Ujung Genteng
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Empat bulan perencanaan pun tiba, kami sudahlah sepakat untuk mengeksekusi rencana kami menjadi realitas yang kelak tak terlupakan. 28 April adalah harinya. Sebelum hari itu, kami bersiap-siap banyak hal dan membagi tugas apa saja yang harus dibawa selama perjalanan yang cukup jauh ini. Aku sebagai supir mobil dan bisa dibilang leader dari rencana ini mendapatkan bagian untuk membawa tenda dan tikar serta rice cooker, Ihsan kutunjuk dia untuk membawa bumbu masak, Altaf disuruh untuk membawa kompor dan nasi, Abdullah harus membawa galon dan panci, Kiki membawa alat masak, Albara membawa makanan pelengkap, Rafi anggota baru dari perjalanan ini dan Dustin harus membawa bola.
Hari
Jumat, aku mulai bersiap-siap memasukkan barang-barang yang kubutuhkan selama
perjalanan ke dalam mobil, dengan hati yang tak sabar aku ingin segera
berangkat untuk bertemu kawan-kawan lain. Sebelum Jumatan, aku sudah berjanji
untuk ada di rumah Altaf. Setelah siap semua, dicek kembali barang-barang itu; rice
cooker ada, tikar ada, tenda ada, tas ada, dan kamera ada. Ok siap. Paginya
sebelum ayahku pergi kerja aku izin dulu untuk meminjam mobilnya selama 4 hari,
setelah beberapa saat percakapan akhirnya beliau mengizinkan walaupun
sepertinya terlihat agak sedikit berat, berat karena mobilnya selalu dipakai
untuk kerja dan ayahku sedang sibuk-sibuknya lalu berat karena masih ragu
dengan keahlianku menyupir, tapi beliau yakin, “Asalkan hati-hati. Jalan ke
sana lumayan ekstrim.” Sebelum berangkat, haruslah berpamitan dulu dengan
ibuku, “Umi, kaka berangkat dulu ya, doain semoga bisa pulang kembali dengan
selamat.”
Ada hal tertinggal, ibuku memberikan sesuatu
di dalam kantong, “Jangan lupa, ini baju buat Ust. Irwansyah pemberian dari
Umi-Abi, sampaikan juga salam buat beliau.”
Aku mencium tangannya dan ibuku membalas
dengan mencium keningku. Menyalakan mesin mobil, mengeluarkannya dari bagasi
dan membuka jendela seraya melambaikan tangan kepada ibuku dan berucap,
“Assalamualaikum.” Kemudian tancap gas dan berangkat.
Rencana kami akan berkumpul di pesantren kami
dahulu, Al-Matuq Sukabumi, karena momen masih lebaran, maka kami jadikan tempat
itu sebagai lokasi kumpul sekaligus bersilaturahmi dengan guru-guru di sana
terkhusus bertemu dengan Ust. Irwansyah.
Sebentar lagi waktu Jumat, aku harus cepat.
Jarak rumahku dengan rumah Altaf cukup jauh dengan jarak sekitar 30 menit
perjalanan, tapi aku bisa lebih cepat dari itu. Altaf adalah teman satu
pesantrenku yang juga tinggal di kota Cianjur sehingga kami sepakat untuk
berangkat bersama selepas sholat Jumat.
Akhirnya aku bisa sampai sebelum sholat Jumat,
karena waktu yang mepet jadi aku tak datang ke rumahnya, tapi lansung datang ke
masjid di komplek perumahannya. Namun ternyata ketika ku masuk ke dalam masjid,
aku melihatnya sudah duduk di saf depan sedang mengaji, aku pun menghampirinya
dan menyapanya, “Altaf, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, eh udah datang ternyata.. cepat juga,
tadi bilang masih di rumah.”
“Emang gak jauh-jauh amat kan.”
“Gimana dah siap?”
“Insya Allah, harus siapin mental buat nyupir jauh
pertama kali.”
Sholat
Jumat diteggakkan, kami memutuskan percakapan karena adab dan syarat sah sholat
Jumat adalah tidak berbicara satu sama lain bahkan memberikan isyarat pun tak
boleh, kita harus fokus dengan apa yang diucapkan khatib. Hari Jumat adalah
hari raya mingguan umat Islam yang diperuntukkan agar dalam seminggu minimal
kita mendapatkan satu nasihat yang bagus untuk kita perbaiki diri atau menambah
wawasan tentang agama kita, maka sangat tidak pantas bila kita tak berusaha
untuk fokus mendengarkan apa yang dikatakan khatib padahal dalam seminggu kita
sudah banyak berbuat hal yang jauh dari agama dan kekurangan nasihat yang mampu
mengingatkan kita untuk kembali. Seenggan apakah kita sampai dalam seminggu
kita tak mau mendengarkan satu nasihat yang lamanya paling tidak hanya 20
menit?
Selepas
sholat, Altaf menyuruhku untuk datang ke rumahnya karena memang
barang-barangnya ada di rumahnya sekaligus bersilaturahmi dengan keluarganya.
“Gip, lapar gak?”
“Hmm, lapar sih tapi malu. Hehe.”
“Gak apa-apa, makan dulu aja. Gak buru-buru kan?”
“Enggak, santai aja.”
Aku
datang ke rumahnya, ibunya menyapaku dengan hangat. Aku mengucapkan salam dan
ucapan hari raya. Ibunya mempersilahkanku untuk duduk di ruang tamu dan
menawarkanku makan siang, aku tak bisa menolak pemberian sekaligus memang
sedang lapar juga. Ibunya mempersiapkan makanan di dapur sedangkan aku dan
Altaf duduk di ruang tamu dengan beberapa cengkrama soal kuliah. Altaf adalah
orang yang giat dan cerdas, dari pertama ku mengenalnya sudah terlihat dia
memang juara di kelasnya, ranking satunya bukanlah hanya sekedar angka
melainkan ilmu yang masih kuat melekat pada dirinya, dia pandai sekali mengajar
dan menarik perhatian adik kelasnya, dia memiliki cita-cita menjadi seorang
dokter tapi dia punya masalah yakni karena dia lulusan pesantren dan jurusannya
adalah agama sedangkan kuliah kedokteran mensyaratkan harus lulusan dari
jurusan IPA, dia berjuang keras untuk bisa masuk di kuliah impiannya tapi masih
belum mendapatkan hasil memuaskan padahal persiapan sebelum tes aku lihat dia
sudah sangat matang dan bahkan aku optimis dia seharusnya lulus tapi qadarullah
saat itu dia masih belum mendapatkan hasilnya. Tapi kuyakin di lain masa,
di waktu mendatang, kisah sulitnya menjadi dokter akan menjadikannya dokter
yang mengabdi pada masyarakat dan ilmu agama yang dimilikinya menjadi pelengkap
sebagai media dakwah melalui ilmu kedokterannya.
Hidangan
sudah siap dan kami menikmatinya. “Makasih bu, maaf ngerepotin, diterima ya
makanannya.”
“Silahkan.”
Seusai makan, kami pun bersiap-siap. Altaf
memasukkan barang miliknya ke dalam mobil dan berpamitan dengan ibunya. Ibunya
berpesan padaku untuk selalu hati-hati di perjalanan dan jangan terlalu gegabah
ketika main di pantai. Aku mengiyakan pesannya dan kami pun berangkat dengan bismillah.
Jujur, aku sedikit gugup dan khawatir, ini
perjalanan jauh pertamaku dengan menggunakan mobil yang aku bawa sendiri tanpa
bimbingan orangtua sedangkan aku belum lama bisa mengendarai mobil, ditambah
gambaran orangtua soal jalan yang berbahaya dan berliku yang membuatku sedikit
tak yakin. Tapi aku tetap memaksakan, karena aku yakin perjalanan ini bagian
dari takdir kami dan Allah pun rela dengan perjalanan ini, Insya Allah.
Belum sampai di pesantren, langit sudah
terlihat gelap sekali, dan benar saja hujan yang deras mengguyur bumi, padahal
kami berencana untuk bermain bola di lapangan pesantren sore harinya untuk
bernostalgia rutinitas kami dahulu, tapi qadarullah hujannnya deras dan
tak memungkinkan kami untuk bermain bola. Memang saat itu adalah bulan-bulan
yang dibasahi oleh musim hujan yang deras, dan sebenarnya kami pun sedikit
ragu, dikhawatirkan saat kami di pantai turun hujan deras dan gelombang tinggi.
Dan jujur, satu hal yang lebih aku takutkan adalah isu Megatrust yang
diprediksi akan mengguncang laut selatan pulau Jawa, aku yang sering mengikuti
berita seputar gempa sering merasa khawatir akan hal itu, takutnya saat kami di
sana, bencana itu terjadi dan mengakibatkan tsunami dan kami tak tahu nasib
kami. Tapi semoga saja apa yang kami dan aku khawatirkan tak terjadi.
Harap-harap esok cuaca mendukung kami untuk bahagia.
Akhirnya kami sampai di pesantren dengan aman
meskipun di perjalan kami diguyur oleh hujan deras. Kondisi pesantren sangatlah
sepi, bukan karena hujan, tapi karena memang para santri masih dalam masa
liburan. Kami turun dari mobil berlari takut kehujanan dan pergi ke asrama.
Seluruh asrama terkunci, tapi sudah ada dua temanku yang sudah sampai duluan,
yaitu Kiki dan Rafi, mereka sedang nongkrong di kamar yang masuknya melalui
jendela terbuka. Kami pun ikut masuk dan saling bertukar sapa dan kabar,
becerita sedikit tentang masa kemarin, dan membahas rencana besok.
Adzan Asar berkumandang dengan nada khas
pesantren namun entah oleh siapa dilantunkannya, agak sedikit kurang nyaman
didengar. Kami keluar dari persembunyian dan turun untuk pergi ke masjid. Aku
pergi ke tempat wudhu yang mana di sana ada sebuah mading besar tempat
karya-karya santri ditempelkan, aku melihat beberapa tulisanku masih terpampang
memenuhi sebagian mading itu, aku sangat bahagia dengan karyaku yang dapat
dibaca oleh para santri, aku berharap kelak ada seorang santri yang termotivasi
untuk melanjutkan jalanku menjadi seorang penulis karena karya-karyaku. Sebuah
fakta dengan tidak bermaksud menyombongkan diri, aku menjadi penulis pertama
yang berhasil menerbitkan buku selama mengabdi di pesantren. Aku menjadi yang
pertama bukan berarti ingin menjadi yang dikenang, tapi aku ingin menjadi yang
diikuti kebaikannya sebagai bekal pahala untuk hari kelak.
Selepas sholat, aku melihat Ust. Irwansyah ada
di saf sebelah kiri. Aku menyuruh kawan-kawanku untuk menghampirinya hanya
sekedar untuk menyapa dan bila beliau mengajak kami bercengkrema maka kami pun
bersedia. Sesudah berdzikir, kami pun menghampirinya, beliau terlihat sangat
senang melihat kami kembali.
“Assalamualaikum ustadz.” Sapa kami dengan senyuman dan
bungkuk hormat.
“Waalaikumsalam. Masya Allah, gimana kabar antum semua?”
“Alhamdulillah baik.” Jawab kami.
“Ada apa antum ke sini.”
“Kami mau jalan-jalan ke Ujung Genteng ustadz.”
“Kami ngumpul
dulu di sini sekalian silaturahmi dengan ustadz.” Jawab Altaf menyempurnakan.
“Oh jauh, naik apa antum?”
“Ada yang pake motor, ada yang pake mobil.” Jawab kiki.
“Siapa yang pake mobil?”
“Ana ustadz.” Jawabku dengan malu-malu.
“Masya Allah, Ujung Genteng mah Masya Allah indah, tapi
jalannya lumayan ekstrem, harus hati-hati apalagi yang pake motor.”
“Bukanlah ustadz, yang pake mobil lebih mengerikan, ana
pertama kali pake mobil jauh apalagi jalannya seperti itu.” Jawabku memotong
pernyataanya.
“Oh gitu, ya ustadz mendoakan antum semua selamat sampai
tujuan, selamat berlibur.”
Kami
membahas banyak dengan beliau seputar pendidikan di pesantren, agenda ke
depannya, kemudian bertanya perkara jenjang kami selanjutnya, dan memberikan
semangat untuk terus belajar dan meraih cita-cita. Ciri khas beliau dalam
pembicaraan.
“Ustadz, ada titipan buat ustadz dari orangtua ana.” Aku
pun memberikan baju yang tadi ibuku berikan sebagai hadiah atas jasanya
mendidikku selama di pesantren. Begitu pula Altaf memberikan titipannya berupa
parsel buah dan kue lebaran, serta mengucapkan salam dari orangtua kami
padanya. Beliau terima dengan senang hati.
Sisa dari
teman kami sudah mulai datang, Albara, Dustin, dan Abdullah datang sore itu.
Ihsan entah kemana, tak ada kabar, dia hanya bilang di grup bahwa dia masih di
Bandung. Kapan dia akan sampai. Ihsan emang agar random orangnya,
kebiasaanya tak bisa menebak atau dengan kata lain menebak kebiasaanya yang tak
bisa ditebak. Sudahlah biarkan dia menjalani jalannya sendiri. Sore itu kami
hanya menghabiskan waktu dengan beberapa percakapan di halaman teras asrama
sambil diselingi oleh jalan kaki mengelilingi pondok atau dengan memakan
sisa-sisa kue lebaran.
Malamnya,
barulah kami mulai bersiap-siap untuk hari esok. Memasukkan barang-barang ke
dalam mobil, menata bagasi mobil agar cukup mengisi seluruh barang. Membuat
rencana ulang untuk memastikan dari keberangkatan, destinasi, hingga pulang
kembali. Sambil menyantap nasi goreng, kami berdiskusi dengan candaan hangat
dan penuh tawa. Aku bahagia sekali wacana yang hanya sebatas omongan belaka
menjadi nyata dan berbuah episode yang dapat diceritakan, meskipun hari esok
belum tentu kondisi sesuai ekspektasi, tapi aku berharap banyak pada Allah dan
mengucap, “Insya Allah.” Aku memilih untuk tidru terlebih dahulu sebelum
terlalu larut malam, karena malam kemarin aku kekurangan tidur, seperti biasa
apabila hari esok ada sesuatu yang spesial, maka aku akan kesulitan tidur di
malamnya. Tidur duluan dengan harapan besok aku fit menyupir mobil dan tak
ngantuk saat berkendara, tapi apa boleh buat, tetap saja aku tak bisa tidur
sepanjang malam, ya minimal aku bisa memejamkan mata dan membaringkan badan,
itu pun sudah cukup untuk disebut istirahat walaupun kurang fit juga. Tapi
kenyataanya bahagia bisa melepaskan lelah, maka dari itu bila kita merasakan
lelah dan tak bisa beristirahat, carilah sesuatu yang dapat membuat kita
bahagia, setidaknya itu dapat menghilangkan lelah dengan sementara. Sedangkan
kawan-kawanku yang lain sibuk membahas hari esok dan mempersiapkan segala
halnya.
Ihsan
datang tepat tengah malam dengan wajah yang sangat lelah sekali. Konon dia tadi
siang berangkat dari Bandung menggunakan motor bukan jalan ke Sukabumi, tapi ke
rumah keduanya yang ada di Bogor, dia baru sampai di sana sore tadi, lalu
setelah itu dia menunggu malam untuk berangkat menggunakan bis agar tak
terjebak macet, berangkat jam 9 dan sampai jam 12. Aku tak terbayang bagaimana
lelahnya, siang menggunakan motor dari Bandung ke Bogor, malam dari Bogor ke
Sukabumi, sampai jam 12 malam dan harus berangkat lagi jam setengah 4 pagi
karena begitulah rencananya. Dia hanya istirahat sebentar saja dan tentu besok
pasti akan melelahkan. Dia emang random kelakuannya.
***
Jam 3 pagi, langit masih gelap dan hawa masih dingin, aku
yang tak bisa tidur bangun duluan karena mendengar alarm yang aku tahu sendiri
bahwa suara itu akan berdering sebelum aku membuka mata. Beranjak dari ranjang
atas, meloncat ke bawah sambil kepala yang masih kebelinger karena kurang
tidur, membasuh muka demi menyegarkan badan tanpa mandi. Kawan-kawanku belum
bangun saat itu dan akulah yang membangunkan mereka satu-persatu, “Hey,
bangun-bangun, udah jam 3 nih.” Tak seperti membangunkan sholat subuh yang
susahnya minta ampun bila membangunkan teman saat masih santri atau khidmah,
tapi saat membangunkan kawan yang mau liburan bagaikan membangunkan bayi yang
susah tidur, sekali tepak langsung bangun dan bergegas, ada yang mandi, ada
yang menghangatkan air untuk minum pagi itu, ada yang memasukkan barang tersisa
ke mobil, dan aku mempersiapkan diri menyupir mobil dengan jarak yang lumayan
jauh. Aku meminum air putih hangat dengan Tolak Angin agar tidak masuk angin.
Tak mungkin kita sarapan saat itu, maka kita sepakat untuk sarapan di
perjalanan saja.
Setelah
semua siap, kami berfoto bersama di belakang mobil tanda kenang langkah awal.
Abdullah, Albara dan Kiki mengendarai motor dan tentunya pakaian mereka sudah
siap dengan jaket, masker, helm, sepatu, dan sarung tangan untuk menghindari
resiko yang ada. Sedangkan aku, Ihsan, Altaf, Dustin, dan Rafi menaiki mobil.
Aku suruh Ihsan untuk duduk di depan menemaniku agar aku tak mengantuk saat
menyupir walaupun aku tahu dia baru datang tengah malam tadi dan kurang tidur.
Tapi nyatanya dia sama sekali tak terlihat mengantuk, mungkin karena semangat
sehingga dia melawan kantuknya.
Kami pun
berangkat dengan Bismillah, dengan wajah yang memaksakan untuk semangat demi
liburan yang entah kapan lagi akan terjadi seperti ini lagi. Meninggalkan
pesantren pagi itu yang terlihat belum ada kehidupan alias masih dalam lelap
tidur kecuali satpam yang mungkin saja dia sudah tidur akan tetapi melihat ada
mobil dan motor yang akan keluar jadinya dia bangun dan membukakan gerbang
untuk kami. Kami ucapkan salam dan menginjak gas.
Pengendara
motor sudah jalan duluan sedangkan mobil mengekor di belakang. Kami benar-benar
ingin sesegera mungkin sampai di tujuan sehingga mengusahakan untuk tidak
berhenti di tengah jalan. Kami kuat dan tak perlu banyak istirahat. Kami
berhenti di jalan hanya sekedar untuk mengisi bensin dan atau sholat subuh
kemudian makan sedikit cemilan untuk pengganjal perut kami. Saat istirahat
sholat subuh itu sebenarnya aku terlihat mual sekali, mungkin karena perut
kosong sehingga aku muntah air di samping mobil, untung saja tak ada yang
melihat dan aku pura-pura tegar kembali. Aku sangat menikmati perjalanan ini
apalagi medan yang berliku membuatku fokus berkendara dan seakan aku merasa
hidup sebenarnya.
Tak
terasa, kami berangkat pukul 3:30 dan sekarang matahari sudah memunculkan
sinarnya di ufuk timur, tapi alhamdulillah kami sudah memasukki daerah
Pelabuhan Ratu yang katanya kalau telat sebentar kami bisa terjebak macet
apalagi di momen yang masih lebaran ini. Tapi ternyata jalan lancar jaya, kami
berbelok ke arah Ciletuh dan matahari sudah terang pagi dengan sempurna,
perjalanan yang panjang tapi dilalui dengan bahagai membuatnya terasa pendek,
aku dan kawan-kawanku di mobil banyak sekali berbicara sehingga tak begitu
fokus dengan jarak yang jauh, yang penting kami bersama.
Jalan
Loji adalah jalan yang terkenal curam tapi sangatlah indah, kami membuka kaca
dan menikmati pagi yang indah dengan angin pantai yang sudah terasa ditambah
pemandangan pantai yang terlihat sangat dekat dengan jalan yang mulus dan
naik-turun itu. Dengan teriakan bahagia, kami senang, menikmati alam yang indah
dari wacana yang saat itu dikhawatirkan tak jadi ternyata terealisasi dengan
baik. Jalan menaik, kami tegang, jalan menurun, kami teriak, seakan kami sedang
menaiki RollerCoaster.
Karena
yang di motor kelelahan dan yang di dalam mobil pusing kepala, akhirnya kami
istirahat di atas puncak Darma yang pemandangannya langsung ke arah laut lepas.
Aku yang merasa tangguh tak merasa pusing sama sekali turun dari mobil, tapi
ternyata saat menginjakkan kaki ke tanah, barulah rasa pusing itu terasa sangat
sampai-sampai aku tak memiliki nafsu makan. Kami duduk di kursi-kursi kayu yang
disediakan di sana, sambil menikmati pantai dari kejauhan dibumbui oleh
beberapa gorengan dan buras, sambil canda tawa dan takjub dengan keindahan.
Selepas penat dan pusing pergi, kami pun kembali menaiki
kendaraan menuju destinasi pertama kami. Sebetulnya rencana pertama kami ingin
berkunjung ke Curug Larangan, namun disebabkan jalan yang sempit yang tak
memungkinkan mobil masuk ditambah tidak adanya tempat parkir di lokasi,
akhirnya kami pun memilih untuk turun dari bukit jalan Loji menuju pantai
Ciletuh. Pantai ini aku pernah kunjungi beberapa tahun lalu saat pantai ini
pertama kali diperkenalkan sebagai tempat wisata oleh pemerintahan saat itu,
kondisi masih kosong dengan beberapa warung dan penginapan yang masih dibangun
serta sepi pengunjung, namun sekarang saat kami ke sana, kondisi sangatlah
berbeda, semua sudah tertata, penginapan ada di mana-mana dan warung pun sudah
berserakan, ada pula tempat parkir yang luas. Pantai Ciletuh ini berada di
bawah antara dua tebing besar yang melengkung berbentuk tapal kuda mengelilingi
sekitaran pantai disertai air terjun yang lumayan banyak yang muncul dari
celah-celah di tebing itu.
Ada
usulan kalau ingin menikmati pantai Ciletuh jangan di pantai Ciletuh, tapi ke
seberang pantai itu. Datang seorang bapak yang seakan tahu kalau kami
membutuhkannya, dia menawarkan perahu untuk menyeberang menuju pulau Kunti yang
berpasir putih. Setelah beberapa saat saling menawarkan harga, akhirnya kami
sepakat dengan harga yang pas, kami pun iuran dan mengeluarkan tas-tas kami
serta tikar untuk dibawa ke pulau itu.
Perahu
dengan sayap kayu berwarna biru di bawah langit yang cerah, tadi pagi langit
ditutupi oleh kabut tapi seakan menerima kami bahagia akhirnya langit pun
menghapuskan kabut dan mengubahnya menjadi biru cerah. Berlayar di air yang
berwarna coklat, itulah sebabnya disebut Ciletuh yang artinya air keruh, namun
saat sudah sampai di tengah laut, air pun membelah dua menjadi terlihat batasan
antara warna air yang coklat dan warna biru gelap. Di atas perahu, kami takjub
dengan keindahan dan tak menyangka untuk yang kesekian kalinya kami bisa
menikmati ini. Angin laut yang menyegarkan dengan pemandangan karang-karang
besar dan penangkaran ikan serta nelayan. Allah begitu indah menciptakan dunia.
Sampailah
kita di pulau itu setelah berlayar kurang lebih 20 menit, pantai yang cukup
bersih, air yang biru, tak begitu ramai, dan dikelilingi hutan. Kami turun dari
perahu meloncat takut terkena air. Ada naungan dari pohon besar di ujung sana,
kami pun bernaung di sana dan menghamparkan tikar, menyimpan barang kami, dan
berganti baju. Setelah baju diubah, kami tak peduli dengan masuk angin,
walaupun belum sarapan, air laut terlihat lebih menggiurkan. Langsung saja
badan kami basah dengan segarnya air laut yang asin, dengan tawa kami bermain
air seperti anak kecil yang kegirangan, kami tak peduli sebesar apapun umur
kami, lepaskan saja bahagia walaupun terlihat seperti kanak-kanak. Air sudah
membasahi tubuh, giliran kita bereksplorasi. Ada gua yang kami lihat saat kami
di perahu tadi, mungkin kami ingin melihat isinya, kami pun ingin pergi ke sana
tapi tak semuanya. Rafi dan Altaf menjaga barang kami di atas tikar, sedangkan
aku, Albara, Kiki, Ihsan, Dustin, dan Abdullah pergi mencari gua itu. Awalnya
kami berjalan tanpa alas kaki, ternyata batu karang tajam tak seperti yang kami
kira, akhirnya Albara kembali ke tikar mengambilkan sandal buat kami. Sampailah
di muka gua yang seperti dibuat manusia namun sebenarnya alam yang menciptakan,
seperti ada sungai yang menjorok ke dalam muka gua sebagai jalan masuk dari
arah laut, gua itu sangat besar tapi tak dalam, ada sebuah jalan kecil untuk ke
dalam tadi harus memanjat sedikit ke atas, lagipula kami tak tertarik masuk ke
sana dikhawatirkan kami tak keluar kembali.
Kami
lelah, tapi kami belum sampai. Kami bersiap-siap kembali ke pantai Ciletuh dan
naik perahu yang sama kembali ke sana, belayar dengan wajah kantuk tak seperti
saat berangkat, sesampainya kami di pantai Ciletuh, kami pun sedikit
beristirahat sambil jajan dan mandi, mereka lelah tapi aku tetap harus menyupir
mobil. Siap semua, kami melanjutkan perjalanan, yang menggunakan motor sudah
berjalan duluan dan kami pun berpisah, mungkin mereka akan sampai lebih cepat.
Sedangkan kami yang di mobil harus menggunakan Google Maps untuk pergi ke Ujung
Genteng. Jarak dari Ciletuh ke sana masihlah jauh dengan estimasi satu jam
perjalanan lagi. Namun seperti biasa bahwa Google Maps selalu membawa kami ke
jalan yang benar dengan jalan yang salah, seharusnya kami kembali ke jalan
utama Ujung Genteng tapi Google Maps membawa kami ke jalan yang sangat ekstrem,
jalan yang sempit dengan jurang di samping kanan ditambah ada jalan yang hancur
karena longsor, setelah itu kami memasuki perkampungan yang jalannya sangatlah
jelek. Aku sangat kelelahan tapi harus memaksakan agar segera sampai, yang
estimasinya satu jam perjalanan jadi lebih lama lagi karena jalan yang rusak
tak bisa digunakan dengan kecepatan tinggi. Kami bersabar dengan goyangan dan
guncangan, kawan-kawanku tertidur sedang aku tetap terjaga. Setelah beberapa
lama, akhirnya kami pun sampai di Ujung Genteng lewat jalur yang jarang orang
lalui, kami pun mencari hotel yang sudah dipesan dan menanyakan kawan-kawan
kami yang menggunakan motor yang tentunya sudah sampai duluan. Sampailah kami
di penginapan dan aku langsung terbaring lemas, sholat jama Dzuhur dan Asar
dulu barulah aku terlelap tidur. Sedangkan kawanku yang masih kuat menyiapkan
makan untuk sarapan sekaligus makan siang. Bangunlah aku dengan hidangan yang
sudah tersedia dan kami pun menikmati makanan sederhana itu bersama-sama di
halaman penginapan. “Siap-siap, jam 4 kita jalan lagi.”
***
Ada sebuah destinasi pantai di kawasan Ujung Genteng yang dinamai Pantai Tenda Biru yang katanya
disebut-sebut angker dan memiliki sejarah mistis yang berhubungan dengan tenda
berwarna biru. Mana aku peduli. Mitos tak perlu diyakini. Yang jelas aku
melihat sebelumnya rekomendasi wisata Ujung Genteng di Instagram dan di
antaranya adalah Pantai itu, katanya suasana masih asri dan sepi karena tak ada
orang yang tahu betul (Waktu itu). Pantai ini benar-benar berada di ujung
daratan, bila kita melihat pada peta maka akan terlihat betapa lokasinya memang
benar-benar di ujung Sukabumi.
Kami
bersiap-siap menuju ke sana, jarak tempuh menuju ke sana dari penginapan kami
sekitar estimasi 15 menit menggunakan mobil. Sore itu kami ingin menikmati
senja di sana dengan mungkin sambil bermain bola atau bersantai-santai tanpa
bermain air.
Di
gerbang, ada orang yang menghadang kami untuk membayar tiket masuk, aku
berfikir, “Kalau bayar berarti tempat ini memang sudah dijadikan destinasi dan
semua orang tahu.” Ya iyalah, kalau viral di internet mana mungkin orang tak
ingin pergi ke sana dan masyarakat setempat akan memanfaatkan itu sebagai lahan
uang bagi mereka. Kami pun membayar uang parkir saja sekitar Rp. 20.000,00 saja
dan kami pun memasuki area tersebut. Suasana jalan yang gelap karena dinaungi dan
dikelilingi oleh pohon-pohon mangrove karena kita memasuki hutan mangrove,
meskipun demikian hutan tersebut tak begitu lebat, di sela-sela pepohonan
terlihat pantai. Di ujung hutan inilah lokasinya, aku memarkirkan mobil di
tempat yang sangat gelap dan mengerikan, kukira tak bisa parkir ke dalam, tapi
ternyata orang-orang memasukkan mobilnya ke dekat pantai. Tapi tak apa, semoga
saja aman. Pantai ini memang tak begitu ramai, tapi sudah banyak dijadikan oleh
masyarakat tempat berusaha seperti warung-warung yang dibuat dari tenda-tenda
dan juga banyak yang berkemah di sini, tak seperti yang kulihat di Instagram
yang terlihat benar-benar kosong. Wajar saja.
Pemandangan
begitu menakjubkan tapi matahari belum menampilkan aksinya, kami pun
menghamparkan tikar untuk bersantai tapi nyatanya kami penasaran untuk pergi ke
ujung sana, membasahi kaki dengan air laut yang tidak dalam hingga ke tengah
itu. Memang ciri khas dari pantai di Ujung Genteng adalah pantai yang tak
berombak dan tidak dalam hingga ke tengah laut sehingga kita bisa menikmati
pantai tidak hanya di pinggiran saja, tapi bisa pergi ke tengah laut dengan
berjalan kaki.
Kami kira
pantai ini ada di sebelah barat sehingga kami tinggal duduk di tikar dengan
menghadap ke arah senja, tapi ternyata kami ada di timur sehingga kami mencari
posisi yang sedap untuk menikmati senja dan didapatlah tempat itu setelah berkeliling
dengan kaki yang basah sambil mengambil beberapa gambar untuk diabadikan.
Spektakuler, sebuah pemandangan yang tak pernah aku lihat sebelumnya, indah tak
terhingga, senja yang sangat cerah dengan warnanya yang oranye kekuningan
ditambah lagi pantulan sinar yang menerpa air laut di bawah kaki kami seakan
kami berdiri di atas langit dan menyatu dengan indahnya lukisan Tuhan ini. Kami
pun mengambil gambar bersama, aku menyalakan kamera dan mengaktifkan timer,
momen sementara yang hanya bisa diabadikan oleh foto. Senja selalu disandingkan
dengan kenangan, dan memang karena senja tanda akhirnya sebuah hari, dan itulah
hari pertama kami di sini yang berakhir atau momen terakhir kami sebelum entah
kapan lagi kami bisa saling merangkulkan tangan di atas pundak, berbaris rapi
menghadap senja sambil tertawa dan takjub. Itulah senja kenangan bagiku yang
benar-benar berkesan. Melihat sebuah perahu berlayar seperti bendera putih
berbentuk segitiga yang muncul dari arah senja menciptakan sebuah makna bahwa
harapan itu datang tatkala waktu yang tepat dan indah selepas kita menjalani
proses perjalanan dengan sukacita dan bahagia. Indahnya senja seperti indahnya
persahabatan, di dalam persahabatan pastilah ada luka dan saling menyakiti tapi
kita akan merasakan kenikmatan dan rasa rindu akan mereka saat hendak berpisah
karena itulah momen terbaik dalam persahabatan yaitu perpisahan, sama halnya
dengan matahari yang sepanjang hari seringkali menyebalkan karena panasnya tapi
saat hendak berpisah ia menyejukkan pandangan dan menyusun bagi manusia untaian
kata-kata yang hati pun meleleh karena sang pujangga bertata. Matahari
tenggelam dan sudah. Kami kembali berkemas. Bola yang kami bawa tak jadi kami
mainkan karena sibuk dengan foto dan menikmati alam, tikar pun tak sempat kami
hinggapi, kami pun pulang kembali ke penginapan. Jalan hutan mangrove itu
benar-benar gelap sekarang dan sangat mengerikan andai tak menyalakan lampu
mobil, kawanku yang menggunakan motor melihat biawak seukuran buaya yang
berlari di depannya dan merengsek masuk ke semak-semak. Kami sepakat untuk
membeli beberapa ikan laut untuk dibakar malam ini, ikan yang tak tahu apa
namanya.
Malam ini
kami habiskan dengan bakar-bakar ikan yang baru saja kami beli. Kata seorang
bapak-bapak menyarankan bahwa bila ingin ikan yang dibakar itu lezat maka
jangan terlalu gosong, kami pun mengikuti arahannya. Di atas tikar di halaman
kamar, kami menyantap ikan laut yang rasanya sangatlah mantap, empuk, gurih,
padahal tanpa bumbu dari para ahli masak. Bagi kami, sebagai mantan santri, tak
peduli bagaimana rasanya, yang penting cukup gurih dan mengenyangkan. Rafi saat
itu tak tahu pergi ke mana, dia tak ikut kami makan-makan di halaman kamar,
katanya dia menemui temannya yang kebetulan ada di sana juga. Ya sudahlah, itu
urusannya, dia kehabisan makan. Aku dan Kiki mencoba mendirikan tenda dan
berkemah malam itu di halaman kamar. Hari pertama yang tak terlupakan. Tersisa
dua hari lagi, semoga esok berjalan sesuai rencana.
***
Hari baru pun tiba, bersiap untuk destinasi berikutnya. Sejak awal, kami punya rencana untuk
mengunjungi minimal 4 destinasi. Sudah 2 destinasi yang kami kunjungi; Pulau
Kunti dan Pantai Tenda Biru. Untuk hari ini kami baru punya satu tujuan. Aku
dan Kiki terbangun untuk sholat subuh dengan air yang menetes di dalam tenda
yang datang mungkin karena embun. Sedangkan yang lain ada yang sudah bangun
duluan dan menyiapkan sarapan sederhana. Aku lupa apa itu. Kami datang ke
depan, menepi di hadapan pantai yang jaraknya tak jauh dari penginapan, sejenak
menikmati hawa pagi.
Hari pun
mulai siang, matahari sudah mulai menampakkan panasnya. Aku menyuruh mereka
untuk bersiap-siap jalan, “Jangan di kamar terus, kalau main hp, ngapain
jauh-jauh ke sini?!” Sedikit memaksa, dan agak melelahkan, tapi memang harus
begitu, sangat sayang kalau jauh-jauh berkelana hanya duduk di dalam kamar
dengan apa yang mampu dilakukan di rumah saja. Aku mengajak mereka ke Bukit
Teletubbies, sebuah perbukitan kecil yang dihampari rumput, sederhana. Kami
memulai beranjak. Pengguna motor sudah sampai duluan, Abdullah dan Rafi melihat
kondisi, katanya tempatnya bagus hanya saja sulit dijangkau oleh mobil. Aku
menggunakan Google Maps, dia mengarahkan kami ke jalan yang curam dan tak
mungkin bisa dilalui mobil, akhirnya kami berjalan terus dan menemukan jalan
yang lebih baik dari sebelumnya. Aku memasukkan mobil ke dalam sana dan jalan
itu sangatlah sempit, di sisi kiri ada pagar pohon dan di sisi kanan ada kolam
dan sawah. Aku tak yakin ini jalan yang benar. Aku masuk dan menemukan jalan
lain di sana yang tertutupi oleh rerumputan, karena aku tak yakin akhirnya aku
memarkirkan dulu di tanah kosong dekat situ. Ihsan menelpon Abdullah dan
menanyakan apakah benar jalannya. Mereka datang menghampiri kami dari jalan
yang ditumbuhi rerumputan tinggi itu. Aku pun terpaksa memasukkan mobil ke
jalan itu. Kiri-kanan dipenuhi oleh pagar tumbuhan dan di bawahnya ditumbuhi
oleh rerumputan, suara berdenyit dan geduk dari dahan-dahan rerumputan itu. Aku
khawatir dahan dan ranting itu merusak cat mobil. Tapi harus bagaimana lagi,
akhirnya kami keluar dari jalan itu dan menemukan lapangan untuk memarkirkan
mobil. Sebenarnya bukit ini bukanlah tempat wisata, hanya perbukitan rumput
saja, dan hanya aku yang membawa mobil ke sini. Mobilku diparkirkan jauh dari
lokasi itu, jadi kami harus berjalan lumayan jauh. Suasana yang asri, indah,
hamparan rumput yang dihiasi sapi-sapi ternak yang dibiarkan begitu saja. Dari
sana, pantai dan laut terlihat jelas. Kami meneduh di sebuah saung karena hawa
yang panas, kami datang di waktu yang kurang tepat, seharusnya ke tempat ini
pagi-pagi, kami datang pukul 9 pagi sehingga matahari sangat menyengat sekali.
Tapi aku dan Ihsan tidak menyianyiakan kesempatan, kami berkeliling, berfoto,
membuat video, menghampiri sapi, meskipun hawa panas dan matahari yang
menyengat sedangkan kawan-kawanku yang lain hanya duduk di saung itu sambil
mengobrol. Setelah puas dengan semuanya, aku dan Ihsan pun menuju ke saung itu
ikut mengobrol.
“Abis dari sini mau kemana?” Tanya Abdullah.
“Balik aja ke penginapan, nanti sore baru ke pantai
lagi.” Jawab Rafi.
“Jangan, sayang kalau seharian diam di penginapan.” Ihsan
menimpali.
“Oh, ane tau! Kita ke curug, tapi ane lupa namanya apa.”
Jawabku, kemudian aku pun mencari nama air terjun yang aku pernah temukan dari
YouTube. Dan aku pun menemukannya, yaitu Curug Cikaso, jaraknya lumayan jauh
sekitar 15 menit dari sini. Curug itu berbeda kecamatan, bukan di wilayah Ujung
Genteng, tapi kami setuju. Kami pun berangkat ke sana, sedangkan aku dengan
baju ganti seadanya. Aku tak membawa baju ganti kecuali celana, untung ada
jaket.
***
Hari mulai siang, hawa semakin panas apalagi di daerah
yang jauh dari pengunungan, akhirnya kami sampai di lokasi curug setelah
perjalanan sekitar 15 menit dari Bukit Teletubbies. Jalan masuknya kecil, masuk
ke dalam pemukiman warga, di depan gang ada seorang anak muda yang menyuruh
kami membayar tiket masuk dan menjelaskan beberapa hal, “Pak, silahkan bayar
tiket di sini, perorang 15 ribu belum ditambah perahu. Tiket perahu ada di
dalam. Parkiran tersedia.” Masuklah kami ke dalam jalan yang kiri-kanannya
adalah rumah-rumah warga setempat, di depan ada sebuah lahan yang cukup luas
yang digunakan untuk parkir, terlihat ramai juga pendatang.
Turunlah
kami dan jalan memasuki kawasan, ada sebuah sungai besar yang berwarna coklat
tanah, di pinggirannya ada sebuah pelabuhan kecil dari kayu dengan
perahu-perahu wisata yang berdiam menunggu para pelancong, kami turun ke bawah
dan diseru oleh seorang bapak tukang kayuh perahu, “Mana tiket!”
“Tak ada.” Jawab seorang dari kami.
“Beli dulu di bapak yang duduk di atas.”
Kami
menghampiri bapak yang berbadan kekar besar dengan jaket jeans dan rokok yang
menempel di bibirnya, pasti seorang penguasa wilayah, bos para pendayung. Kami
bilag padanya hendak membeli tiket yang harganya lumayan mahal, Abdullah
sedikit bernegosiasi untuk mengurangi harga, selepas cekcok sedikit kami pun
mendapatkan sedikit pula keringanan, tapi apa boleh buat. Kami turun ke bawah,
menuju perahu milik bapak yang tadi menyuruh kami membeli tiket. Naiklah kami
ke atas perahu panjang itu dan berlayarlah di sungai berwarna coklat yang
seketika di tengan jalan berubah menjadi warna biru kehijauan. Kami melihat
sekeliling berupa hutan lebat tapi ada seseorang berjalan di sana, ternyata ada
jalan untuk pergi ke curug tanpa perahu, dan ternyata pula curugnya tak begitu
jauh dari gerbang awal, merasa kenapa harus pakai perahu kalau bisa jalan
dan dekat saja?
Turun
dari perahu dan penampakan curug itu sudahlah terlihat, memang ini air terjun
yang indah sekali, ada tiga dalam satu tempat, airnya biru bersih ditambah
cuaca yang cerah mendukung kami. Sesampainya di sana kami langsung melakukan
hal wajib, yaitu foto. Kami berdiri berjajar membelakangi air terjun itu dan
berfoto ria. Tapi sangat disayangkan seindah apapun tempat ini tetap saja ada
sampah yang tersembunyi di balik batu besar yang kami naiki, sampah yang begitu
banyak. Kekurangan negeri ini adalah kurangnya melestarikan alam dengan tidak
membuang sampah ke sungai, kurang kesadaran dan kurangnya budaya bersih
meskipun negeri kita tetap lebih baik dibandingkan negeri India. Tapi sayang
saja saat melihat indahnya alam ada hal yang mengusik berupa sampah.
Foto
sudah abadi, sekarang marilah menikmati. Kami pun berganti baju dan menceburkan
diri ke dalam air yang segar sekali, hawa yang panas seketika hilang dibasahi
air sungai yang biru itu, kami benar-benar merasa fresh seperti tubuh
ini benar-benar hidup. Dingin bagai menjiwai rasa bahagia sehingga hangat tak
lagi digunakan untuk mengungkapkan kata bahagia. Ihsan dan Abdullah yang pandai
berenang meloncat ke kolam yang agak dalam, sedangkan kami hanya berendam di
kolam yang dangkal setinggi leher kami. Penat benar-benar terbayar tuntas, dan
aku masih tak menyangka bahwa aku mampu membawa mereka ke keindahan ini. Aku
sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari perjalanan mereka, bahkan menjadi
seseorang yang mengajak mereka untuk keluar menikmati indahnya dunia. Wacana
itu benar-benar terencana dan merekalah orang-orang yang merealisasikannya.
Mungkin kelak ke dapat mendatangi tempat ini lagi tapi entah apakah akan
seindah ini.
Badan sudah penuh air dan berkeriput, sudah
pula penat kembali penat. Kami pun naik ke dasar dan mulai bersiap-siap, mandi,
ganti baju, dan pulang kembali ke penginapan. Harus mengantri sedikit dengan
orang-orang di wc kayu yang tersedia sedikit menguras setidaknya beberapa saat
untuk kami menahan lapar. Begitu pun perahu yang datang terlambat, sebenarnya
bisa saja berjalan, tapi dalam tiket ada uang dan sayang bila tak digunakan.
Aku tak ada baju, hanya menganti celana, untung jaket itu berguna, tanpa baju
jaket pun jadi. Sebelum pulang, kami sholat terlebih dahulu di masjid yang ada
di area parkir dan sejenak mengistirahatkan diri. Datang penat untuk menghilang
penat dengan penat yang berikutnya. Selepas sholat kami pun kembali ke mobil dan
pergi meninggalkan lokasi. Perut kami yang lapar memaksa kami untuk turun di
tengah perjalanan untuk membeli lauk pauk Nasi Padang untuk makan siang di
penginapan. Sesampainya di sana, kami pun menggelar kertas nasi dan nasi yang
baru matang itu dihidangkan dengan lauk pauk Nasi Padang itu di depan kamar
seperti biasa. Perut terisi mata pun berbobot, kami pun istirahat dan tertidur
hingga sore hari. Sore terakhir kami akan habiskan di destinasi terakhir kami,
Pantai Pasir Putih.
***
Sore itu sudah agak telat, tapi malam mungkin agak sedikit terlambat, semoga saja. Tapi
keterlambatan itu tak menghalangi kami untuk tidak pergi, alasan terlambat
adalah karena kami begitu sangat lelah dan sedikit malas, tapi aku kembali
mengeluarkan jurus kata, “Hayo, masa jauh-jauh gak kemana-mana, terakhir nih.”
Beranjaklah
kami dari peristirahatan, berangkat ke lokasi bersama di satu mobil. 8 orang di
mobil mungkin akan menghasilkan hawa yang panas dan sungkep, maka orang yang
duduk di belakang kubolehkan untuk membuka pintu belakang supaya hawa pantai
masuk ke dalam dan suasana tak begitu sempit. Lagipula jalan kami tak menuju
jalan raya, hanya meniti jalan pinggir pantai.
Di jalan
matahari sudah mulai menghasilkan cahaya emas yang indah mencerminkan ke arah
air laut di sisi kiri kami yang menakjubkan, tapi menyempitkan waktu. Lokasi
berjarak 15 menit dari penginapan, sedangkan kami berangkat pukul 4 lebih
sehingga mungkin kita tak dapat berlama-lama di sana. Jalan yang dipenuhi pasir
itu terus membawa kami ke jalan yang semakin sempit dan memasuki hutan yang
gelap, jalur hanya satu jadi bila ada mobil dari lawan arah aku harus
pelan-pelan mengukur agar mobil pas masuk dan tak saling menyenggol. Tibalah
kami di Penangkaran Penyu dan di sana ada bapak yang menyuruh kami membayar
tiket.
“Selamat sore, di sini kalian harus membayar tiket.”
“Tapi kami tidak ke Penangkaran Penyu. Kami mau ke Pasir
Putih.” Jawabku.
“Tetap, Penangkaran Penyu dan pantai Pasir Putih satu
tiket. Anda bisa masuk ke Penangkaran Penyu setelah itu baru ke Pasir Putih.”
Bapak itu memperjelas.
“Gimana nih?” Tanya Abdullah.
“Kan tujuan utamanya ke Pasir Putih, lagipula kalau mau
ke Penangkaran Penyu udah telat soalnya udah kesorean.” Jawabku.
Akhirnya
kami pun membayar tiket itu dengan harga Rp. 25.000,00 per orang dan masuk ke
pedalaman yang semakin sepi dan sunyi. Penangkaran Penyu sepertinya sedang
sangat penuh, bahkan terlihat dari parkiran yang sudah tak muat di dalam. Dari
gerbang Penangkaran sekalipun, jalan menuju Pasir Putih tetaplah jauh. Dan setelah
beberapa saat, kami pun menemukan parkiran khusus pengunjung pantai itu, tapi
ada lagi yang menghadang, seorang bapak bergaya preman yang mengaku menjaga
keamanan dan parkiran menyuruh kami membayar uang parkir dengan harga yang
seperti biasa, cukup mahal, Rp. 25.000,00 untuk mobil. Setelah kami bilang
bahwa kami sudah bayar tiket di awal sambil menunjukkan tiketnya, mereka tetap
menjawab bahwa tiket itu hanyalah tiket masuk, bukan tiket parkir. Ya sudahlah
kami pun iuran untuk membayar orang ini, dia pun memberikan tiket parkirnya.
Masuklah kami dengan rasa sedikit kesal karena terlalu banyak pungli yang
mencari uang dengan tidak resmi.
Parkiran
di tengah hutan dengan beberapa rumah warga yang mengelilinginya, kami pun berjalan
menuju pantai melalu pepohonan yang rindang. Seperti biasa kami membawa tikar
dan bola. Ya bola, Altaf sejak awal ingin bermain bola tapi selalu gagal karena
kami sibuk berfoto atau bermain air, tapi untuk ini kami meyakinkannya bahwa
kita akan main bola. Di sebelah kanan kami ada sebuah sungai besar yang
bermuara langsung ke pantai dan tak dekat lagi kami pun keluar dari pepohonan
memasukki pantai yang sangat indah dengan ombak yang tinggi ditambah matahari
sudah mulai mengeluarkan cahaya oranyenya yang khas untuk sore terakhir kami di
sini. Menghamparkan tikar, menyimpan berapa barang, dan mulailah kami berfoto
bersama dengan kamera yang berdiri di tripod. Setelah puas, barulah kami
bermain bola di atas pasir yang menghambat kami sehingga menjadikan kami mudah
lelah. Dan tak lama, kami pun selesai bermain bola. Sangat berbeda rasanya
antara bermain bola di lapangan dengan di atas pasir. Langit pun sudah gelap
dan kami hanya menikmati senja dengan duduk-duduk manis di atas pasir sambil
bercengkrama, waktu kami singkat di sini terkuras oleh telatnya pergi dan
jaraknya yang agak jauh. Matahari sore itu pun pulang ke rumahnya dan gelap pun
sudahlah tiba, kami dipaksa pulang oleh gelap dan berjalan dengan senter
handphone menyusuri hutan tadi untuk kembali ke parkiran.
Membersihkan
tangan dan kaki di wc masjid, mengganti baju dan ada yang menyimpan pakaiannya
di atas mobil. Kami pun pergi pulang dengan langit yang gelap berlapis pohon.
Kembali menyusuri hutan yang gelap dan hawa entah mengapa menjadi sangat panas,
sampai-sampai aku membuka baju saat menyupir layaknya seorang supir angkot yang
sudah berkeliling kota seharian. Seperti awal, pintu buka dibuka, yang duduk di
belakang ada Rafi, Abdullah, dan Dustin. Tiba-tiba ada seorang pemuda bermotor
yang sedang membonceng pacarnya memanggil kami, “A.. A.. Ada yang jatoh.”
“Gip.. ada yang jatoh katanya.” Kata Rafi.
Aku pun
memberhentikan laju mobil. Pacarnya itu turun dari motor untuk mengambil
sesuatu yang jatuh tadi, eh ternyata yang jatuh itu celana dalamnya Dustin,
tadi dia menjemur bajunya di atas mobil sebelum pulang tapi lupa mengambilnya.
Dengan jijiknya perempuan itu bilang, “Ih.. ini mah cangcut.” Sambil mengambil
dengan capitan dua jari tanda jijik dan memberikan ke Rafi yang turun dari
mobil hendak mengambilnya.
“Nih, CD ente Tin. Ane yang jadi malunya.” Kata Rafi.
Kami
semua tertawa bersama di dalam mobil sepanjang jalan sekaligus menghibur
perjalanan kami yang gelap ini di tengah hutan. Mengulang-ulang cerita itu dan
berulang kami pun tertawa.
“Gak apa-apa Tin, jadi cerita unik buat anak-cucu ente
nanti.” Kata Altaf pada Dustin.
Sampailah
kami di penginapan, kami berfikir sangat sayang bila malam terakhir ini kami
langsung tidur tanpa menikmati malam di pinggir pantai depan penginpan, lelah
pun kami lawan.
Hari
semakin malam, bulan dan bintang menghiasi langit atas pantai kala itu dan
tentu saja kami mengira bahwa langit tak sedang mendung dan jauh dari kata
“akan hujan”. Kami mendatangi pinggir pantai dengan tenda, tikar, dan kompor
serta bahan-bahan masak. Untuk malam terakhir ini, tersisa kwitiaw untuk
dimasak. Aku dan Kiki memasang tenda di tempat yang pas, walaupun pada akhirnya
tempat yang disebut pas itu ternyata landai dan menurun, tapi apalah kita yang
malas memindahkan menerima kesulitan itu dengan tak berpikir ulang. Ihsan mulai
memotong-motong bahan-bahan seperti cabai dan bawang, sembari yang lain
membetulkan kompornya yang rusak disebabkan terguncang dalam mobil tadi siang,
sedangkan Abdullah dan Kiki menyalakan api unggun sebagai penerang yang menyusahkan
dengan kayu-kayu yang tadi kami bawa dari Pantai Pasir Putih. Api itu tak
berguna, menyala kecil dan mati lagi, ditambah tak menerangkan sekitar.
Akhirnya kami menggunakan senter handphone untuk penerangan. Kompor itu
akhirnya dapat menyala setelah beberapa lama dicoba untuk diperbaiki tapi
gagal, sebenarnya kompor fortable itu tidak diperbaiki namun dinyalakan
dengan cara lain yang hanya diketahui Ihsan selalu juru masak.
Hidangan
siap, tapi satu orang tak ada, Dustin yang katanya pergi ke kamar untuk
mengambil sesuatu itu tak kunjung datang, ditelpon pun tak mengankatnya, entah
apa yang diperbuat. Setelah lama menunggu, akhirnya salah seorang kami akan
menyusul ke kamar, eh ternyata datang pula dan kami pun menyantap kwitiaw yang
setengah matang itu, tapi rasa tetaplah sedap.
Selepas
makan, kami membereskan tempat dan sampah. Aku mengajak yang lain untuk tidur
di tenda dekat pantai, tapi mereka menolak kecuali Kiki. Satu per satu dari
mereka kembali ke kamar dengan membawa beberapa barang yang tadi kami bawa, aku
memasukkan tikar ke dalam tenda untuk berbaring di dalam, Ihsan pun
mengutarakan ingin ikut tidur di tenda, tapi Kiki dan Ihsan punya kepentingan
dulu di kamar, entah hendak apa. Aku pun menunggu di tenda sendirian cukup lama
ditemani suara ombak yang tinggi dan obrolan bapak-bapak yang nongkrong dekat
situ. Ihsan dan Kiki pun akhirnya datang, aku hendak tidur duluan walaupun
sebenarnya tak bisa karena gatal oleh nyamuk yang banyak, Kiki dan Ihsan hanya
bermain handphone hingga..
langit tiba-tiba tak mendukung kami di
pertengahan malam, angin kencang melanda disertai hujan desar, kami yang tak
siap ditambah tenda murahan yang tak kebal hujan itu pun kebanjiran oleh air
hujan yang masuk melalui jendela tenda. Kami pun panik, entah harus bagaimana,
keluar kehujanan, di dalam pun kehujanan, akhirnya kami memutuskan untuk
berlari ke kamar dan tenda dibiarkan saja sendiri di pinggir pantai, sebelum
pergi kami memasukkan batu ke dalam tenda supaya tak terbang oleh angin, tenda
yang tak punya pasak bumi, dan menutup pintunya sembari diterpa hujan.
Sesampainya di kamar, kamar itu penuh. Kamar
kecil yang diisi oleh 8 orang. Dari kemarin kami tak tidur di kamar seluruhnya,
dibagi-bagi terserah inginnya di mana. Malam kemarin aku, Kiki, dan Albara tidur
di tenda depan kamar. Sekaran kami terpaksa tidur di kamar seluruhnya. Tersisa
ruang di lantai dekat pintu wc, mau bagaimana lagi, kami hamparkan selimut lalu
tidur di sana sambil bersempit-sempit. Kawan-kawan kami yang lain sudah
tertidur duluan sehingga saat pagi mereka bertanya-tanya mengapa kalian di
sini?
***
Hari ini adalah hari terakhir kami di sini, sebagian kami
hanya menikmati pagi ini di kamar dengan sejenak saja datang ke pantai untuk
melihat pemandangan untuk terakhir kalinya, sisanya hanya tiduran, istirahat,
membereskan kamar dan barang-barang. Sedangkan aku dan Ihsan memilih untuk
menikmati pantai ini dengan berenang di laut yang dangkal di pantai depan
tempat kami malam tadi berkemah. Cuaca pagi itu cerah sekali dengan sejenak
menurunkan hujan yang membuat hawa tak dingin dan tak panas, cerah tapi tak
menyilaukan, ombak pantai yang tenang, ditambah air segar yang membasahi
seluruh tubuh kami. Berenang, mencari kerang, mencari binatang, mencari
pemandangan, inilah hari terakhir yang tak kusia-siakan karena aku tahu setelah
ini aku akan kembali di rumah dengan kesepiannya kehilangan teman terbaik dalam
hidupku.
Pukul 8
pagi sudahlah tiba, kesepakatan kami untuk berhenti berenang dan pulang ke
kamar untuk bersiap-siap pergi pulang. Kami sarapan dulu dengan baju yang masih
basah di warung depan kamar, sarapan dengan mie istan yang harganya sekelas mie
kafe terkenal, harganya Rp. 30.000,00. Betapa kagetnya aku, tapi untunglah tak
membeli jajanan selama di sini. Kami hanya memasak dengan bahan yang dibawa
saja.
Semua
sudah siap, barang-barang dimasukkan ke dalam mobil, kamar sudah kosong dari
barang milik kami. Sebelum pulang kami berfoto ria di depan kamar sebagai
kenang-kenangan yang tak terlupakan. Abdullah, Kiki dan, Albara yang
menggunakan motor pamit duluan karena mereka akan pulang lebih cepat dan tak
bersama-sama lagi dengan mobil. Berpisahlah mereka dengan kami, salaman, dan
saling mengucapkan “semoga”. Pulanglah kami meninggalkan tempat ini dengan
penuh kenangan walaupun hanya tiga hari saja. Tempat sebenarnya tak bisa
melukis, tapi kitalah pelukisnya. Ujung Genteng dahulu pernah aku kunjungi
bersama keluarga, dan ya piknik dengan keluarga seringkali kita tak merasa
bebas mengeksplorasi alam. Ujung Genteng yang ku kunjungi bersama kawan-kawan
ini terasa berbeda, tak seperti saat itu. Kamilah yang melukiskan tempat ini
menjadi penuh kenangan, sama halnya dengan pesantren yang kami buat indah
dengan segala kesulitannya. Setiap tempat pun lenyap dari pandangan kami dan
perjalanan pulang yang jauhnya sama dengan perginya kami lalui dengan lelah dan
penat. Aku menyupir mobil seorang diri, sedangkan kawan-kawanku tertidur
nyenyak dalam perjalanan.
5 jam
perjalanan itu tak terasa, kami sudah sampai di Cisaat, tempat Ihsan, Rafi,
Dustin pulang meninggalkan kami. Ihsan dan Rafi akan naik bus untuk pulang ke
rumahnya di luar kota sana, sedangkan Dustin memanglah rumahnya sekitar situ.
Kembali ke posisi awal, di mobil hanya aku dan Altaf saja, sebenarnya aku
sangat kesepian, terasa sekali saat satu per satu meninggalkanku di perjalanan
ini. 3 hari yang direncanakan 4 bulan ini berlalu tak terasa, seperti baru saja
aku menginjak pasir pantai sembari menikmati senja bersama, malamnya sudah ada
di kasurnya masing-masing. Aku dan Altaf pergi dulu ke pesantren Al-Matuq untuk
mengembalikan beberapa barang yang kami pinjam dari bagian kesantrian
pesantren. Sholat ashar di masjid yang dulu tempat kami belajar. Selepas
sholat, aku dan Altaf duduk di teras masjid sambil membayangkan masa-masa lalu.
“Gak kerasa ya, udah beres lagi jalan-jalan kita ini.”
“Iya, ane bayangin dulu kita duduk di teras ini sambil
melihat tingkah laku santri, atau bercanda ria, atau memurajaah Al-Quran, dan
lain-lain. Sekarang kita sudah bukan lagi di posisi itu. Tempat ini hanya akan
menjadi kenangan. Sepi sekali suasana pesantren tanpa santri, pasti para ustadz
juga kesepian saat melepaskan kita.” Altaf berusaha mendeskripsikan isi
hatinya.
“Sudah ya.. hayu pulang.”
Kami pun
meninggalkan pesantren ini untuk yang kesekian kalinya dengan rasa berat dan
penuh rindu, tak seperti dahulu saat kami masih menjadi santri di mana
meninggalkan pesantren adalah hal yang didambakkan dan diincar, bahkan rasanya
seperti keluar bebas dari penjara. Tapi sekarang kita keluar seperti pergi
meninggalkan rumah. Jujur saja, aku dahulu tak percaya perkataan ustadz bahwa
pesantren adalah rumah karena aku tak merasa bahwa pesantren adalah rumah, tapi
sekarang aku merasa pesantren itu adalah rumah, rumah yang sudah tak lagi jadi
rumah karena penghuni yang menghiasi rumah itu sudah pergi bersama kenangan
manisnya. Rumah yang bisa dibilang “pernah”.
***
Sesampainya
di rumah, bayang-bayang tentang Ujung Genteng masih mengelilingi benakku, aku
tak bosan-bosannya melihat-lihat foto-foto kemarin di galeri handphoneku,
bahkan aku buat video dokumenter yang kuputar berulang kali. Aku masih tak bisa
menerima semua itu pergi untuk beberapa hari, selepasnya aku pun menerima walau
aku tetap berharap semua itu bisa terjadi kembali di masa mendatang dengan
mengatakan pada seluruh kawanku, “Ditunggu part duanya.”
Komentar
Posting Komentar