Badan sudah penuh air dan berkeriput, sudah pula penat kembali penat. Kami pun naik ke dasar dan mulai bersiap-siap, mandi, ganti baju, dan pulang kembali ke penginapan. Harus mengantri sedikit dengan orang-orang di wc kayu yang tersedia sedikit menguras setidaknya beberapa saat untuk kami menahan lapar. Begitu pun perahu yang datang terlambat, sebenarnya bisa saja berjalan, tapi dalam tiket ada uang dan sayang bila tak digunakan. Aku tak ada baju, hanya menganti celana, untung jaket itu berguna, tanpa baju jaket pun jadi. Sebelum pulang, kami sholat terlebih dahulu di masjid yang ada di area parkir dan sejenak mengistirahatkan diri. Datang penat untuk menghilang penat dengan penat yang berikutnya. Selepas sholat kami pun kembali ke mobil dan pergi meninggalkan lokasi. Perut kami yang lapar memaksa kami untuk turun di tengah perjalanan untuk membeli lauk pauk Nasi Padang untuk makan siang di penginapan. Sesampainya di sana, kami pun menggelar kertas nasi dan nasi yang baru matang itu dihidangkan dengan lauk pauk Nasi Padang itu di depan kamar seperti biasa. Perut terisi mata pun berbobot, kami pun istirahat dan tertidur hingga sore hari. Sore terakhir kami akan habiskan di destinasi terakhir kami, Pantai Pasir Putih.

***

Sore itu sudah agak telat, tapi malam mungkin agak sedikit terlambat, semoga saja. Tapi keterlambatan itu tak menghalangi kami untuk tidak pergi, alasan terlambat adalah karena kami begitu sangat lelah dan sedikit malas, tapi aku kembali mengeluarkan jurus kata, “Hayo, masa jauh-jauh gak kemana-mana, terakhir nih.”

           Beranjaklah kami dari peristirahatan, berangkat ke lokasi bersama di satu mobil. 8 orang di mobil mungkin akan menghasilkan hawa yang panas dan sungkep, maka orang yang duduk di belakang kubolehkan untuk membuka pintu belakang supaya hawa pantai masuk ke dalam dan suasana tak begitu sempit. Lagipula jalan kami tak menuju jalan raya, hanya meniti jalan pinggir pantai.

           Di jalan matahari sudah mulai menghasilkan cahaya emas yang indah mencerminkan ke arah air laut di sisi kiri kami yang menakjubkan, tapi menyempitkan waktu. Lokasi berjarak 15 menit dari penginapan, sedangkan kami berangkat pukul 4 lebih sehingga mungkin kita tak dapat berlama-lama di sana. Jalan yang dipenuhi pasir itu terus membawa kami ke jalan yang semakin sempit dan memasuki hutan yang gelap, jalur hanya satu jadi bila ada mobil dari lawan arah aku harus pelan-pelan mengukur agar mobil pas masuk dan tak saling menyenggol. Tibalah kami di Penangkaran Penyu dan di sana ada bapak yang menyuruh kami membayar tiket.

“Selamat sore, di sini kalian harus membayar tiket.”

“Tapi kami tidak ke Penangkaran Penyu. Kami mau ke Pasir Putih.” Jawabku.

“Tetap, Penangkaran Penyu dan pantai Pasir Putih satu tiket. Anda bisa masuk ke Penangkaran Penyu setelah itu baru ke Pasir Putih.” Bapak itu memperjelas.

“Gimana nih?” Tanya Abdullah.

“Kan tujuan utamanya ke Pasir Putih, lagipula kalau mau ke Penangkaran Penyu udah telat soalnya udah kesorean.” Jawabku.

           Akhirnya kami pun membayar tiket itu dengan harga Rp. 25.000,00 per orang dan masuk ke pedalaman yang semakin sepi dan sunyi. Penangkaran Penyu sepertinya sedang sangat penuh, bahkan terlihat dari parkiran yang sudah tak muat di dalam. Dari gerbang Penangkaran sekalipun, jalan menuju Pasir Putih tetaplah jauh. Dan setelah beberapa saat, kami pun menemukan parkiran khusus pengunjung pantai itu, tapi ada lagi yang menghadang, seorang bapak bergaya preman yang mengaku menjaga keamanan dan parkiran menyuruh kami membayar uang parkir dengan harga yang seperti biasa, cukup mahal, Rp. 25.000,00 untuk mobil. Setelah kami bilang bahwa kami sudah bayar tiket di awal sambil menunjukkan tiketnya, mereka tetap menjawab bahwa tiket itu hanyalah tiket masuk, bukan tiket parkir. Ya sudahlah kami pun iuran untuk membayar orang ini, dia pun memberikan tiket parkirnya. Masuklah kami dengan rasa sedikit kesal karena terlalu banyak pungli yang mencari uang dengan tidak resmi.

           Parkiran di tengah hutan dengan beberapa rumah warga yang mengelilinginya, kami pun berjalan menuju pantai melalu pepohonan yang rindang. Seperti biasa kami membawa tikar dan bola. Ya bola, Altaf sejak awal ingin bermain bola tapi selalu gagal karena kami sibuk berfoto atau bermain air, tapi untuk ini kami meyakinkannya bahwa kita akan main bola. Di sebelah kanan kami ada sebuah sungai besar yang bermuara langsung ke pantai dan tak dekat lagi kami pun keluar dari pepohonan memasukki pantai yang sangat indah dengan ombak yang tinggi ditambah matahari sudah mulai mengeluarkan cahaya oranyenya yang khas untuk sore terakhir kami di sini. Menghamparkan tikar, menyimpan berapa barang, dan mulailah kami berfoto bersama dengan kamera yang berdiri di tripod. Setelah puas, barulah kami bermain bola di atas pasir yang menghambat kami sehingga menjadikan kami mudah lelah. Dan tak lama, kami pun selesai bermain bola. Sangat berbeda rasanya antara bermain bola di lapangan dengan di atas pasir. Langit pun sudah gelap dan kami hanya menikmati senja dengan duduk-duduk manis di atas pasir sambil bercengkrama, waktu kami singkat di sini terkuras oleh telatnya pergi dan jaraknya yang agak jauh. Matahari sore itu pun pulang ke rumahnya dan gelap pun sudahlah tiba, kami dipaksa pulang oleh gelap dan berjalan dengan senter handphone menyusuri hutan tadi untuk kembali ke parkiran.

           Membersihkan tangan dan kaki di wc masjid, mengganti baju dan ada yang menyimpan pakaiannya di atas mobil. Kami pun pergi pulang dengan langit yang gelap berlapis pohon. Kembali menyusuri hutan yang gelap dan hawa entah mengapa menjadi sangat panas, sampai-sampai aku membuka baju saat menyupir layaknya seorang supir angkot yang sudah berkeliling kota seharian. Seperti awal, pintu buka dibuka, yang duduk di belakang ada Rafi, Abdullah, dan Dustin. Tiba-tiba ada seorang pemuda bermotor yang sedang membonceng pacarnya memanggil kami, “A.. A.. Ada yang jatoh.”

“Gip.. ada yang jatoh katanya.” Kata Rafi.

           Aku pun memberhentikan laju mobil. Pacarnya itu turun dari motor untuk mengambil sesuatu yang jatuh tadi, eh ternyata yang jatuh itu celana dalamnya Dustin, tadi dia menjemur bajunya di atas mobil sebelum pulang tapi lupa mengambilnya. Dengan jijiknya perempuan itu bilang, “Ih.. ini mah cangcut.” Sambil mengambil dengan capitan dua jari tanda jijik dan memberikan ke Rafi yang turun dari mobil hendak mengambilnya.

“Nih, CD ente Tin. Ane yang jadi malunya.” Kata Rafi.

           Kami semua tertawa bersama di dalam mobil sepanjang jalan sekaligus menghibur perjalanan kami yang gelap ini di tengah hutan. Mengulang-ulang cerita itu dan berulang kami pun tertawa.

“Gak apa-apa Tin, jadi cerita unik buat anak-cucu ente nanti.” Kata Altaf pada Dustin.

           Sampailah kami di penginapan, kami berfikir sangat sayang bila malam terakhir ini kami langsung tidur tanpa menikmati malam di pinggir pantai depan penginpan, lelah pun kami lawan.

           Hari semakin malam, bulan dan bintang menghiasi langit atas pantai kala itu dan tentu saja kami mengira bahwa langit tak sedang mendung dan jauh dari kata “akan hujan”. Kami mendatangi pinggir pantai dengan tenda, tikar, dan kompor serta bahan-bahan masak. Untuk malam terakhir ini, tersisa kwitiaw untuk dimasak. Aku dan Kiki memasang tenda di tempat yang pas, walaupun pada akhirnya tempat yang disebut pas itu ternyata landai dan menurun, tapi apalah kita yang malas memindahkan menerima kesulitan itu dengan tak berpikir ulang. Ihsan mulai memotong-motong bahan-bahan seperti cabai dan bawang, sembari yang lain membetulkan kompornya yang rusak disebabkan terguncang dalam mobil tadi siang, sedangkan Abdullah dan Kiki menyalakan api unggun sebagai penerang yang menyusahkan dengan kayu-kayu yang tadi kami bawa dari Pantai Pasir Putih. Api itu tak berguna, menyala kecil dan mati lagi, ditambah tak menerangkan sekitar. Akhirnya kami menggunakan senter handphone untuk penerangan. Kompor itu akhirnya dapat menyala setelah beberapa lama dicoba untuk diperbaiki tapi gagal, sebenarnya kompor fortable itu tidak diperbaiki namun dinyalakan dengan cara lain yang hanya diketahui Ihsan selalu juru masak.

           Hidangan siap, tapi satu orang tak ada, Dustin yang katanya pergi ke kamar untuk mengambil sesuatu itu tak kunjung datang, ditelpon pun tak mengankatnya, entah apa yang diperbuat. Setelah lama menunggu, akhirnya salah seorang kami akan menyusul ke kamar, eh ternyata datang pula dan kami pun menyantap kwitiaw yang setengah matang itu, tapi rasa tetaplah sedap.

           Selepas makan, kami membereskan tempat dan sampah. Aku mengajak yang lain untuk tidur di tenda dekat pantai, tapi mereka menolak kecuali Kiki. Satu per satu dari mereka kembali ke kamar dengan membawa beberapa barang yang tadi kami bawa, aku memasukkan tikar ke dalam tenda untuk berbaring di dalam, Ihsan pun mengutarakan ingin ikut tidur di tenda, tapi Kiki dan Ihsan punya kepentingan dulu di kamar, entah hendak apa. Aku pun menunggu di tenda sendirian cukup lama ditemani suara ombak yang tinggi dan obrolan bapak-bapak yang nongkrong dekat situ. Ihsan dan Kiki pun akhirnya datang, aku hendak tidur duluan walaupun sebenarnya tak bisa karena gatal oleh nyamuk yang banyak, Kiki dan Ihsan hanya bermain handphone hingga..

langit tiba-tiba tak mendukung kami di pertengahan malam, angin kencang melanda disertai hujan desar, kami yang tak siap ditambah tenda murahan yang tak kebal hujan itu pun kebanjiran oleh air hujan yang masuk melalui jendela tenda. Kami pun panik, entah harus bagaimana, keluar kehujanan, di dalam pun kehujanan, akhirnya kami memutuskan untuk berlari ke kamar dan tenda dibiarkan saja sendiri di pinggir pantai, sebelum pergi kami memasukkan batu ke dalam tenda supaya tak terbang oleh angin, tenda yang tak punya pasak bumi, dan menutup pintunya sembari diterpa hujan.

Sesampainya di kamar, kamar itu penuh. Kamar kecil yang diisi oleh 8 orang. Dari kemarin kami tak tidur di kamar seluruhnya, dibagi-bagi terserah inginnya di mana. Malam kemarin aku, Kiki, dan Albara tidur di tenda depan kamar. Sekaran kami terpaksa tidur di kamar seluruhnya. Tersisa ruang di lantai dekat pintu wc, mau bagaimana lagi, kami hamparkan selimut lalu tidur di sana sambil bersempit-sempit. Kawan-kawan kami yang lain sudah tertidur duluan sehingga saat pagi mereka bertanya-tanya mengapa kalian di sini?

***

Hari ini adalah hari terakhir kami di sini, sebagian kami hanya menikmati pagi ini di kamar dengan sejenak saja datang ke pantai untuk melihat pemandangan untuk terakhir kalinya, sisanya hanya tiduran, istirahat, membereskan kamar dan barang-barang. Sedangkan aku dan Ihsan memilih untuk menikmati pantai ini dengan berenang di laut yang dangkal di pantai depan tempat kami malam tadi berkemah. Cuaca pagi itu cerah sekali dengan sejenak menurunkan hujan yang membuat hawa tak dingin dan tak panas, cerah tapi tak menyilaukan, ombak pantai yang tenang, ditambah air segar yang membasahi seluruh tubuh kami. Berenang, mencari kerang, mencari binatang, mencari pemandangan, inilah hari terakhir yang tak kusia-siakan karena aku tahu setelah ini aku akan kembali di rumah dengan kesepiannya kehilangan teman terbaik dalam hidupku.

           Pukul 8 pagi sudahlah tiba, kesepakatan kami untuk berhenti berenang dan pulang ke kamar untuk bersiap-siap pergi pulang. Kami sarapan dulu dengan baju yang masih basah di warung depan kamar, sarapan dengan mie istan yang harganya sekelas mie kafe terkenal, harganya Rp. 30.000,00. Betapa kagetnya aku, tapi untunglah tak membeli jajanan selama di sini. Kami hanya memasak dengan bahan yang dibawa saja.

           Semua sudah siap, barang-barang dimasukkan ke dalam mobil, kamar sudah kosong dari barang milik kami. Sebelum pulang kami berfoto ria di depan kamar sebagai kenang-kenangan yang tak terlupakan. Abdullah, Kiki dan, Albara yang menggunakan motor pamit duluan karena mereka akan pulang lebih cepat dan tak bersama-sama lagi dengan mobil. Berpisahlah mereka dengan kami, salaman, dan saling mengucapkan “semoga”. Pulanglah kami meninggalkan tempat ini dengan penuh kenangan walaupun hanya tiga hari saja. Tempat sebenarnya tak bisa melukis, tapi kitalah pelukisnya. Ujung Genteng dahulu pernah aku kunjungi bersama keluarga, dan ya piknik dengan keluarga seringkali kita tak merasa bebas mengeksplorasi alam. Ujung Genteng yang ku kunjungi bersama kawan-kawan ini terasa berbeda, tak seperti saat itu. Kamilah yang melukiskan tempat ini menjadi penuh kenangan, sama halnya dengan pesantren yang kami buat indah dengan segala kesulitannya. Setiap tempat pun lenyap dari pandangan kami dan perjalanan pulang yang jauhnya sama dengan perginya kami lalui dengan lelah dan penat. Aku menyupir mobil seorang diri, sedangkan kawan-kawanku tertidur nyenyak dalam perjalanan.

           5 jam perjalanan itu tak terasa, kami sudah sampai di Cisaat, tempat Ihsan, Rafi, Dustin pulang meninggalkan kami. Ihsan dan Rafi akan naik bus untuk pulang ke rumahnya di luar kota sana, sedangkan Dustin memanglah rumahnya sekitar situ. Kembali ke posisi awal, di mobil hanya aku dan Altaf saja, sebenarnya aku sangat kesepian, terasa sekali saat satu per satu meninggalkanku di perjalanan ini. 3 hari yang direncanakan 4 bulan ini berlalu tak terasa, seperti baru saja aku menginjak pasir pantai sembari menikmati senja bersama, malamnya sudah ada di kasurnya masing-masing. Aku dan Altaf pergi dulu ke pesantren Al-Matuq untuk mengembalikan beberapa barang yang kami pinjam dari bagian kesantrian pesantren. Sholat ashar di masjid yang dulu tempat kami belajar. Selepas sholat, aku dan Altaf duduk di teras masjid sambil membayangkan masa-masa lalu.

“Gak kerasa ya, udah beres lagi jalan-jalan kita ini.”

“Iya, ane bayangin dulu kita duduk di teras ini sambil melihat tingkah laku santri, atau bercanda ria, atau memurajaah Al-Quran, dan lain-lain. Sekarang kita sudah bukan lagi di posisi itu. Tempat ini hanya akan menjadi kenangan. Sepi sekali suasana pesantren tanpa santri, pasti para ustadz juga kesepian saat melepaskan kita.” Altaf berusaha mendeskripsikan isi hatinya.

“Sudah ya.. hayu pulang.”

           Kami pun meninggalkan pesantren ini untuk yang kesekian kalinya dengan rasa berat dan penuh rindu, tak seperti dahulu saat kami masih menjadi santri di mana meninggalkan pesantren adalah hal yang didambakkan dan diincar, bahkan rasanya seperti keluar bebas dari penjara. Tapi sekarang kita keluar seperti pergi meninggalkan rumah. Jujur saja, aku dahulu tak percaya perkataan ustadz bahwa pesantren adalah rumah karena aku tak merasa bahwa pesantren adalah rumah, tapi sekarang aku merasa pesantren itu adalah rumah, rumah yang sudah tak lagi jadi rumah karena penghuni yang menghiasi rumah itu sudah pergi bersama kenangan manisnya. Rumah yang bisa dibilang “pernah”.

***

           Sesampainya di rumah, bayang-bayang tentang Ujung Genteng masih mengelilingi benakku, aku tak bosan-bosannya melihat-lihat foto-foto kemarin di galeri handphoneku, bahkan aku buat video dokumenter yang kuputar berulang kali. Aku masih tak bisa menerima semua itu pergi untuk beberapa hari, selepasnya aku pun menerima walau aku tetap berharap semua itu bisa terjadi kembali di masa mendatang dengan mengatakan pada seluruh kawanku, “Ditunggu part duanya.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemilu (dari mata orang sok tahu)

Mimpi Untuk Cianjur

Penghargaan Yang Bukan Penghargaan (Mencari Hakikat Prestasi & Apresiasi)